Dua Belas

1707 Words
Saat terbangun keesokan paginya, Bunda sudah duduk di tepi ranjang, menatapku dengan sorot matanya yang lembut. “Bunda sudah lama di sini?” tanyaku dengan suara bangun tidur yang parau. Senyum keibuan terulas di bibirnya, dia mengelus rambutku penuh kasih sayang seraya menggeleng. “Nggak juga, Bunda baru mau membangunkan kamu,” ucapnya pelan. Aku meraih tangan Bunda ke dalam genggamanku, teringat semalam tidak mengindahkan pertanyaannya ketika masuk ke rumah, tapi malah langsung menuju kamar. Padahal aku tahu saat itu Bunda pasti sedang menungguku. “Maafkan sikap Milena semalam ya, Bun,” ucapku menyesal. Bunda mengangguk, senyum manis masih merekah di bibirnya, dia berkata sabar, “Bunda tahu apa yang terjadi tadi malam, dan Bunda enggak menyalahkan kamu.” “Bunda tahu?” “Bang Tyaga sudah cerita sama Bunda.” Oh ya, tentu saja. Tyaga pasti menceritakan semuanya. Aku bangun dan duduk di samping Bunda. “Milena mandi dulu ya, Bun,” pamitku, tapi sebelum aku beranjak, Bunda memegang pergelangan tanganku lembut. “Mil….” Gerakanku terhenti. “Kita bisa bicara kalau kamu mau, biar nanti Bunda minta izin enggak masuk dulu hari ini.” Aku bisa mengerti jika Bunda mengkhawatirkanku. Aku menoleh padanya dan berusaha memberikan senyum terbaikku. “Milena enggak apa-apa kok, Bun. Tadi malam Milena cuma ngeri aja, Milena kan enggak pernah lihat orang berantem.” Bunda mengangguk meski aku masih melihat keraguan di matanya. Kutepuk-tepuk punggung tangannya dengan lembut untuk meyakinkan aku mengatakan yang sebenarnya. “Baiklah, kalau kamu merasa baik-baik saja, Bunda berangkat kerja dulu ya?” Aku mengangguk. “Sarapan ada di meja,” beritahunya sambil beranjak berdiri, tersenyum lembut kepadaku sebelum meninggalkan kamar. Ini hari Sabtu jadi aku bisa agak bersantai walau nanti sore tetap harus ke kampus. Selesai mandi aku membuka ponsel dan menemukan pesan dari Tante Lin yang memberitahuku jika dia sudah kembali ke Jepang. Akan tetapi keberangkatan asistennya diundur, jadi aku dan Tyaga bisa menemuinya di butik sebelum dia berangkat untuk mengukur tubuh kami, atau Tante Lin yang akan menyuruh asistennya menemui kami. Aku membalas pesan Tante Lin, mengatakan kami yang akan datang ke butik siang ini. Keputusan dan tindakan itu terjadi secara spontan. Pikirku, aku tidak ingin merepotkan orang dengan menyuruh-nyuruh mereka menemuiku sehingga secara refleks mengirimkan pesan tersebut. Namun kemudian aku menyadari satu hal. Bagaimana aku bisa pergi ke butik bersama Tyaga jika aku enggan mengajak pria itu? Batinku bergejolak, aku berjalan mondar-mandir berkeliling kamar dengan gelisah. Kalimat-kalimat pertanyaan dan bantahan bergantian memenuhi otak dan hatiku, haruskah aku mengajak Tyaga? Bagaimana kalau aku pergi sendiri saja menemui asisten Tante Lin? Tidak. Bodoh sekali, tentu saja tidak bisa seperti itu. Sama sekali tidak etis! Di saat aku sedang kebingungan, sebuah pesan dari Tyaga masuk. Tyaga : Kamu dapat pesan dari Tante Lin, Mo? Milena : Ya. Tyaga : Kita ke butik Tante Lin nanti sore? Milena : Nanti sore aku ke kampus. Tyaga : Kalau gitu kapan? Aku menghela napas. Oke, Milena, kamu harus bersikap dewasa, batinku bersuara. Lalu kuketik balasan untuk Tyaga. Milena : Pagi saja. Tyaga : Oke, aku jemput jam sepuluh? Aku membalas dengan emotikon jempol, lalu meletakkan kembali ponselku ke atas meja. Baiklah, setidaknya saat ini aku merasa lega karena masalah yang membuatku bingung tadi sudah terselesaikan. Pukul sepuluh kurang lima menit, Tyaga sudah berdiri di depan pintu. Dia mengenakan kaus polo hitam yang dipadukan dengan celana jin biru. Senyum lebar yang terpasang di wajahnya seketika menggeser perasaan kurang nyaman akan kejadian semalam. Entah kenapa aku merasa baik-baik saja sekarang. Tanpa mengatakan apa-apa aku berjalan melewatinya menuju mobil Tyaga yang terparkir di depan paviliun. Dan sebelum dia membukakan pintu untukku, aku sudah terlebih dahulu masuk ke mobil. “Kapan-kapan kita nonton, yuk,” ajak Tyaga saat kami sudah dalam perjalanan menuju butik. Aku hanya mengarahkan bola mataku ke atas. “Kamu suka nonton film, kan?” “Iya, tapi enggak sama Bang Tyaga,” jawabku datar. Di luar dugaan, pria yang duduk di sampingku malah terbahak. Apanya yang lucu coba? Kadang aku berpikir ada yang salah dengan selera humor Tyaga. Bisa-bisanya dia menertawakan hal-hal yang tidak terlihat lucunya di mana. “Karena sebentar lagi kita akan menikah, kita harus sering menghabiskan waktu berdua,” ujarnya memberikan alasan yang mendasari ajakannya. “Kenapa harus begitu?” “Ya, biar kita bisa lebih saling mengenal satu sama lain.” “Memangnya perlu ya?” tanyaku memasang wajah innocent. “Mengenal pasangan kita?” Aku mengangkat kedua bahu. “Lebih tepatnya mengenal Bang Tyaga,” jawabku tak acuh yang lagi-lagi disambut tawa terbahak-bahak oleh Tyaga. “Moana … Moana, kamu tahu enggak, sikap sinis kamu itu jadi hiburan banget buatku.” “Aku bukan badut ya.” Tapi bukan Tyaga namanya kalau dia termakan ucapanku, bukannya tersinggung dengan ucapan ketusku, tawanya justru bertambah keras. Asisten Tante Lin sudah menunggu kami saat aku dan Tyaga tiba di butik. Setelah berbasa-basi sebentar dia mengukur kami secara bergantian. Lalu dia menunjukkan sebuah buku sketsa padaku, mengatakan barangkali aku akan menyukai salah satu model setelah melihat-lihatnya. Aku membuka lembar demi lembar buku tersebut, mengagumi rancangan Tante Lin yang menurutku sangat indah. “Gimana, ada yang suka?” tanya asisten Tante Lin begitu aku sampai pada halaman terakhir. “Sebenarnya saya suka semuanya,” jawabku malu. “Mungkin kamu bisa menggambarnya sendiri, menggabungkan beberapa detail yang benar-benar kamu suka,” usul Tyaga. “Ide bagus,” sahut asisten Tante Lin, meraih buku sketsa yang masih kosong beserta pensil yang ada di meja kecil samping kursi dan menyerahkan padaku. “Tapi saya enggak bisa gambar,” gumamku ragu. “Enggak apa-apa, Dek Milena gambar sebisanya aja, nanti dikasih keterangan,” kata asisten Tante Lin ramah. Aku mengangguk dan menerima pensil yang disodorkan asisten Tante Lin, mulai menggoreskannya di atas kertas. Aku menyukai dress minimalis berlengan panjang dengan garis leher rendah model sabrina rancangan Tante Lin. Selain terlihat simpel, bagian bawahnya pun tidak terlalu mekar seperti gaun pengantin pada umumnya. Sayanganya itu terlalu polos tanpa tambahan detail apa pun. Sementara pada rancangan yang lain, aku menyukai detail lace yang terlihat elegan dan cantik dengan tambahan floral aplique pada seluruh permukaan gaun. Namun tidak dengan modelnya yang tanpa lengan dengan garis leher V yang terlalu rendah. Jadi aku menggabungkan dua detail rancangan tersebut, ditambah model veil dari rancangan lain. Lalu memperlihatkannya pada asisten Tante Lin. “Saya bisa membayangkannya,” kata asisten Tante Lin begitu melihat gambaranku. “Pasti akan terlihat cantik sekali,” sambungnya tersenyum dan menyimpan buku sketsa itu. Setelah berbincang-bincang sebentar lagi, aku dan Tyaga kemudian berpamitan. Tyaga terlihat puas, sejujurnya aku pun begitu. Saat pria itu menurunkanku di depan paviliun, aku mengucapkan terima kasih padanya. Beberapa hari kemudian Tyaga muncul lagi di depan pintu paviliun. Kali ini dia mengajakku menemui orang dari wedding organizer. Aku yang tidak ingin terjebak bersamanya lagi langsung berusaha mengelak dari ajakannya. “Bang, aku lagi sibuk. Bang Tyaga kan bisa menemui mereka sendiri.” “Moana,” ucapnya tegas, “aku seorang bos dan kamu mahasiswa, menurutmu siapa yang lebih sibuk?” Seketika bibirku mengerucut. Perlu banget ya memperbandingkan status masing-masing seperti itu? “Iya, iya, aku tahu Bang Tyaga bos,” sungutku berbalik dan berjalan ke dalam rumah. “Eh, mau ke mana?” “Ganti baju. Aku enggak mungkin menemui mereka dengan pakaian seperti ini, kan?” jawabku malas. “Oke,” sahut Tyaga tersenyum senang tanpa memedulikan wajah masamku. Aku kembali tidak lama kemudian, mengenakan overal kulot sepanjang betis dari bahan denim yang kupadukan dengan kaus lengan pendek bermotif garis horizontal. Tas selempang berwarna senada dengan sneaker yang kupakai, kusampirkan di pundak kiriku. Rambutku yang keriting kubiarkan tergerai begitu saja. Tyaga meraih tanganku tanpa izin, refleks aku menariknya, tapi gengggamannya lebih erat. Akhirnya aku hanya bisa pasrah saat dia menggandengku menuju mobil. “Konsep pernikahan seperti apa yang kamu inginkan?” tanya Tyaga di tengah perjalanan. Aku yang sedang melihat keluar jendela hanya mengangkat bahu. “Benar nih enggak mau pesta pernikahan ala-ala Cinderella?” Dari nada suaranya aku tahu dia sedang meledekku. Aku berdecak kesal tanpa menoleh padanya. “By the way, kenapa kamu jadi enggak suka Cinderella? Padahal dulu kamu ngefans banget sampai kamarmu penuh dengan semua yang berhubungan sama Cinderella.” Kupalingkan wajah menghadap lurus ke depan. “Dari mana Bang Tyaga tahu? Bukannya pas aku mengoleksi Cinderella Bang Tyaga ada di Amerika?” tanyaku curiga. “Kan aku udah bilang, Mama yang kasih tahu,” jawab Tyaga cepat. Aku diam, tapi ucapan Kia kembali terngiang di telingaku. “Gue kok kepikiran Tyaga yang kasih hadiah-hadiah itu ya….” Mana mungkin, bantahku dalam hati langsung. “Jadi kenapa?” Tyaga bertanya lagi. “Apa?” “Kenapa kamu jadi enggak suka sama Cinderella?” “Mungkin karena aku bukan anak kecil lagi,” jawabku mengangkat kedua bahu. Tyaga menggeleng. “Pasti bukan karena itu.” “Bang Tyaga pernah dengar kisah aslinya Cinderella?” tanyaku tiba-tiba. “Yah, yang aku tahu ada banyak versi cerita Cinderella.” “Memang ada banyak, tapi sebagian besar cerita berakhir tragis.” “Tragis? Bukannya di semua cerita disebutkan Cinderella menikah dengan sang pangeran?” “Iya, tapi detail cerita aslinya sangat sadis. Ada adegan ketika kedua saudara tiri Cinderella memotong kakinya agar muat di sepatu kaca, dan di akhir cerita disebutkan Cinderella menghukum kedua saudara dan ibu tirinya dengan membiarkan mata mereka dipatuk burung merpati sampai mati.” Aku bercerita dengan menggebu-gebu. Tyaga terdiam sebentar, kemudian bergumam, “Jadi karena itu kamu menyimpan semua koleksi Cinderella-mu di gudang.” “Yah, aku enggak mau jadi fans putri yang kejam.” Aku menoleh cepat pada Tyaga ketika mendengar suara tawa tertahan dari arah pria itu, mendelik kesal padanya. “Maaf … maaf, aku enggak bermaksud menertawakan kamu,” katanya susah payah. “Tapi, Mo, itu kan cuma dongeng. Maksudku, kamu bisa saja menyukai satu versi tanpa harus menghubung-hubungkan dengan versi yang lainnya.” “Maksud Bang Tyaga, seperti aku yang seharusnya bisa menyukai Bang Tyaga versi sekarang tanpa menghubung-hubungkan dengan versi Bang Tyaga di masa lalu?” ucapku sarkastis. Aku tidak tahu apa yang membuatku begitu geram, tapi melihat Tyaga menertawakanku, aku merasa sangat marah. Tyaga mendadak terdiam, kemudian dia menoleh sebentar ke arahku seraya tersenyum lembut. Namun selanjutnya dia tidak berkata apa-apa lagi. Pandangan matanya menerawang ke depan, aku jadi merasa bersalah sudah berkata kasar padanya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD