“Dy, lu tahu enggak? Gua baru saja balik dari jalan sama Clara dong. Yang perlu lu tahu ya Dy, belakangan ini Clara itu welcome banget sama gua. Enggak kaya sebelum-sebelumnya. Ha ha, menghidupkan harapan yang sebenarnya sudah pupus,” cerita Liam dari seberang telepon. Pria itu seperti biasa, menghubungi Audya jika ada sesuatu yang menurutnya penting untuk dibagikan.
Audya tersenyum masam. Menjadi teman Liam, mengharuskan dirinya tahan banting akan perasaan yang sewaktu-waktu bisa sakit. Liam memang tipe pria yang suka menceritakan apa yang dialami. Lebih tepatnya menceritakan semua yang dia alami bersama Clara. Untuk masalah lain selain Clara, Liam lebih tertutup. Audya yakin bahwa Liam tidaklah sengaja melakukannya. Tidak mungkin Liam menyakiti hatinya secara sengaja. Lagi pula, Liam kan tidak tahu menahu mengenai perasaannya.
“Ah, iyakah? Selamat kalau begitu,” balas Audya yang seceria mungkin. Tidak mau jika Liam mengetahui rasa yang ada, pria itu malah menjauh. Audya tidak masalah kok, hanya menjadi sebatas teman. Untuk saat ini, yang penting bisa dekat dengan Liam saja sudah senang. Bodoh memang.
“Iya, Dy. Doakan semoga saat gua nembak entah yang ke berapa kalinya diterima ya. Kalau diterima, lu gua ajak makan-makan Dy. Sepuas lu.”
Audya tidak perlu kok ditraktir di hari bahagia Liam nantinya. Lebih memilih pura-pura tidak tahu sepertinya lebih baik. Tidak mau jika hatinya makin terluka. Audya sudah bisa membayangkan akan sesakit apa perasaannya jika kenyataan itu datang. Ya Tuhan, jahatkah jika Audya berharap jika saat itu tiba, saat di mana Liam menemukan perempuan yang dicarinya selama ini, dirinya sudah terlepas sepenuhnya dari lubang cinta sepihak?
“Wah. Terima kasih ya, Li.”
Audya memberikan respons seadanya. Memang apa yang diharapkan? Audy akan mendoakan harapan Liam? Dan membiarkan dia merasa sakit sendiri? Audya tidak sebaik itu.
“Lu kok kaya begitu sih? Kaya enggak suka kalau gua dekat sama Clara?” tuduh Liam yang sepenuhnya tepat.
“Iya, gua enggak suka kalau lu dekat sama cewek lain. Gua suka sama lu!” inginnya, Audya bisa meneriakkan kalimat itu. Audya juga ingin Liam tidak lagi bercerita mengenai gadis yang dia suka pada Audya. Sayangnya, semua kalimat persetujuan hanya mampu berhenti di mulutnya tanpa berani diutarakan.
“Hah? Kok begitu? Itu cuman perasaan lu saja, kali. Terus gua juga lagi capek banget sih. Dikasih tugas sampai harus lembur,” jawab Audya. Dia memang lelah, tapi lelah tidak akan menyurutkan semangat saat bertelepon ria dengan Liam. Sekarang Audya hanya sedang cemburu saja.
“Oh lu sudah diberi pekerjaan? Selamat ya, penantian lu akhirnya tersampaikan juga. Ya sudah, gua tutup dulu ya. Selamat beristirahat.”
Meletakkan ponsel di atas meja yang ada di toko kelontong milik ibunya. Merebahkan kepalanya dan menghela nafas panjang. Apa Audya masih sanggup, jika hari-harinya ke depan harus mendengar cerita Liam? Membayangkan betapa hidupnya akan berat setelah ini. Audya kurang beruntung dalam percintaan. Dulu, dulu sekali. Audya pernah mencintai teman sekelasnya saat duduk di bangku sekolah menengah pertama. Cinta pertama yang masih diingatnya sampai kini. Sayang beribu sayang, yang dicinta malah menyukai temannya sendiri. Teman satu mejanya. Dan yang lebih parah, si teman itu mengetahui bagaimana perasaan Audya. Audya merasa dibohongi dan dikhianati ketika ternyata mereka sudah menjalin kasih. Hubungan Audya dan teman satu mejanya itu merenggang bahkan sampai lulus sekolah. Huh, menyedihkan. Cinta selanjutnya, Audya ditampar oleh kenyataan bahwa mereka benar-benar berbeda. Dari segi mana pun, jelas perbedaannya. Ya, cinta kedua menjadi milik Liam. Audya kira, jatah sakit hatinya sudah habis, ternyata masih saja. Selain keyakinan yang berbeda, mereka juga bagaikan langit dan bumi. Liam dengan segala kekayaan yang dimiliki, dan Audya hanya seperti ini. Kenyataan memang menyakitkan.
“Kak, boleh ibu berbicara sama kamu?” Audya menegakkan kepalanya. Menatap wanita yang sudah memberikannya kehidupan. Ibunya.
Melemparkan senyum kecil untuk menunjukkan bahwa dirinya sekarang sedang baik-baik saja. Senyum memang melambangkan jika diri sedang baik. Huh, hal keliru yang banyak orang gunakan untuk membohongi dirinya sendiri dan orang lain.
“Ada apa, Bu?” tanya Audya. Mengernyitkan keningnya penasaran. Tumben-tumben sekali ibunya izin untuk bicara. Apa ini penting?
Wanita setengah baya itu terlihat menarik nafasnya dalam. Wajahnya tercetak jelas kebimbangan. Mungkin bingung harus mengutarakan atau mengurungkan niat.
“Kamu, suka sama nak Liam?”
Kalimat tanya sederhana yang mampu membungkam Audya tanpa kata. Apa perasaannya terlihat begitu jelas? Padahal selama ini Audya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyembunyikannya. Kalau ibunya sudah tahu, apa orang lain juga ada yang menyadari? Apa mungkin Liam juga tahu? Audya menggeleng. Liam tidak boleh tahu.
Tersenyum miris. Audya tidak bisa berkelit. Apa yang dituduhkan padanya seratus persen benar. Berbohong juga tidak ada gunanya. Ibunya pasti bisa merasakan bahwa sang putri tengah galau akibat Liam yang sudah memiliki gadis incarannya sendiri. Yang jelas, yang lebih segalanya dibanding Audya.
“Ibu enggak bisa untuk meminta kamu berhenti. Itu perasaan kamu. Semua itu milik kamu. Enggak ada cinta yang salah. Jatuh cinta sangat wajar terjadi. Itu juga enggak bisa kalau kita yang menentukan mau suka sama si A atau si B. Semua rasa itu alami. Tapi, kamu tahukan, kalau antara kalian berdua juga enggak akan mungkin bisa. Kalian jelas berbeda. Ibu bukannya mau menyudutkan kamu atau apa, cuman mau mengingatkan saja supaya kamu enggak makin jauh jatuh cinta. Kalau bisa sudahi sekarang ya, daripada nantinya bakal lebih sakit lagi.” Dina mengelus sayang kepala putrinya.
Audya menangis dalam diam. Ibunya benar. Audya juga sudah berniat melupakan Liam dari dulu. Tapi nyatanya tidak semudah itu. Tidak bisa mengubur begitu saja rasa yang sudah mekar. Mungkin cara paling efektif dengan menemukan orang baru. Semoga saja Audya segera menemukan sosok baru itu sesegera mungkin agar cepat terlepas dari bayang Liam.
“Audya enggak tahu bagaimana dan mulai kapan tepatnya rasa itu hadir Bu. Audya selalu sakit hati setiap Liam menceritakan tentang gadis yang dia cintai. Dia bahkan berkali lebih hidup jika menceritakan tentang itu. Sebaliknya, saat itu Audya rasanya seperti mati perlahan. Dari dulu ingin menguburnya, tapi enggak bisa Bu. Audya harus bagaimana?”
Audya menceritakan seluruh yang dia rasa. Selama ini, belum pernah berbagi cerita dengan orang lain. Hanya memendamnya sendiri sampai membuat dirinya sesak.
Dina memeluk tubuh putrinya. Mendekap lembut dan berbisik bahwa putrinya pasti bisa terlepas dari semua yang membelenggunya kini. Tangis Audya berangsur mereda. Menarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan. Sekuat tenaga mengesampingkan rasa sakit yang baru saja dia rasakan. Sekarang, semua pasti akan kembali membaik. Jauh lebih baik dari sebelumnya.
“Sekarang, tutup tokonya saja ayo. Kamu pasti lelah seharian bekerja. Harusnya pulang langsung istirahat, malah jaga toko. Maafkan ibu ya. Ibu belum bisa memberikan hidup enak buat kalian. Ibu, merasa gagal menjadi orang tua karena selalu merepotkan kalian.”
Sekarang gantian Audya yang memeluk Dina.
“Enggak ada yang salah sama hidup kita kok Bu. Aku juga bahagia-bahagia saja. Bisa memiliki ibu, bapak, dan adik merupakan salah satu karunia paling luar biasa yang sudah Allah beri. Ibu jangan berbicara seperti itu lagi ya. Atau aku akan marah,” ancam Audya.
Tidak senang jika sang ibu sudah membahas mengenai dirinya yang gagal. Audya tidak pernah merasa demikian kok. Ibunya sosok luar biasa yang selama ini berjuang untuk keluarga.
Selesai menutup tokonya, Audya masuk ke dalam kamar. Merebahkan tubuhnya. Inginnya langsung tidur. Tapi teringat ada tugas kuliah yang belum dikerjakan. Sulitnya semester ini, selain magang Audya juga masih dibebankan tugas kuliah. Sebisa mungkin membagi waktunya agar semua bisa terselesaikan.
“Kalau gua kerja, masih cukup enggak ya waktunya? Gua enggak bisa terus-terusan minta uang sama ibu. Enggak tega. Mungkin bisa freelance. Iya, gua coba cari-cari dulu deh. Atau, jadi guru les privat lagi juga oke. Gua bisa datang ke rumah mereka habis dari kantor. Iya, lagian kan gua magang cuman sampai tiga bulan. Tiga bulan ini lebih capek juga enggak masalah.”
Dulu, saat awal-awal masuk perkuliahan, Audya sempat bekerja sebagai guru les privat anak orang kaya. Hasilnya lumayan bisa menutup kebutuhan harian. Berhenti karena merasa jadwalnya di kampus kian padat. Apalagi Audya kan juga saat itu mengikuti organisasi. Jadi memutuskan berhenti.
“Coba chat Liam deh. Siapa tahu ada saudaranya atau siapanya yang butuh les,” gumam Audya.
Mengirimkan pesan singkat pada Liam. Liam itu memiliki banyak saudara dan semoga saja salah satu atau beberapa dari saudaranya ada yang membutuhkan jasanya. Walaupun nanti Audya harus bersinggungan lagi dengan Liam. Ah, masalah perasaan itu bisa dikesampingkan.
Yang terpenting sekarang, Audya harus mendapatkan tambahan uang.
Memekik girang saat tidak lama setelahnya, Liam membalas pesan. Pesan balasan berisi bahwa ada satu saudaranya yang dari kemarin mencari guru les untuk putrinya. Liam sebenarnya mau menawarkan pada Audya dari kemarin tapi dirinya lupa.
Malam ini, Audya tidur dengan tenang. Sudah mengantongi satu alamat yang nantinya akan menjadi calon siswanya. Huh, tidak sabar untuk memulai hari esok.
Besok, setelah pulang dari kantor, Audya akan langsung datang. Kata Liam, dia dibutuhkan secepatnya. Sudah berkabar dengan orang yang bersangkutan dan diminta untuk datang esok pagi. Bodohnya Audya, lupa menanyakan usia dan kelas si anak. Kalau ukuran sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, masih gampang. Namun kalau sudah memasuki jenjang sekolah menengah atas, Audya perlu mempelajarinya terlebih dahulu.
***
“Kayanya kamu lagi bahagia banget, Kak?” tanya Dina yang heran melihat senyum Audya.
Perasaan semalam baru saja menangis, dan hari ini sudah kembali cerah. Apa ada sesuatu yang sudah terjadi semalam?
“He he, enggak, Bu. Oh iya, nanti Audya pulangnya agak telat ya, ada sesuatu yang harus diselesaikan,” izin Audya. Takut jika nanti membuat ibunya menunggu dan cemas. Seperti kemarin. Biasanya Audya sampai rumah jam lima, kemarin telat sampai satu jam. Dan parahnya lagi, Audya kehabisan baterai jadi tidak sempat meminta izin. Membuat ibunya menunggu dengan perasaan cemas. Audya merasa bersalah kemarin.
“Iya, hati-hati ya. Semoga segala urusan kamu dipermudah. Jangan lupa salat ya kak. Ibu enggak suka loh kalau kamu bolong-bolong salatnya.” Audya meringis.
Dirinya memang bukan hamba yang taat. Masih suka melalaikan kewajibannya. Jangan ditiru ya.
Tiba di kantor, Audya langsung mendudukkan diri di kursinya. Tidak ada yang Audya lakukan. Tugas yang kemarin diberikan sudah selesai. Jadi, hanya bisa diam berharap tugas selanjutnya akan datang. Mendongak mendengar adanya suara langkah yang mendekat. Tersenyum lebar mendapati mbak Mayang. Apa Audya akan mendapat tugas lagi?
“Selamat pagi, Mbak,” sapa Audya sambil tersenyum.
Senyumnya luntur begitu melihat wajah Mayang yang serius. Audya jadi ketar-ketir. Apa dirinya membuat kesalahan pada laporan kemarin? Audya sudah menelitinya berkali-kali dan semua sudah sesuai kok.
“Terima kasih ya, sudah bantu mbak kemarin. Dan ini, ada tugas lagi untuk kamu. Tolong selesaikan sebelum jam makan siang ya. Ini dari pak bos langsung.”
Menerima flashdisk dan beberapa lembar kertas yang Mayang berikan. Tadi kata Mayang, langsung dari pak bos? Siapa yang dimaksud? Tidak mungkin dari pak Argantara kan? Menggelengkan kepalanya menghilangkan kemungkinan itu. Bagaimana mungkin juga sang pemegang jabatan tertinggi memberikan tugas pada anak magang sepertinya. Iya, pasti pak bos yang Mayang maksud bukan Argantara. Audya yakin itu.
Mulai berkutat dengan laporan. Fokus pada apa yang sedang dikerjakan tanpa memedulikan sekitar. Audya tipe yang akan sangat fokus sebelum menyelesaikan tugas yang dikerjakan. Baginya, lebih cepat selesai akan membuat dirinya lebih segera beristirahat.
Bernafas lega begitu semuanya sudah dia selesaikan. Merenggangkan ototnya yang mulai merasa sakit semua. Audya bingung. Kalau sudah selesai, dia harus memberikannya pada siapa? Tadi Mayang tidak menyampaikannya. Menengok kanan kiri. Ingin bertanya tapi yang lain sibuk dengan layar komputer masing-masing.
Menengok kanan kiri. Ingin bertanya tapi yang lain sibuk dengan layar komputer masing-masing. Memutuskan akan memberikannya pada Mayang saja seperti kemarin. Melangkah menuju tempat seniornya itu berada. Kosong. Tapi Audya dapat melihat sebuah note yang bertuliskan pesan. Pesan yang diyakini untuk Audya. Melotot horor membacanya. Haruskah Audya datang sendiri mengantarkan pada ruang pak Argantara? Kenapa? Bukannya masih ada atasan di divisi ini yang memiliki tugas berhubungan langsung dengan pak Argantata? Apa ini ada hubungannya dengan kemarin? Kejadian memalukan itu? Rasanya Audya ingin menenggelamkan diri di rawa-rawa saja sekarang.
Meraih ponsel dan mengirimkan pesan pada Mayang. Memastikan note itu untuk dirinya atau bukan. Balasan Mayang membuat Audya ingin keluar dari kantor ini sekarang juga. Menarik nafas dan meyakinkan dirinya. Audya bisa menghadapi bos besarnya. Harus bisa. Menaiki lift menuju ruangan CEO. Jantungnya bertalu cepat. Apa hari ini Audya akan tamat?
“Mbak, saya disuruh untuk memberikan laporan ini pada pak Argantara,” ucap Audya pada sekretaris Argantara yang duduk stand by di depan pintu.
“Oh iya, silakan masuk saja. Bapak sudah menunggu.” Mendengarnya, makin membuat Audya ketar ketir. Menunggu?
“Selamat siang pak,” sapa Audya gugup. Membuka pintu perlahan setelah sebelumnya mengetuk pintu pelan, dan memasukkan diri. Suasana yang ada begitu mencekam. Tubuh Audya sudah dibanjiri keringat dingin.