Pendekatan

1732 Words
Azzam duduk di jok motor menepuk-nepuk helm menunggu Azzura keluar dari gedung sekolah. Di samping ada Malik, lelaki itu hanya diam membiarkan sahabatnya melakukan pendekatan. Kapan lagi bisa melihat fokus Azzam teralihkan tidak seperti sebelumnya, setelah keluar dari sekolah mereka langsung cabut sekedar berada di basecamp atau pulang ke rumah. Sandaran Delon terlepas dari tembok, lengannya melayang merangkul Nayla. Gadis itu hanya tersenyum memegang tangan Azzura. Mereka berjalan meninggalkan kelas. "Langsung pulang atau mau kemana dulu?" tanya Delon pada Nayla. "Langsung pulang deh, keluarga kakak ipar mau datang soalnya." "Mau ngomongin soal pernikahan mereka?" Nayla mengangguk. "Zura gimana?" tanya Nayla melihat Azzura terlalu fokus pada handphonenya. Gadis manis itu tersenyum. "Hari ini gue mau sama ibu aja, entar sore juga ada jadwal di kafe Thamrin." jawabnya masih dengan senyum lebar tercetak jelas di sana. "Mau di temenin gak? Entar gue anter?" ujar Delon. "Nah bener tuh. Yakin deh bakal pulang malam lagi." timpal Nayla. Ini yang Azzura sukai dari sahabatnya Nayla, meski Delon sangat perhatian padanya dia tidak pernah cemburu. Nayla hanya menjawab kalau Delon berpaling dari nya dan memilih Zura, berarti dia bukan laki-laki baik buat gue. Sesimpel itu cara berpikir seorang Nayla jika bertanya apa dia cemburu melihat kedekatan pacar dan sahabatnya. "Please ya, gue gapapa. Udah mending kalian balik, gue duluan mau beli buah buat ibu di depan. Nay, salam sama orang rumah, bye." "Tapi kan, hahh, gini nih kalo punya sahabat sok kuat." dengus Nayla dalam rangkulan Delon. Azzura berlari kecil keluar melewati area parkir di mana Azzam sedari tadi tak bosan menunggunya keluar. "Mau kemana?" Pertanyaan lembut dari arah samping menghentikan langkah Azzura. Gadis itu melangkah mundur menengok menunjuk diri sendiri. Azzam mengangguk kecil sebagai jawaban kalau dia bertanya pada Azzura. "Ah, biasanya kalau pulang sekolah kemana?" Sial. Azzam jadi malu sendiri. "Ah, itu," Azzura berjalan ke arah Azzam memiringkan kepala di depan lelaki itu kontras dengan senyum yang tak pernah luntur. Azzam jadi deg deg an di buatnya. "Belum pernah ngajak cewek ya?" Pfftt Azzam seketika melayangkan tangannya menempelen kepala Malik guna menghentikan tawa sahabatnya. "Sial. Sakit njing!" Namun Azzam tidak peduli pada Malik tengah menatapnya nyalang. Ia hanya memandang Azzura kesal melipat kedua tangan di depan d**a. "Ngeremehin gue?" ketusnya merasa diremehkan, walau kenyataan itu memang benar sih. Lihat sendiri'kan, Malik sampai tertawa mendengar pertanyaan menyebalkan Azzura. "Cuma nanya kasep, jangan marah atuh. Ya udah kenapa nanya, mau nganterin atau gimana?" Kalau mau nganterin jangan deh," sergah Azzura. "Kenapa?" "Teriknya matahari nggak bisa ngalahin lo kalau soal ngelelehin gue hehe. Kenapa nggak percaya?" Sebenarnya Azzam geli mendengarnya, tapi mau gimana lagi dia terlalu jatuh dalam pesona gadis di depannya ini. Gini banget nasib orang tampan, di rayu duluan. Banggalah pada kenyataan siapapun tidak akan bisa menolak pesonanya. "Khem, itu," "Canda ih, biasa aja dong mukanya." Bohong banget, Azzura cuman mau ngambil jurus aman biar sadar diri nggak terlalu berharap banyak. Lagian mereka baru dekat hari ini, kemarin-kemarin sepintas lalu doang. Boleh tidak Malik nyebur ke kali sekarang? Biar bisa ketawa lepas tanpa mempermalukan Sahabatnya. Azzam yang seorang kapten basket, pujaan hati para gadis-gadis Wijaya malah di PHP-in sama gadis biasa seperti Azzura. Wah syekaleee. Malik hanya berpaling langsung memakai helm biar bisa tertawa tanpa suara sekalipun. "Minggir." suara dingin menuntut dari Azzam mendapat anggukan dari Azzura. Dan sekali lagi Azzam merutuki dirinya bagaimana bisa menyukai gadis bodoh di hadapannya ini. "Hati_" "Omongan lo lebih nyakitin." potong Azzam memasang helm, memutar kuncian motor sport hitam miliknya lalu berlalu melintasi Azzura. Gadis itu meringis terbatuk-batuk melihat kepergian Azzam meninggalkan gumpalan asap dari motornya. Untung nggak bau kaleng-kaleng. Malik menaikkan kaca helm nya, "Gue duluan ya, sorry kalau dia gitu." ucapnya dan mendapat anggukan kecil Azzura. "Gapapa, biar terbiasa hehe. Ngomong-ngomong, emang omongan gue ada yang pedes ya? Perasaan tadi nggak ngemil cabe deh." "Hahaha, gue duluan." Malik pun nyerah mendengar kalimat Azzura yang sedikit, lucu sih. Dia pun perlahan meninggalkan sekolah, mengikuti Azzam. Dia yakin, sahabatnya itu sedang misu-misu gondok gara-gara Azzura. Lagian siapa yang nggak gondok kalau sudah di skak sebelum melakukan pendekatan. Azzura mengangkat bahu tersenyum kembali melanjutkan langkahnya. Begitu tiba di luar, dia menerima helm dari seorang laki-laki dewasa lalu naik. "Bang Diki, kita ke toko buah yang biasa ya." tersenyum setelah mengucapkan arah tujuannya pada lelaki berjaket hitam dengan logo gojek. Laki-laki ini gojek terpercaya Azzura, kemana-mana pasti selalu bang Diki yang nganter. Orangnya baik sih, kadang Azzura nggak bayar kalau uangnya tidak cukup makanya Azzura seneng jadi langganan gojek dia. Bukan manfaatin, bang Gojeknya sendiri yang mau. Katanya sih, Azzura sudah seperti adiknya. Azzura itu gadis mandiri, tidak sekalipun dia mengeluh. Pikirannya hanya pada ibu dan kerja. Seperti sekarang, dia memilih-milih buah buat sang ibu yang terbaring di rumah sakit padahal di bawain juga nggak di makan. Ya gimana, ibunya dalam masa pengobatan hanya bisa memakan makanan lembek seperti bubur. Paling Azzura bakal buatin jus biar bisa masuk buahnya. "Berapa mbak?" tanya Azzura. "35ribu dek." Azzura bernafas lega, uang sisa setoran buat rumah sakit masih ada 50 ribu jadi cukup buat bayar gojek sama buah pir sama apelnya. "Di jual ya dek." kata si mbaknya. "Makasih mbak, permisi." ucap Azzura kembali ke motor bang Diki lalu naik dan berlalu pergi. Dari belakang sana, Azzam ternyata tidak langsung pulang tetapi diam-diam melihat Azzura dari jauh. Kali ini, dia tidak bisa mengikuti kemana Azzura pergi karena dia harus membawa bunga untuk sang mama di surga. "Merasa kalah ya bro sama gojek?!" celetukan Malik membuatnya jengah. Azzam kira lelaki itu sudah pergi, ternyata cih, sialan. "Eit, enggak kena hehe." lontar Malik menghindar dari jitakan Azzam. "Ya udah sih, kan masih ada waktu buat besok. Santai aja lah, dia nggak bakal kemana-mana kok." lanjutnya mendapat dengusan kesal dan delikan sinis dari Azzam. "Balik sono lo, bangkek." "Idih marah. Oke gue balik, jangan kangen ya." "Cih, mati aja lo sialan." geramnya kembali memakai helm, memutar kunci motor dan berlalu pergi meninggalkan Malik yang tertawa. "Gue mati juga lo nangis-nangis, Wkwkwk." terhenti saat ingin menghidupkan motornya. Getaran di saku membuatnya berdecak kesal, tatapan sejenak melihat jauh ke depan sana, Azzam sudah tak terlihat oleh matanya. "Ya halo, kenapa?" "Gue tunggu di camp, hari ini gue yang masak." "Wokeh, entar gue wa Azzam, kayaknya dia telat lagi." "Oke." *** Azzura menghirup napas dalam-dalam, meregangkan otot-ototnya wajahnya, mencoba tersenyum lebar sebelum mendorong pintu kamar rawat sang ibu. "Selamat siang ibu, Zura datang hehe." masuk tak lupa menutup pintu, buru-buru menghampiri sang ibu lalu memeluknya erat. Menghirup aroma tubuh ibu meski hanya bau obat yang bisa dirasakan tapi tak apa selama pelukan itu masih dapat menenangkan dirinya. "Kamu nggak bolos kan nak," suara lemah dan lembut Maura mampu membuat Azzura bertahan sampai sejauh ini. Azzura menjauh dari sisi Maura, lalu menarik kursi dan duduk. "Zura nggak bolos bu, yakali bodoh tambah bodoh lagi kalau bolos hehe." ucapnya sedikit candaan. "Kamu ya," "Hehe. Ah bener juga, Zura bawa buah kesukaan ibu, jeng jeng." Azzura mengangkat plastik hitam berisi buah yang dibeli tadi. "Ahh, bentar bu, Zura ke kantin dulu buat ngejus buah_" "Nak," Maura menahan Azzura, menarik tangan anak gadisnya lalu menepuk-nepuknya. "Ibu, kenapa? Ada yang sakit?" Azzura khawatir melihat sang ibu hanya diam meneliti jari-jarinya. "Bu," "Jari-jari anak ibu makin kasar, lihat, kulit mati makin keliatan." Maura menahan air mata beralih menatap wajah cantik Azzura. Gadis itu terlihat seolah-olah baik-baik saja dengan terus memperlihatkan senyumnya. "Kenapa senyum terus, hem? Nggak mau terlihat lemah di depan ibu?" Azzura mengangguk. "Itu membuat ibu sedih nak." lanjut Maura melihat anggukan dari anaknya. "Zura," "Bu, Zura bakal baik-baik aja selama ibu di samping Zura. Lagian kapalan ini bakal hilang kok, soalnya Nayla mau ngajakin Zura ke salon besok." "Oyah, bang Wendy bakal nikah, mereka lagi ngomongin tanggal hari ini hehe. Nanti Zura bawain bubur jagung kesukaan ibu ya, pasti bakal banyak makanan disana hehe. Ahh, ini buahnya mau_" "Ibu mau makan langsung aja, biar ngerasain makan buah lagi." potong Maura. "Oke, Zura bersihin dulu sekalian pinjam pisau di kantin. Bentar ya," Azzura mencondongkan badannya mengecup pipi sang ibu, lalu pergi dengan langkah riang seolah tak terjadi apa-apa. "Kamu lihat itu mas, karena perbuatanmu putri kita harus menderita sendirian di luar sana. Lalu aku… aku sangat buruk untuk terus berada disini. Ya Allah, aku lebih baik kau mengambilku daripada harus melihat putri ku menderita." Azzam meletakkan bunga diatas makam sang mama, mengambil gunting lalu memotong-motong rumput liar meski tak begitu panjang. Setiap hari Jum'at, Azzam selalu berada disini, membersihkan makam sang mama setelah itu menabur bunga mawar berwarna-warni berbeda dengan bunga yang berada dalam vas bunga kaca. "Ma, apa kabar? Azzam datang lagi." mendaratkan pantatnya di samping makam sang mama. "Oyah ma," menengok sebentar lalu tersenyum menengadah menatap langit. "Banyak kejadian hari ini, tim tiger menang lagi, anak mama jadi kapten membanggakan lagi, tapi sayang… " terkekeh kecil mengingat semua kelakuan Azzura. "Anak mama di tolak. Em, lebih tepatnya sih belum apa-apa udah di skak." "Ah, namanya Azzura Benjamin, anaknya em.. seru sih, nyebelin tapi juga nyenengin kalau dia lagi senyum hehe." "Azzam suka, pengen deh bawa dia kesini biar ketemu sama mama. Eih tenang aja, mama nggak bakal digantikan oleh siapapun jadi jangan cemburu. Oke mam," "Ma, Azzam mau tanya dong, tau kan anak mama ini rada gimana gitu kalau soal pendekatan sama cewek. Azzam harus gimana ya biar pedekate nya lancar? Masa udah digombalin dikit langsung KO? Kan ngeselin." "Serasa harga diri Azzam yang cowok cool ini dalam sekejap langsung nyungsep gitu aja." Azzam menjatuhkan punggungnya di rerumputan menggunakan lengan sebagai bantalan. "I miss you ma, Azzam berharap bisa mimpi ketemu mama lagi." Drttt, getaran di saku celana tak membuatnya bangun, dia hanya merogoh saku dan melihat siapa yang menelepon. Ck. Menolak panggilan tersebut, tak lama chat wa masuk dari orang yang berbeda. Malika : Gue sama Delon di camp, kita tunggu Me : Oke, nanti kesana Saat jari-jarinya bergerak ingin membalas pesan Malik, handphonenya kembali bergetar dari orang yang sebelumnya. Bunga Bangkai Calling… Bunga Zamantha ialah ibu tiri Azzam. Menyimpan nomor ibu tiri dengan nama yang sedikit nyeleneh, memang tidak sopan tetapi Azzam tak peduli toh menurutnya itu memang benar. Wanita itu bak bangkai yang begitu pintar menyembunyikan bau busuk atas kelakuannya. Tak ingin diganggu terus menerus, lebih baik ia menerima panggilannya. "Halo, ada apa?" tanyanya dingin. "Kamu dimana, papa kamu sakit pengen ketemu kamu." "Oh." "Just oh?" "Lalu?" "Azzam kamu," Tut… tut… tut… akan lebih baik jika diputuskan sekarang. "Dasar gila. Giliran sakit aja nanyain gue, sebelum-sebelumnya juga bodo amat tuh. Ch,"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD