Sebelas

1174 Words
Gaun midi hitam bergaris leher lurus dengan tali bahu yang tipis melekat di tubuhku. Detail draperi dari d**a sebelah kanan sampai ke pinggang di sisi kiri menghias bagian depan. Pantulan diriku di dalam cermin menampilkan sosok wanita yang terlihat lebih dewasa, dengan pulasan make up tipis dan rambut yang kubiarkan tergerai, hanya bagian sampingnya kutambahkan jepit rambut agar rambut keritingku tidak terlalu mengembang. Clutch dan flat shoes model balerina warna merah terbuat dari kulit yang halus melengkapi penampilanku. Kedua barang itu yang tadi ada di paper bag dari Tyaga, sedangkan satunya lagi berisi gaun yang sekarang kukenakan. Aku tidak tahu siapa yang memilihkan benda-benda ini, tapi aku sangat menyukainya. Modelnya yang simpel dan manis justru terkesan elegan. “Sudah cantik kok.” Aku menoleh, tersenyum melihat Bunda yang berdiri menyandar pada kosen pintu. “Bang Tyaga sudah menunggu kamu di luar tuh.” Bunda berbisik, matanya yang berbinar tidak bisa menyembunyikan kegembiraan yang ia rasakan. Perasaan bersalah terselip di hatiku, kututupi rasa gundah yang bersemayam di d**a dengan mengangguk kecil dan melangkah keluar menemui Tyaga. Pria itu berdiri membelakangiku di depan lemari sudut, tempat Bunda memajang beberapa foto keluarga yang dipigura. “Berangkat sekarang, Bang?” Tyaga berbalik, tapi tidak berkata apa-apa. Dia hanya terpaku memandangiku. “Bang?” tegurku menelengkan kepala di depannya. Seolah aku sudah mengejutkannya, dia tersentak. “Eh, ya, berangkat sekarang,” ucapnya gugup. Lalu menghampiriku dan mengulurkan lengannya. Aku mengarahkan bola mataku ke atas, melenggang mendahuluinya tanpa menghiraukan lengan yang dia sodorkan padaku. Tyaga buru-buru menyusul. Sebelum aku mencapai mobil dia sudah membukakan pintunya untukku. “Nggak usah lebay deh,” sungutku sebal. “Itu bukan lebay,” sanggahnya. “Tapi cara sopan memperlakukan seorang wanita,” sambungnya saat sudah duduk di kursi kemudi. Aku tidak menanggapi, berpaling dan memandang keluar jendela sementara Tyaga mengemudi. Tyaga menghentikan mobil di sebuah hotel bintang lima, lagi-lagi dia tidak membiarkanku membuka pintu sendiri. Belum selesai aku melepas sabuk pengaman, pria itu sudah berdiri di samping pintu yang terbuka. “Bang Tyaga enggak perlu bersikap sopan sama aku,” protesku ketika turun dari mobil. Tyaga tidak mengindahkan ucapanku, dia kembali menyodorkan lengannya padaku. “Jangan menolak,” katanya, “ini namanya etika.” Aku memang menuruti permintaan Tyaga, tapi dengan sorot mata siap membunuh yang kutujukan padanya. Bukannya gentar, Tyaga malah mengedipkan sebelah matanya padaku, kemudian dengan santai dia membimbingku menuju restoran hotel. Teman Tante Irene sudah menunggu bersama asistennya. Dia melambaikan tangan begitu melihat Tyaga dan langsung menyapa dengan hangat begitu kami berada di dekatnya. “Apa kabar, Sayang,” katanya memeluk Tyaga, kemudian beralih padaku sambil menelengkan kepalanya. “Jadi ini Milena yang sering diceritakan Irene, cantik sekali,” ucapnya ramah, lalu tanpa sungkan memelukku sambil berkata, “Kamu boleh panggil aku Tante Lin.” Dari Bunda aku tahu Tante Lin dan Tante Irene sudah bersahabat sejak mereka masih SMA. Sama seperti Tante Irene, Tante Lin masih terlihat cantik di usianya yang sekarang. Bedanya, kalau Tante Irene memiliki pembawaan yang tenang, Tante Lin lebih ke segar. Nada suaranya yang ceria dan ramah bisa membuat siapa pun yang baru mengenalnya merasa sudah akrab dengannya, termasuk aku. Sambil menikmati makan malam, kami berbincang hal-hal biasa. Hanya sekali menyinggung tentang gaun pengantin seperti apa yang aku inginkan. Dan karena aku tidak memiliki gambaran sama sekali, aku memilih menjawab dengan jawaban yang paling gampang. “Yang terbaik menurut Tante Lin saja.” Di tengah-tengah kegiatan makan kami, datang satu rombongan anak muda dan duduk tidak jauh dari meja kami. Mereka begitu ribut seolah tidak memiliki sopan santun sama sekali, padahal dari pakaian dan atribut yang mereka kenakan, aku yakin mereka anak-anak orang kaya. Merasa tidak nyaman dengan keributan yang mereka buat, kami buru-buru menyelesaikan makan malam dan berniat melanjutkan diskusi di butik Tante Lin. Saat kami meninggalkan meja, entah karena apa tiba-tiba rombongan anak muda itu tertawa terbahak-bahak. Aku baru tahu penyebabnya setelah salah satu dari mereka—seorang cowok—berdiri dan berjalan mengikuti cara berjalanku yang pincang. Spontan aliran darah naik ke wajahku, mataku berkaca-kaca, menatap nanar ke arah mereka yang semakin terbahak-bahak. Semua orang kini memandang ke arahku, sebagian dengan tatapan iba, tapi ada juga yang berbisik-bisik ikut menertawakanku dengan sembunyi-sembunyi. Aku tidak bisa menggambarkan bagaimana perasaanku saat ini. Malu, marah, sedih, geram, bercampur aduk jadi satu. Saat itu aku begitu sibuk dengan perasaanku sendiri sampai terlambat menyadari ketika tawa riuh itu berubah menjadi teriakan kesakitan dan u*****n-u*****n kasar. Betapa terkejutnya aku saat melihat Tyaga dengan kalap memukuli cowok yang menirukan cara berjalanku. Tidak hanya itu, dia juga menyerang pemuda lainnya dengan membabi buta hingga mereka tidak bisa lagi tertawa. Untungnya para gadis yang bersama mereka terhindar dari amukan Tyaga, mereka saling memeluk satu sama lain sambil menjerit-jerit ketakutan. Beberapa anak muda itu sudah ambruk, wajahnya lebam penuh bekas pukulan, bibirnya sobek dan mengeluarkan darah yang mengucur deras. Aku bergidik ngeri. Tyaga sama sekali tidak bisa dihentikan. Baru terhenti ketika dua orang satpam dan beberapa karyawan hotel bersama-sama menahannya. Melihat Tyaga yang dikerumuni orang banyak yang berusaha menenangkan dia, aku hanya terpaku dengan tubuh gemetar, Tante Lin langsung menyuruh asistennya membawaku keluar hotel. Di luar, aku menutup wajahku dengan kedua tangan, menangis sesenggukan. Asisten Tante Lin berusaha menenangkanku, untungnya dia wanita yang efisien sehingga paham sekali harus berbuat apa. Dia mengeluarkan air mineral dari tas besarnya dan diberikan padaku. Dengan tangan gemetar aku menerimanya. “Pelan-pelan saja,” kata asisten Tante Lin. “Terima kasih,” ucapku serak. Wanita itu mengangguk sambil tersenyum tipis. Entah berapa lama kami menunggu, aku begitu gelisah. Bayangan Tyaga yang dengan brutal memukuli mereka mengusik perasaanku. Secara tidak sengaja kejadian itu membangkitkan lagi memori yang sudah lama ingin kulupakan. Tinju yang dilayangkan Tyaga pada rahang para pemuda itu terus berputar di otakku, bergantian dengan ingatan tentang tongkat golf yang mengayun ke arahku. Tanpa sadar aku tersentak. “Kenapa?” tanya asisten Tante Lin khawatir, mungkin karena melihat tanganku yang gemetar hebat. Aku menggeleng. Pada saat itu aku melihat Tyaga dan Tante Lin datang. “Semua beres,” beri tahu Tante Lin. Tyaga menghampiriku. Ekspresinya saat ini sama sekali tidak bisa kujabarkan dengan kata-kata. Aku hanya bisa melihat rasa marah yang bercampur dengan perasaan sedih dari sorot matanya. Rambutnya kusut, kancing jasnya terlepas, penampilannya yang semula rapi kini berantakan. Dia melangkah mendekat, refleks kakiku bergerak mundur. Aku sadar seratus persen Tyaga tidak mungkin menyakitiku, tapi aku tidak bisa menahan keinginanku untuk menghindar darinya. Tubuhku seakan-akan bergerak sendiri. “A-aku enggak suka lihat kekerasan,” kataku cepat menutupi perasaan bersalah yang tiba-tiba muncul. Tyaga mengangguk mengerti, dia menatapku dalam. “Maafkan aku, Moana,” gumamnya sedih, menyentuh hatiku. Sorot mataku meredup, entah kenapa aku merasa permintaan maafnya lebih daripada sekadar meminta maaf atas apa yang telah ia lakukan hari ini. Kalimat itu seolah-olah ia tujukan pada kejadian di masa lalu, kejadian yang mengakibatkanku menjadi gadis cacat seumur hidup. “Ayo, pulang,” ajakku serak, berjalan terlebih dahulu menuju tempat mobil Tyaga terparkir. Aku bahkan sama sekali tidak berpamitan pada Tante Lin dan asistennya yang sudah menolongku. Saat ini aku hanya ingin pulang … meringkuk di kamarku yang nyaman. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD