Di hari Sabtu ini, Audya memiliki janji temu dengan Liam. Pria itu semalam baru saja pulang dari tempat kos barunya. Karena perjalanan dari rumah menuju perusahaan tempat magang yang cukup jauh, Liam terpaksa mengekos di sana. Akan pulang di hari Jumat sore dan jika ada keperluan kampus.
“Bu, aku keluar dulu ya,” pamit Audya.
Mencium punggung tangan ibunya. Bergegas pergi setelah mendapat anggukkan kecil dan pesan Dina agar berhati-hati.
Berjalan pelan menyusuri jalan kecil dan tibalah di jalan raya. Menunggu angkutan yang lewat. Untung saja yang ditunggu cepat datang. Menaiki angkutan, duduk di kursi kosong yang terletak di bagian belakang. Membuka ponselnya. Kali saja ada pesan penting yang masuk.
“Kiri, Pak!” teriak Audya begitu tiba pada tujuannya.
Kafe kekinian yang sering didatangi anak muda seusianya. Sekedar mengobrol atau sambil mengerjakan tugas. Memasuki kafe, matanya fokus meneliti di mana Liam berada. Ya, laki-laki itu sudah lebih dahulu tiba. Belum terlalu lama katanya. Audya tersenyum mendapati teman prianya yang tengah fokus dengan laptop di depannya. Menghampiri dengan langkah riang dan mendudukkan diri di kursi kosong di hadapan Liam.
“Hm.”
Audya berdehem bermaksud menyadarkan Liam mengenai keberadaannya. Terlalu fokus dengan layar datar sampai tidak menyadari bahwa Audya sudah duduk sambil menopang dagu.
“Lah, dari kapan lu sampai?” tanya Liam heran.
Audya membalas dengan dengusan. Tangannya terangkat, memanggil pelayan untuk mencatat pesanannya. Kali ini, Audya tidak perlu memikirkan mengenai harga pada tiap hidangan. Ada Liam yang dengan baik hati mentraktir.
“Saya ulang, oreo milkshake, siomay, sama burger double cheese ya kak. Apa ada tambahan lagi?”
Audya menggeleng sebagai balasan. Tiga pesanan tadi sepertinya sudah cukup untuk membuatnya kekenyangan. Sedikit tahu malu juga dengan Liam. Ha ha, rasanya seperti tidak tahu diri jika memesan makanan yang bahkan lebih banyak dari seseorang yang akan mentraktir. Jadi Audya menyamakan dengan jumlah pesanan Liam.
“Baik. Ditunggu ya, Kak.”
Pelayan meninggalkan meja berisi dua orang beda gender itu. Audya yang kebosanan memainkan ponselnya. Untung saja terhubung dengan wifi. Berencana men-download film dan aplikasi tambahan lainnya. Kalau pakai paket internet, sayang sekali. Akan langsung habis jika digunakan untuk menonton satu episode dengan jangka waktu tidak lebih dari lima menit. Audya merasa berat jika harus membeli paket internet yang harganya lumayan mengocek kantong. Memilih memanfaatkan gratisan yang ada. Selagi ada yang gratis, kenapa harus beli. Iya kan?
“Kurang banyak kalau pesan, Dy,” sindir Liam.
Audya menyengir. Dengan tidak tahu dirinya mengangkat tangan berniat menambah pesanan yang kata Liam kurang banyak.
Liam melotot horor. Padahal niatnya menyindir secara halus, tapi sepertinya Audya malah menganggap jika ucapannya serius. Liam memilih diam. Membiarkan Audya melakukan apa pun sesuka gadis itu. Menambah sampai sepuluh hidangan juga tidak akan menguras uang jajannya. Kalau Audya mau sekalian kafenya di beli, Liam masih sanggup kok.
“Enggak, enggak. Gua juga tahu diri kali.”
Audya menurunkan tangannya. Menopang dagu melihat Liam yang begitu sibuk. Tujuan pria itu meminta bertemu bukan untuk menemaninya mengerjakan tugaskan? Jika iya, huh pasti akan sangat membosankan. Tapi, tidak apa sih. Yang penting dapat makan gratis.
“Kalau mau nambah ya enggak papa, sih. Mau dibeli sekalian tempatnya? Bisa, kok. Apa sih yang enggak bisa gua lakukan?”
Liam menaik turunkan alisnya sombong. Walau kenyataannya memang seperti itu. Liam bisa membeli sekaligus bangunan ini. Enaknya menjadi orang kaya.
“Iya tahu, kok. Orang kaya mah beda,” cibir Audya.
Audya beruntung dipertemukan dengan Liam. Teman pria satu-satunya. Pribadi Liam yang hangat membuat Audya nyaman. Terlalu nyaman sampai menaruh harapan besar pada pria itu. Sayangnya, Audya tidak bisa untuk menyampaikannya. Audya perempuan. Tidak sepantasnya memulai. Walau tidak ada larangan tertulis, namun memilih tetap diam. Audya juga takut jika nanti Liam malah akan menjaga jarak karena tidak nyaman dengan rasa yang Audya miliki. Perbedaan antara keduanya begitu banyak. Sampai pada keyakinan mereka juga berbeda. Sepertinya memang mereka ditakdirkan untuk sekedar berteman, tidak lebih. Memilih aman dengan menyimpannya sendirian.
Huh, kalian tahu? Audya menaruh rasa pada Liam semenjak masuk semester dua, dua tahun yang lalu. Masih bertahan sampai saat ini. Bukankah Audya hebat? Rela menjadi teman cerita Liam yang lagi-lagi disiakan oleh wanita yang dicintainya. Ya, Liam mencintai teman masa kecilnya. Sayangnya perempuan itu selalu menolak dengan berbagai alasan. Andai saja Audya yang berada pada posisi itu, akan dengan senang hati menerima. Huh, nasibnya memang buruk. Mencintai temannya sendiri yang mencintai perempuan lain.
Audya langsung memakan pesanannya begitu tiba. Basa-basi menawari Liam yang dijawab gelengan. Liam masih fokus dengan layar laptop yang menyala.
Mengelus perutnya saat semua makanan sudah berpindah dari piring ke perut. Audya memang kuat makan, bahkan saat ini masih sanggup menampung beberapa makanan lagi. Sayangnya sudah tidak ada yang tersisa di meja.
“Masih mau makan? Pesan lagi aja, Dy,” ujar Liam.
Lebih dari dua tahun berteman, Liam jelas tahu bagaimana tabiat Audya yang suka makan. Kalau pesanan Liam tidak habis juga kadang Audya habiskan. Padahal Audya sudah makan makanannya sendiri.
Audya meringis. Tahu saja Liam.
“Enggak deh. Nanti saja ya, dibungkus. Buat keluarga di rumah. Boleh, 'kan?” Audya bertanya penuh harap.
Kasihan pada adiknya yang pasti ingin sekali jajan. Karena saking dekatnya mereka, Audya jadi tidak segan meminta traktir Liam. Kalian juga pasti punya teman yang benar-benar dekat sampai tidak canggung melakukan seperti ini.
Liam mengangguk. Yang disuka dari teman perempuannya ini, Audya ya tetap apa adanya. Tidak berpura-pura saat di hadapan Liam. Dan juga selalu ingat dengan keluarganya. Selama mengenal Audya, Liam jadi tahu bagaimana sulitnya kehidupan gadis di hadapannya. Namun Audya tidak pernah menggunakan kisah hidupnya untuk menarik simpati dari orang lain. Paling penting, Audya tidak seperti gadis lainnya yang terlalu berlebihan. Tanpa tahu malu mengaku mencintai Liam dan bermimpi untuk memiliki. Itu yang Liam tahu.
“Lu minta gua ke sini cuman buat jadi nyamuk antara elu dan laptop?” tanya Audya tidak percaya.
Ya Tuhan, sudah hampir satu jam keduanya duduk, namun tidak ada obrolan panjang yang tercipta. Sekedar main ponsel juga membuat Audya bosan sendiri.
Liam meneruskan gerakkan jarinya di atas keyboard. Namun tidak lama setelahnya meletakkan laptop di meja. Menyedot minuman pesanannya dan memusatkan pandangan sepenuhnya pada Audya.
“Enggak! Sebenarnya ada yang mau gua ceritakan. Tapi sebenarnya enggak terlalu penting sih. Jadi ya malas aja,” jawab Liam. Mengedikkan bahunya.
Mendengus kesal menghadapi teman prianya. Kalau tidak jadi, tidak usah berkata seperti itu kan bisa. Yang ada malah membuat Audya penasaran setengah mati.
“Lu tahu enggak sih, Dy?”
“Enggak!” jawab Audya langsung. Kali ini giliran Liam yang mendengus.
“Ngeselin banget jadi bocah,” cibir Liam.
“Ternyata ya, si Clara juga magang di KA. Bisa ketemu sama dia setiap hari gua. Kayanya memang kita itu jodoh deh. Dan lu tahu? Clara kan kos juga, pulang pergi bareng gua terus. Makan juga bareng. Kemajuan banget ya gua,” sambung Liam dengan wajah cerah.
Laki-laki itu begitu senang bisa satu kantor dengan teman masa kecil sekaligus pemilik hatinya.
Audya tersenyum. Menyembunyikan luka yang menganga. Setiap Liam bercerita mengenai Clara, wajah pria itu selalu cerah. Terlihat bahwa dia memang begitu memuja. Kalau sudah seperti itu, kesempatan Audya makin kecil kan? Ah, dari awal juga kesempatan untuk bersama Liam sudah sedikit. Teramat sedikit sampai tidak terlihat.
“Wah, bagus dong! Pepet terus Li, barangkali dia luluh dan menerima lu di pengungkapan rasa yang ke sekian kali,” balas Audya.
Bukankah Audya sudah tergolong munafik? Mulut dan hati berlawanan. Mulut bisa mengatakan seperti itu, tapi hati merintih menahan perih.
“Iya! Gua juga berharap seperti itu. Lu sebagai teman gua, ikut berdoa kek biar keinginan gua buat bisa sama Clara tercapai.” Senyum tidak luntur dari wajah Liam.
Oh Tuhan, Audya ingin menangis sekarang. Walau sudah terbiasa, namun rasanya tetap saja sakit.
“Amiin. Gua berharap lu bisa mewujudkan keinginan lu yang satu itu. Bisa bersatu sama Clara. Tapi kalau memang Tuhan enggak mengabulkan, jangan nangis ya Li,” ledek Audya di akhir kalimat.
Audya tidak mau egois dengan memohon pada Tuhan agar bisa menyatukan dirinya dengan Liam. Liam sudah memiliki kebahagiaannya sendiri. Yang bisa Audya lakukan hanya mendukung dan mencari kebahagiaan lain untuk dirinya sendiri.
Di sela obrolan, Liam mengangkat ponsel yang berdering. Wajah pria itu panik, entah apa yang diucap oleh orang di seberang sana. Audya jadi ikut panik melihatnya. Ingin bertanya namun urung karena Liam menaruh jari telunjuknya pada bibir. Mengisyaratkan agar Audya diam.
“Bagaimana bisa?”
“..”
“Apa ada teman yang bisa dihubungi dulu?”
“..”
“Ya sudah iya, aku ke sana ya? Tolong baik-baik saja.”
“Ada ap-“
“Dy, gua harus cabut sekarang. Clara lagi kesakitan di kosnya. Ini buat bayar ya. Maaf enggak bisa antar.”
Liam meninggalkan meja setelah meletakkan lima lembar ratusan ribu di atas meja. Terburu keluar dari kafe tanpa menoleh lagi ke belakang. Liam teramat panik sampai tidak memberikan Audya kesempatan untuk bicara.
“Iya, pergi saja Li,” gumam Audya yang jelas saja tidak Liam dengar.
Liam sudah berada di tempat parkir sekarang. Audya tersenyum kecut. Liam selamanya akan selalu memprioritaskan Clara. Ya iyalah. Memang Audya siapa. Audya dan Clara memang sama-sama perempuan yang ada di hidup Liam. Namun dengan kedudukan yang sangat berbeda. Audya sebatas teman, dan Clara seseorang yang istimewa dan berharga.
“Masih bagus nasib lu Dy, Liam kasih duit buat bayar. Coba bayangkan kalau dia main pergi aja. Huh, enggak tahu lagi deh mau bagaimana. Mungkin kaya di sinetron, bantu cuci piring buat ganti semuanya,” gumam Audya. Sudah tidak memiliki keperluan di sini, memutuskan untuk pulang.
“Terima kasih atas kedatangannya, Kak. Jangan lupa mampir lagi ya.”
Audya tersenyum tipis membalas ucapan sang kasir. Tidak jadi memesan makanan untuk keluarganya di rumah. Walau uang yang Liam beri tadi masih sisa banyak, Audya enggan menggunakannya. Akan mengembalikan semuanya nanti saat bertemu lagi.
Berjalan pelan di atas trotoar. Audya ingin singgah sebentar di taman yang letaknya tidak terlalu jauh. Tidak peduli dengan teriknya matahari yang tepat berada di atas kepala. Audya sedang tidak ingin pulang.
Mengobati hatinya yang kecewa terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah. Tidak mungkin pulang dengan wajah yang muramkan. Bisa-bisa malah membuat ibunya khawatir.
“Bahkan rasanya masih saja sakit setiap kali Liam menyebut nama Clara. Harusnya sedari dulu langsung menghindar bukan malah tetap berada di sekitar Liam. Kalau sudah pada titik ini, enggak mungkin tiba-tiba menjauh. Yang ada Liam akan curiga. Tapi tetap di sisi Liam juga bukan pilihan yang tepat. Bagaimana gua bisa menghapus rasa jika masih berhubungan dengan yang bersangkutan?”
Audya menatap kosong ke arah depan. Duduk menyandarkan badan di salah satu kursi yang tersedia di taman. Taman tidak seramai saat pagi atau sore. Ya iyalah. Mana ada orang yang mau datang di siang bolong seperti ini? Memang ada, hanya beberapa dan salah satunya Audya.
Ponsel Audya berdering. Menandakan adanya panggilan masuk. Mengernyit mendapati adiknya yang menelepon. Ada apa?
“Iya, ada apa?” tanya Audya langsung.
“..”
“Iya, gua lagi balik. Bentar lagi sampai.”
Klik. Audya mematikan panggilan. Menarik nafas panjang dan berjalan mencari angkutan umum. Adiknya akan pergi sebentar lagi. Meminta Audya untuk pulang dan bergantian menjaga warung.
“Aduh, maaf. Aduh, dek. Aduh, bingung gua,” ucap Audya.
Dia kebingungan. Saat sedang jalan normal, ditabrak dari belakang. Saat menoleh ternyata si pelaku merupakan anak kecil perempuan dan parahnya saat ini sedang menangis. Audya tidak memiliki pengalaman dengan anak kecil. Apalagi yang sedang menangis. Menggaruk kepalanya bingung. Menatap sekelilingnya, tidak ada tanda-tanda keberadaan orang tua gadis kecik ini. Dengan nalurinya, Audya menggendong anak itu dan menenangkan. Bukannya berhenti, malah makin kencang menangis. Audya takut dituduh yang macam-macam. Mengurungkan niat untuk pulang, kembali pada kursi tadi yang didudukinya.
“Maafkan kakak, ya. Mana yang sakit? Mau kakak tiup?” tanya Audya sepelan mungkin. Walau sudah jelas bukan Audya yang bersalah, namun mengalah tidak masalahkan.
Audya meniup lutut kecil yang memerah itu bergantian.
“Sudah enggak sakit kan kakinya? Tadi sudah kakak bacakan sesuatu.”
Belum sempat menjawab, terdengar suara wanita yang berteriak. Audya menoleh mendapati wanita dengan seragam baby sitter. Mungkin sedang mencari gadis kecil ini.
“Kamu kenal sama ibu itu?”
Audya bersyukur dalam hati saat gadis kecil yang sedang duduk di pangkuannya mengangguk.
“Saya permisi dulu ya, Mbak. Lain kali lebih hati-hati agar kejadian seperti ini tidak terulangi lagi,” pesan Audya yang segera diangguki. Tugas dadakan Audya selesai. Sekarang waktunya pulang.
“Kamu dari mana saja? Papa kan khawatir,” ucap seorang pria dewasa memeluk lembut balita yang Audya tolong tadi.
“Tadi aku lari-lari, terus jatuh, terus dibantu sama kakak peri. Kakaknya hebat papa. Tiup luka aku yang dilutut, terus lukanya sudah enggak sakit lagi.”
“Sudah bilang terima kasih belum ke kakaknya?”
Berpikir sejenak, “belum, Papa.” Menggeleng sedih menyadari tadi melupakan kalimat yang papanya selalu ajarkan jika sudah dibantu orang lain.
“Ya sudah, nanti kalau ketemu lagi, jangan lupa bilang terima kasih ya.”