Bukan makhluk penunggu gedung, tapi CEO tampan, Pak Argantara

2042 Words
“Iya, gua juga mau berangkat,” ucap Audya pada ponsel yang didekatkan pada telinga. Berjalan sambil mengapit ponselnya antara telinga dan bahu. Tangannya masih sibuk memasang jam di pergelangan tangan kirinya. “Iya, iya. Ya sudah see you.” Mengakhiri panggilan dan kembali meneruskan langkah. Liam menelepon dan berkabar seperti biasa. Ini telepon pertama pria itu setelah saat hari Sabtu meninggalkan Audya di kafe seorang diri. Huh, kurang ajar memang. Jika mengingat itu, Audya jadi kesal lagi. Padahal sudah sering Audya di tinggalkan Liam oleh alasan yang sama. Clara. Tapi rasanya masih tetap menyakitkan. Hari ini Audya memilih berangkat lebih pagi. Menghindari angkutan umum yang penuh sesak. Syukurlah doanya terkabul. Masih berisi hanya beberapa orang saja. Kalau seperti ini kan Audya jadi bisa duduk. Mendudukkan diri di kursi kosong yang ada. Menatap jalanan di samping kanannya. Padahal masih terlalu pagi untuk mulai beraktivitas, khususnya yang bekerja di kantor atau anak sekolah. Tapi jalanan sudah mulai padat. Mungkin karena mereka juga berpikiran seperti Audya. Menghindari jalanan ini lebih padat. Bisa jadi sih. Berhenti di halte terdekat dengan kantor. Mengangsurkan uang untuk membayar dan menuruni angkutan. Menyeberangi jalan yang ramai membuat kesabaran Audya hampir habis. Tidak ada yang berhenti untuk memberinya jalan. Setidaknya gunakan rasa kemanusiaan mereka kan. Rasanya ingin menangis. Saat sudah hampir pasrah, senyum Audya terbit begitu menyadari kedatangan seseorang. Dia Jaka. Office boy yang kemarin sempat membelanya. “Ayo, Mbak,” ajaknya. Audya berjalan cepat mengikuti langkah Jaka. Bernafas lega begitu berhasil tiba di pintu masuk kantor. Akhirnya. Jika tidak ada Jaka, mungkin Audya masih berdiri seperti orang bodoh di sisi jalan. “Terima kasih ya,” ucap Audya dan berlalu memasuki gedung. Masih lumayan sepi ketimbang sebelumnya. Sepertinya, mulai besok Audya akan datang pada jam ini juga. Mendudukkan diri di kursinya dan membuka ponsel. Apa lagi kan? Audya tidak mempunyai kesibukan. Huh, sampai hari ke enamnya magang saja dirinya masih belum diberi tugas yang sesungguhnya. Hanya sebatas menjadi pesuruh karyawan lain saja. Ingin protes, tapi tidak tahu pada siapa. Takutnya juga nanti dianggap terlalu sok. Anak magang saja sampai protes. Hanya bisa diam dan berharap semoga sisa magangnya nanti diberi tugas yang berguna. Nanti saat selesai magang dan menjalankan sidang, tidak mungkin kan menceritakan dirinya yang tiga bulan magang hanya menjadi pesuruh. Nasib nilainya bagaimana nanti. “Audya, tolong kerjakan ini ya.” Audya mendongakkan kepalanya menatap orang yang berbicara dengannya. Namanya Mayang, orang paling welcome di ruangan ini pada kehadiran si anak magang. Menunjuk dirinya sendiri untuk memastikan bahwa memang dirinya yang dimintai tolong. Mayang tersenyum kecil dan mengangguk. Hari ini, Mayang ada agenda untuk keluar kantor. Menjadi perwakilan dari divisi ini untuk melakukan rapat. Kepala divisi sedang cuti, jadilah Mayang yang dianggap paling senior yang menggantikan. “Iya, kamu. Tolong, ya. Mbak ada pekerjaan lain dulu soalnya. Nanti kalau sudah selesai, flashdisk nya taruh di meja mbak saja. Terima kasih ya Au,” ucap Mayang. Bernafas lega melihat Audya yang menganggukkan kepala. “Kalau ada yang bingung, bisa tanyakan ke yang lain ya. Kalau enggak ya hubungi mbak saja. Ini nomor ponsel mbak.” Mencatat deretan nomor ponsel milik Mayang. Menyimpannya segera. “Baik, Mbak. Terima kasih ya,” ujar Audya disertai senyum. Siapa yang tidak bahagia coba, mendapat pekerjaan pertamanya hari ini. Pekerjaan yang sudah seharusnya di dapatkan sejak hari pertama menginjakkan kaki di sini. “Mbak percaya kalau kamu itu bisa. Oh iya, jangan hiraukan yang enggak suka sama kamu ya. Mereka memang seperti itu. Kalau ada perkataan yang menyakitkan juga masuk telinga kanan dan keluarkan melalui telinga kiri ya. Kamu di sini kan untuk magang, menunaikan tugas kuliah kamu. Berikan yang terbaik yang kamu miliki,” pesan Mayang. Tugas Mayang sebagai senior di divisi untuk merangkul semua orang yang satu divisi dengannya. Menyesalkan dirinya tidak ada saat tempo hari Audya disudutkan oleh karyawan lain. “Terima kasih, Mbak. Aku akan mengingat pesan mbak Mayang.” Mayang berlalu pergi. Tugas wanita itu cukup banyak saat ini. “Bismillah, pekerjaan pertama. Semoga semuanya lancar,” gumam Audya. Memulai pekerjaannya. Untung saja Audya pintar, jadi masalah seperti ini tidak terlalu memusingkan dirinya. Berkutat dengan deretan angka yang ada pada layar. Audya masuk divisi keuangan sesuai dengan jurusannya yang mengambil akuntansi. Jika kebanyakan orang akan pusing jika berhubungan dengan angka, maka Audya sebaliknya. Akan sangat bersemangat jika bertemu dengan angka-angka. Memang memusingkan, namun Audya menikmati pilihannya. Sampai jam makan siang pun, belum semuanya terselesaikan. Mungkin masih ada sekitar setengahnya. Mengistirahatkan mata dan juga tubuhnya. Berjam-jam hanya duduk menghadap layar membuat sekujur tubuhnya pegal. Matanya juga mulai perih. Audya lupa membawa kacamatanya. Ingatkan agar besok selalu membawanya. Mengikuti karyawan lain menuju kantin untuk mengisi kembali tenaganya. Cacing di perut Audya sudah berdemo minta diisi. Saking paginya Audya berangkat, sampai tidak sempat sarapan. Hanya mengganjal dengan satu bungkus roti saja. Menghela nafas lemah saat melihat meja-meja yang tersedia sudah penuh. Padahal Nirina ingin sekali makan. Tapi, akan duduk di mana? Tidak mungkin makan di ruangannya kan. Takut jika nantinya malah salah. Ah, susah sekali menjadi mahasiswa magang. Mau melakukan apa pun, takut salah di mata yang lain. Sebagai orang yang keberadaannya tidak terlalu dibutuhkan, Audya hanya bisa menjauhi semua hal yang berkemungkinan akan menyebabkan kekacauan. “Penuh ya, Mbak? Makan di dapur juga enggak papa, kok. Makan ramai-ramai di sana.” Menoleh dan lagi-lagi mendapati Jaka. Tidak sendiri, laki-laki itu datang dengan teman perempuannya. Audya tersenyum lebar. Itu ide yang bagus. “Iya juga ya Bang. Oke deh.” Mendekat ke arah kantin dan memesan makanan. Satu porsi nasi goreng dan es jeruk. Membawanya menuju dapur yang diperuntukkan bagi pegawai jika ingin membuat sesuatu. Yang lebih sering dihuni office boy karena kebagian membuatkan pesanan pegawai di sini. Tersenyum canggung menyapa orang yang sudah terlebih dahulu tiba. Mendudukkan diri di kursi yang ada dan mulai menyantap makanannya. Bernafas lega saat perutnya berhasil terisi. Jika lebih lama menunda makan, mungkin Audya akan pingsan nantinya. Sedang asyik-asyiknya makan, kedatangan seseorang membuat dirinya berhenti mengangsurkan sendok pada mulut. Metanya melihat semua orang yang ada di sini berdiri dan menunduk hormat yang mau tidak mau Audya ikuti walau dirinya tidak tahu menahu alasannya. Matanya membola mendapati pria tampan yang sudah ditemuinya beberapa kali. “Selamat makan, ya. Kalau begitu saya pamit dulu,” ucapnya seraya tersenyum. Senyum yang mampu menggetarkan hati Audya. Ini senyum selain senyum Liam yang rasanya menenangkan jiwa. “Baik, Pak. Terima kasih,” jawab mereka berbarengan. Audya hanya ikut menunduk hormat lagi. Saat si pria tadi benar-benar pergi, Audya menatap Jaka yang juga sudah berada di sini penuh tanya. “Dia, siapa?” bisik Audya. Sungguh memalukan di minggu ke dua bekerja tidak mengetahui pria yang kemungkinan salah satu petinggi perusahaan. “Oh, namanya pak Argantara, Mbak. Sesuai namanya. Beliau pemilik sekaligus CEO perusahaan Gantara corp ini.” Benar dugaan Audya jika orang tadi merupakan orang penting. Ah, malah melebihi ekspektasi Audya sih. Pak Argantara, beliau malah menjabat sebagai pemilik dan CEO. Lebih dari orang penting. Huh, orang paling penting di perusahaan. Bernafas lega walau Audya baru mengetahui tentang itu, setidaknya sebelumnya tidak pernah membuat masalah. Bisa langsung dibuang nanti. Kembali ke mejanya. Mengerjakan pekerjaan yang masih belum selesai. Menghitung uang yang tidak berbentuk membuat kepala agak pusing. Deretan angka yang biasanya disenangi, entah sejak kapan menjadi dirutukinya. Saat di perkuliahan, tentu saja tidak seribet ini. Audya masih bisa mengatasinya. Sedangkan ini, ingin rasanya Audya menyerah dan mengembalikan semuanya pada mbak Mayang. Tapi, Audya tidak mungkin melakukan itu. Mbak Mayang sudah mempercayainya dengan penuh, masa Audya harus mengecewakan wanita itu sih. Yang ada dirinya tidak tahu diri dan tidak tahu berterima kasih. Dari kemarin saja mengharapkan pekerjaan yang sesuai, giliran diberi malah mengabaikan. Dan kenapa pula di saat sibuk mengurus angka-angka ini, bayangan wajah tampan si pemegang tertinggi kekuasaan terus saja datang. Bapak CEO memang tampan dan gagah. Perawakan yang paling sering dielu-elukan kaum hawa. Audya tidak memungkiri itu. Yang dijalaninya sekarang mirip dengan jalan cerita n****+ yang pernah dia baca. CEO tampan luar biasa dengan perawakan sempurna. Kalau di cerita, pria hampir sempurna itu nantinya akan menikahi wanita biasa saja. Menggelengkan kepala begitu pikirannya sudah mulai terbang ke mana-mana. Bagaimana mungkin, pria seperti pak Argantara menaruh minat pada Audya yang bukan apa-apa. Kalau di n****+, perempuan biasa itu memiliki kecantikan yang luar biasa. Nah Audya, seluruh yang ada pada tubuhnya tidak ada yang melebihi kata standar. “Sudah Au, lu terlalu jauh berpikir dan berharap. Itu semua hanya ada di n****+. Enggak di kehidupan nyata. Kalaupun ada, kasusnya satu banding seribu. Dan satu itu, bukan lu,” gumam Audya mengingatkan dirinya sendiri agar tidak terlalu jauh bermimpi. “Tapi enggak ada salahnya kan kalau membayangkan jika semua kebahagiaan di n****+ datang di kehidupan gua? Sah-sah saja kok.” “Enggak! Semuanya salah. Selain berharap terlalu tinggi, yang nantinya ditakutkan akan berubah gila jika tidak tersampaikan, pria sekeren pak Argantara pasti sudah memiliki istri mungkin juga beberapa anak yang lucu.” Audya berperang dengan pikirannya sendiri. “Fokus, fokus. Kerjakan semuanya dengan benar, siapa tahu nanti ke depannya jadi karyawan tetap kan,” ingat Audya sambil tersenyum lebar. Ya, harus menyelesaikan dengan sempurna. Itu bisa menjadikan bahan pertimbangan pihak perusahaan. Nasib baik jika Audya akan ditarik nantinya setelah menyelesaikan pendidikan strata satunya. Siapa yang akan menolak bekerja di perusahaan besar dan bergengsi ini. “Akhirnya selesai juga,” desah Audya lega. Memijat bahunya yang pegal. Menatap sekelilingnya, dan ternyata sudah sepi. Melihat jam yang melingkar pergelangan tangan kirinya. Jam lima sore. Pantas saja sepi. Jam kantor sudah selesai sekitar satu jam yang lalu. Audya terlalu fokus sampai tidak menyadari bahwa tugasnya hari ini sudah selesai. Memberesi barang bawaannya. Menyampirkan jas almamater di tangan. Akan sangat gerah jika menggunakannya. Apalagi dengan kemeja lengan panjang di dalamnya. Berjalan cepat menuju lift. Lantai ini begitu sepi. Membuat Audya memikirkan hal-hal mistis di kepalanya. Seperti yang sering dia dengar, gedung perkantoran pasti banyak makhluk lain yang menghuni. Menggumamkan doa-doa yang Audya hafal. Besok-besok Audya sebisa mungkin pulang bersamaan dengan yang lain saja lah. Dari pada ketakutan seperti ini. Di lift pun sama. Mengambil posisi di pojok kanan. Kalau di dekat pintu, bayangan Audya ke mana-mana. Bisa saja kan di belakangnya ada makhluk lain. Bernafas lega begitu sudah tiba di lantai dasar. Bergegas keluar. Kepalanya terputar begitu mendengar tanya dari seseorang yang berada di belakangnya. Kepala Audya sudah dipenuhi kemungkinan-kemungkinan buruk. Tidak mungkin kan jika makhluk itu datang dan menanyakan kenapa dirinya baru pulang? Audya memejamkan matanya takut. “Kamu, baru pulang?” tanyanya sekali lagi. Audya mengangguk-anggukkan kepalanya masih dengan memejamkan mata. Belum siap jika matanya ini menatap makhluk yang entah berbentuk seperti apa. “Memang apa yang kamu kerjakan? Dan, kenapa kamu terlihat ketakutan?” Audya membuka matanya. Suara itu, tidak asing di telinganya. Batinnya memaki sifatnya yang begitu penakut. Kalau sudah seperti ini, apa yang harus Audya lakukan? Rasanya malu sekali. Saking malunya, ingin pergi sejauh mungkin. “Kamu menganggap saya bagian dari makhluk penunggu gedung ini?” Audya mengangguk beberapa kali. Setelahnya menggeleng saat menyadari bahwa perbuatannya tadi tidaklah benar. Bagaimana bisa menganggap pemilik perusahaan sebagai makhluk penunggu gedung ini yang dalam artian makhluk lain? “Aduh, itu, Pak. Bukan, aduh. Maafkan saya, Pak.” Audya sulit untuk berkelit. Memutuskan langsung meminta maaf saja. Dirinya memang bersalah kok. “Ada-ada saja. Dan oh iya, jawab pertanyaan saya. Kenapa baru pulang? Memang apa yang kamu kerjakan?” tanya Argantara beruntun. Jika menilik status Audya yang sebagai mahasiswa magang, sepertinya tidak masuk akal jika gadis itu pulang terlambat untuk menyelesaikan pekerjaan. “Itu, anu, saya baru saja menyelesaikan tugas yang diberi mbak Mayang pak,” jawab Audya gagap sekaligus gugup. Huh, aura bos tertingginya ini begitu kuat. Mampu membuat Audya bingung harus menjawab apa. Mengangguk menerima jawaban yang Audya berikan. “Ya sudah. Saya pergi dulu. Dan perlu yang kamu tahu, tidak ada makhluk penunggu gedung ini yang tampan seperti saya.” Argantara meninggalkan Audya yang hanya bisa melongo di tempat. Apa telinga Audya benar mendengar kalimat itu dari Argantara yang selalu terlihat datar? Wah, sepertinya penilaian Audya ada yang keliru. Tapi, dia memang tampan. “Ah, bodo amat. Sekarang pulang saja dulu. Masalah memalukan ini juga pasti pak Argantara bakal melupakannya. Dasar Audya bodoh.” Sepanjang perjalanan, Audya tidak henti merutuki dirinya sendiri. Mau taruh di mana wajahnya jika bertemu dengan bosnya lagi? Bolehkah menyelesaikan tiga bulannya di hari ini juga?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD