Azzura duduk dengan kepala ditundukkan. Guratan kekhawatiran nampak jelas meski ia mencoba menyembunyikan wajahnya dari laki-laki setengah baya di depannya.
Hardi Kusuma, 42 tahun seorang bos besar bagian properti, tempat dimana Budi ayahnya pernah bekerja. Dia tidak menyangka akan bertemu di tempat seperti ini, rumah sakit dimana ibunya sedang dirawat.
Wanita itu tidak tahu bahwa selama dia berada di dalam sana, Azzura selalu berada dalam ketakutan besar saat antek-antek laki-laki di depannya akan mendatangi sang ibu dan memberitahu semuanya bahwa hutang piutang suaminya yang pengecut itu masih berlaku hingga sekarang. Bahkan semakin menumpuk meski Azzura membayar sedikit demi sedikit dengan gaji yang ia dapat dari kafe ke kafe.
"Apa ayahmu belum kembali?"
Pertanyaan itu terdengar meledek.
Azzura tersenyum kecil menguatkan hati memberanikan diri menatap wajah Hardi. Ini kali kedua mereka bertemu setelah ayahnya pergi meninggalkan luka.
Wajah beliau terlihat asing tetapi Azzura tidak memperdulikan hal tersebut.
"Kalau dia datang, tuan pasti sudah tau lebih dulu daripada saya." tegas Azzura, tak sedikitpun ketakutan dalam dirinya dan itulah yang Hardi lihat dari sosok gadis itu.
Laki-laki itu mengangguk.
"Apa saya bisa menemui ibumu?"
"Tidak boleh tuan, saya mohon jangan lakukan hal itu. Ibu tidak tau saya membayar hutang-hutang ayah, saya mohon biarkan ibu tenang disini."
"Kamu tau kan, seberapa keras kamu membayar semuanya, itu masih belum cukup dan perjanjian itu akan tetap berlaku sampai waktunya tiba."
Ya itu benar.
***
Azzura tersenyum mengecup pelan kening dan pipi sang ibu, tangannya bergerak menarik selimut pelan guna menyelimuti tubuh kurus ibunya.
Salah satu alasan mengapa Azzura lebih peduli dengan nyanyian daripada belajar, masa depan dia berada di tangan laki-laki tadi.
"Kamu hati-hati di kosan, jangan pulang malam kerjanya. Maafin ibu nak, kamu harus melakukan semuanya sendirian." Azzura menggeleng memegang tangan Maura dan mengecupnya lembut. Maura melanjut, "ibu hanya bisa berterima kasih, seberat apapun yang kamu tanggung, senyum kesukaan ibu nggak pernah luntur. Ibu selalu bangga sama Zura, gadis kecil kesayangan ibu tidak pernah mengeluh menjadi begitu kuat dan mandiri."
"Tapi nak, ibu berharap seseorang bisa melihat luka di balik senyum ini, biar dia tau apa yang harus ia perbuat untuk menyembuhkan luka itu."
Azzura kembali bersemangat dan melupakan semua ucapan laki-laki tadi mendengar ucapan sang ibu.
"Ibu tenang aja, jangan terlalu mikirin Zura, ada Nayla dan Delon yang jagain, kosan juga Alhamdulillah aman-aman aja. Jadi sekarang ibu bobo, soalnya Zura mau pulang dulu beres-beres biar bisa berangkat kerja." Azzura sekali lagi mengecup punggung tangan sang ibu berharap melakukan hal itu wanita kesayangannya bisa tenang tanpa memikirkan dirinya diluar sana.
"Sunshine,"
"Iya bu,"
Maura pelan-pelan membuka cincin pernikahannya dengan Rudi, anting peninggalan orang tuanya pun ia buka lalu meletakkannya di telapak tangan Azzura.
"Bu, ini,"
"Jual semuanya, ibu nggak bisa melihatmu kelaparan."
"Tapi bu,"
"Ibu mohon nak, banyak yang harus kamu lakukan demi kesembuhan ibu kan, jual semua ini biar kamu bisa pakai buat bayar makan sama kosan."
Azzura langsung menunduk mengecup-ngecup punggung dan telapak tangan sang ibu.
"Zura hebatkan bu,"
"Anak ibu memang hebat."
Azzura tersenyum diam-diam menyeka sudut mata tanpa membiarkan cairan itu menetes, apalagi membiarkan sang ibu melihatnya.
Di sisi lain, Azzam keluar dari kamar mandi, menyimpan handuk kecil di sandaran kursi lalu duduk bersandar dan meraih handphone.
Ada pesan dari Delon dan Malik, tapi memilih mengabaikan mereka dan mencari nomor handphone Azzura. Azzam yang jarang tersenyum akan sesuatu kini tak dapat menyembunyikan senyumnya saat melihat foto profil whassap milik Azzura.
"Gadis unik," lontarnya memberikan komentar lalu mengcapture agar bisa menyimpan foto Azzura yang tengah tersenyum memeluk gitar.
Jari-jarinya bergerak mengetik sesuatu, hanya sekedar basa-basi seperti… Hai, sedang apa? Sayangnya dihapus lagi. Bukan apa-apa, kejadian hari ini membuatnya sadar bahwa Azzura bukan gadis gampang untuk di dekati.
"Hahh," menghela nafas panjang kembali mengetik pesan untuk Azzura dan semoga saja gadis itu tidak meng skak nya seperti tadi.
Me : Ngeboba, mau nggak?
Drrtt… punggungnya seketika tegak, menutup layar handphone, menghirup napas dalam-dalam sebelum melihat balasan dari Azzura.
Azzura : Lagi dimana emang?
Sebelum membalas lagi, ia bernafas lega karena Azzura tak membuatnya terlihat bodoh dalam masalah pedekate.
Pergerakan jarinya terhenti melihat Azzura sedang mengetik pesan.
Azzura : Ke Thamrin aja, kafe O La Li gue lagi kerja sekarang.
Kerja? Azzura bekerja? Kerja apa?
Azzam beranjak meraih jaket dan juga kunci motor lalu keluar dari kamar, sementara Azzura menyimpan handphone di saku setelah membalas pesan Azzam.
Dia ini kenapa ya? Pertanyaan yang ditujukan untuk dirinya sendiri setelah menyadari bahwa dia terlalu memaksakan diri untuk mencoba membuka diri terhadap orang lain selain Nayla dan Delon.
"Boba… kapten basket yang cuek ngajakin ngeboba," Azzura tersenyum kecil.
Kalau bukan sahabat Delon mah, dia nggak bakal biarin siapapun bisa melewati garis zona romantic girl yang hanya menghibur hati seseorang.
Drrtt… lihat, Delon kembali bertanya padanya, apa Azzam mengabarinya sesuatu atau sekedar bertanya sesuatu pula.
Delon : Gue ngasih nomor lo ke Azzam, dia ada ngabarin sesuatu nggak?
Me : Dia ngajakin ngeboba.
Delon : Hahaha, coba aja siapa tau dia bisa jadi bodyguard lo.
Me : Ck, lo kan tau, gue paling anti kayak gini.
Me : Lagian gue kerja mana sempat ngeboba, temen lo keliatan licik hahaha
Delon : Sialan. Nyamanin aja dulu, gue bisa liat ada kegilaan di mata dia yang nggak pernah gue sama Malik liat
Me : Cih, kenapa gue yang harus ngikutin kegilaan dia
Delon : Karena dia tertarik sama lo
Delon : Satu hal yang lo harus tau, ini pertama kali nya Azzam bisa membuka hati buat cewek lain
Me : Intinya dia pernah patah hati… oke gue bakal hibur dia
Delon : Hibur dia dengan cara lo sendiri biar dia tau lo orang nya gimana. Siapa yang tau kan dia bisa ngeliat sesuatu yang lo sembunyikan dari orang-orang
Azzura tertawa kecil, "Gue enggak yakin itu bisa terjadi." ucapnya dan kali ini ia benar-benar menyimpan handphone, beralih meraih gitarnya, berjalan ke arah band yang siap untuk menghibur para pengunjung kafe.
"Zura," panggilan dari manajer kafe, membuat Azzura yang sedang mengatur kunci gitarnya menoleh.
"Iya pak,"
"Bisa ikut saya sebentar?"
"Ah, iya." Azzura menyandarkan gitarnya lalu mengikuti manajer kafe masuk ke dalam ruangan.
"Ada apa ya pak," tanya Azzura begitu mereka tiba di dalam dan melihat manajer duduk di kursi.
"Ah ini," mengeluarkan amplop putih lalu di letakkan di meja.
"Itu,"
"Gaji kamu."
"Apa!? Tapi kan saya masih_"
"Bayaran hari ini selama sejam, penyanyi sebelumnya Bella sudah masuk lagi besok jadi kamu… maaf ya,"
Di pecat lagi seperti sebelumnya dia hanya pengganti dari penyanyi utama band di kafe ini jadi tidak ada yang bisa ia lakukan selain mengangguk.
"Gapapa pak, di terima disini aja saya berterima kasih banyak. Kalau butuh saya lagi, kapan aja bapak bisa telpon hehe." Azzura meraih amplop tersebut dengan senyum lalu membungkuk hormat. "Kalau gitu saya permisi pak." pamitnya berbalik meninggalkan manajer kafe mengangguk kecil atas ucapannya.
"Gapapa Zura, masih banyak tempat kok. Entar malam masih ada, it's okay hehe." Azzura kembali ke atas, dan mulai duduk di kursi sambil melakukan uji coba fokal dengan mengenalkan diri.
"Khem, selamat sore semuanya," tersenyum menyapa para pengunjung, detik berikutnya netranya menangkap satu object dimana seorang pemuda tampan tengah tersenyum tipis menopang dagu memandangnya lembut.
Khem. Ini pertama kali nya seorang laki-laki memberinya tatapan hangat dan lembut, dan itu membuatnya gugup.
Azzam mengangkat dua gelas boba, memberitahu gadis cantik di depan sana bahwa dia sungguh-sungguh memintanya buat ngemil boba.
"Beneran ya," gumam Azzura buru-buru membuang muka menghirup napas panjang merasakan sesuatu terjadi dalam dirinya.
"Khem," sekali lagi berdehem mencoba fokus pada kerjaannya, meski matanya terus saja ingin melirik mencuri-curi pandang ke arah Azzam.
Sial. Hampir saja Azzura tersedak air liur sendiri kala Azzam mengedipkan sebelah mata ke arahnya.
Tak ingin hati dan pikirannya semakin tak karuan, Azzura pun perlahan memetik senar gitarnya dan lagu Kebutuhan Hati dari Kalep J memulai pekerjaan Azzura sore ini, ditemani Azzam tak jauh darinya.
***
Beberapa menit kemudian, Azzura duduk di depan Azzam, menerima boba dari lelaki itu.
"Thanks."
"Gue rada licik ya?"
"Apa!? Uhuk… uhuk… " Azzura terbatuk, untung belum diminum tuh boba coba kalo udah, nyembur dah.
Azzam terkikik geli melihat Azzura mendelik sinis ke arahnya
"Kenapa?"
"Gapapa." jawab Azzura mencoba menghilangkan kegugupannya.
"Gue lebih suka thai tea daripada coklat." ucapnya tersenyum tipis mendekatkan bibirnya di sedotan namun sebelum sampai Azzam lebih dulu merebut boba tersebut membuatnya seketika terbengong.
"Aaaa, buka mulutnya." pinta Azzam dan dengan polosnya Azzura membuka mulut membiarkan Azzam memberinya sedotan dari boba tadi.
Mata Azzura berkedip-kedip.
Ini ada apa sih?
"Coklatnya buat gue, thai tea nya buat lo, belum gue sentuh tenang aja." Azzam dengan santainya mendorong kening Azzura agar sedotan di mulut Azzura bisa masuk ke dalam boba miliknya.
"Minum gih, lo hauskan pasti."
Astaga… boba dong ya Allah, gini amat nasib Azzura. Kan bisa dimasukkan tadi pas ditukar, kenapa malah… menyebalkan.
Tanpa mengatakan apa-apa, Azzura menyedot boba dalam sekali hirupan nafas. Hatinya dongkol bercampur malu atas kelakuan nakal Azzam. Gitu-gitu dia punya harga diri tau, huh. Mana di liatin orang-orang lagi, kesel deh.
"Hei, pelan-pelan. Haus banget_"
"Hoh, haus banget sampai lo aja pengen gue telen sekalian." sela Azzura masih dengan senyum, namun kali ini Azzam bisa melihat perbedaannya disana.
Dia tau Azzura kesal padanya. Ia hanya berpaling muka diam-diam menyembunyikan tawanya dengan gigitan kecil di bibir bawah. Lailah, kenapa ucul banget. Batin Azzam menoleh ke arah Azzura yang kini beranjak.
"Lho? Masih marah?" tanyanya.
"Lha? Kapan gue marahnya pak."
"Eh mulutnya. Gue masih muda ya, enak aja pak pak segala."
"Hehe. Mau lanjut beb."
"Beb beb lo kira gue mince."
"Kok salah lagi?!"
"Ck, gini deh,"
"Apaan buruan."
"Sabar elah."
"Ya udah apaan."
"Nggak jadi, udah sono lo."
"Ngambekan, kalo anak-anak tau mereka makin gemes sama pujaan hatinya nih."
"Dan catat, gue masih perjaka belum punya anak. Lagian kita belum nikah, anak-anak dari mana coba?"
"Dari kecebong jadi kodok. Puas lo!" Azzura memutar punggungnya berbalik meninggalkan Azzam, "enak aja main nikah-nikah bae, dikira sinetron kali asal nikah bae." lelaki itu kini menunduk tertawa tanpa suara dengan ocehan Azzura.
Ini berani sih, Azzam tidak pernah menyangka bisa membahas pernikahan dengan gadis lain meski itu hanya candaan, takut anak orang baper tapi kayaknya itu nggak akan pernah terjadi jika gadis itu Azzura.
Azzura gitu lho si romantic girl, dibaperin malah ngebaperin duluan. Siapa yang gak kalang kabut, niatnya pedekate malah mleyot.
"Ngeboba ternyata nggak seromantis di n****+. Cih, yang salah gue apa boba nya sih?" bingung sendiri'kan sama tingkah bodohnya yang malah mempermalukan Azzura.
"Rama, disini woi."
Rama? Kepala Azzam langsung menoleh melihat pintu masuk dan sial. Itu Rama yang sama. Bagaimana ini? Di atas sana ada Azzura, Azzam yakin Rama bakal minta nomor telepon Azzura lagi dengan alasan nomor sebelumnya salah.
Haish!