7

1524 Words
Berjalan riang menuju halte bus terdekat. Hari ini, Audya akan datang ke alamat seseorang yang katanya tengah membutuhkan guru privat untuk anaknya. Huh, semoga saja nasib baik datang padanya dan pekerjaan itu menjadi miliknya. Menunggu angkutan yang berlawanan arah ke rumahnya. Ya, letaknya lumayan jauh dari rumah. Tapi tidak masalah jika si orang tua calon muridnya mau membayar dengan harga yang lumayan. Menuruni angkutan dan berjalan memasuki perumahan elite yang membuat Audya minder. Meneliti kembali penampilannya yang mulai kusut. Apa, dia diperbolehkan masuk? Mendekat ke arah satpam yang berjaga. Menghambat pergerakan orang masuk ke dalam. Betapa ketatnya perumahan ini. Mereka pasti dibayar mahal untuk mengecek siapa saja yang masuk. Bolehkah Audya berharap jika suatu saat nanti dirinya bisa tinggal di tempat seperti ini? Ada dua cara yang bisa Audya lakukan untuk mengabulkan inginnya. Pertama, bekerja keras dari pagi sampai pagi. Itu juga harus dilakukan seumur hidupnya. Selanjutnya belum tentu juga bisa mengurus bangunan berukuran besar itu. Cara selanjutnya, menikah dengan salah satu orang yang tinggal di rumah ini. Bukankah itu cara paling mudah? Ah, atau kebalikannya? Itu sangat sulit. Setidaknya bagi Audya yang tampangnya pas-pasan. Belum lagi dirinya yang tidak memiliki apa-apa. “Selamat sore kak. Ada yang bisa kami bantu?” tanya salah satu dari bagian keamanan yang bertugas. Audya tersenyum dan mengulurkan handphone nya yang berisi deretan alamat. “Saya di minta untuk datang pak. Saya calon guru privat dari anak pemilik rumah yang alamatnya sudah tertera di ponsel saya. Atas nama ibu Larasati,” kata Audya memberitahu maksud dan tujuannya. Semoga saja pria di hadapannya ini mempercayai. “Sebentar ya kak. Saya hubungi pihak ibu Larasati terlebih dahulu.” Audya menghela nafas panjang. Beginilah jika Audya bukan berada dalam salah satu keluarga yang otomatis dipersilakan masuk. Liam juga kenapa tidak bilang kalau saudaranya itu tinggal di kompleks perumahan mewah? Ah sepertinya Audya yang bodoh. Saudara Liam ya pasti tidak jauh dengan pria itu sendiri. Kaya raya. Menunggu lumayan lama, Audya akhirnya dipersilakan untuk masuk. Mulutnya ternganga begitu melihat deretan rumah yang berdiri gagah. Pantas saja tidak sembarang orang diizinkan masuk. Hanya yang memiliki akses dan yang sudah diizinkan oleh pemilik rumah saja. Audya kira, kompleks perumahan mewah seperti ini hanya bisa dia lihat melalui televisi. Tidak pernah terpikirkan sekalipun akan menginjakkan kaki dan melihat secara langsung. Selama berteman dengan Liam juga tidak pernah mengunjungi pria itu di rumah. Sedangkan Liam sudah beberapa kali main ke rumah Audya. Sampai mengenal bapak, ibu, dan juga adiknya. “Nomor 401. Benar kan ya yang ini,” gumam Audya. Mencocokkan kembali alamat yang tertulis di handphonenya. Setelah memastikan jika sudah benar, menekan bel yang tidak lama kemudian, seorang dengan seragam berwarna hitam menghampirinya. “Ada yang bisa saya bantu?” tanya pria yang bertugas sebagai penjaga keamanan rumah. Padahal di depan kompleks sudah ada satpam. Namun pemilik rumah menempatkan lagi keamanan ganda. Sepertinya pemilik rumah bukan sembarang orang. Huh, semua penghuni kompleks ini juga bukan orang sembarangan kali. Berdehem pelan dan berkata, “saya Audya. Saya mendapatkan informasi dari teman saya yang kebetulan kerabat dari pemilik rumah ini, Liam. Bahwa pemilik rumah yang bernama ibu Larasati tengah membutuhkan guru les privat untuk putrinya. Apakah benar?” Berharap dalam hati. Semoga memang benar. Tidak mungkin juga kan kalau Liam membohonginya. “Untuk putri ibu Larasati?” tanyanya memastikan jika ucapan yang keluar dari mulut Audya itu benar. Audya mengangguk mantap. Memang seperti itu informasi yang Liam sampaikan padanya. “Hm... maaf sebelumnya kak. Mengenai alamat ibu Larasati dan mas Liam, memang benar. Ibu Larasati pemilik rumah ini, dan mas Liam merupakan kerabatnya. Tapi kalau putri ibu Larasati sendiri, sudah meninggal beberapa tahun lalu. Adanya cucu ibu Larasati.” Audya tersenyum canggung. Ya Tuhan, entah dirinya yang salah membaca atau Liam yang salah mengirim pesan. Untung tidak bertanya pada yang bersangkutan secara langsung. Audya tidak terlalu merasa bersalah jadinya. Mungkin kah yang dimaksud itu cucu ibu Larasati? Kemungkinan besar iya. “Sebentar pak, saya telepon Liam dulu.” Menghubungi nomor ponsel Liam yang sayangnya tidak kunjung mendapat jawaban. Mendengus merutuki Liam yang kenapa harus tidak merespons di saat dirinya tengah membutuhkan jawaban mendesak. “Aduh, sebentar ya pak. Liamnya belum angkat telepon. Mungkin masih di kantor,” ringis Audya yang merasa bersalah sudah mengulur waktu. “Enggak usah menghubungi mas Liam mbak. Itu orangnya kebetulan pulang,.” Audya menoleh mengikuti jari telunjuk yang mengarah ke arah belakang tubuhnya. Dan benar saja, mobil Liam sudah berhenti di depan pagar tinggi di seberang rumah yang saat ini Audya tengah tuju. Jangan bilang, rumah Liam juga di sini? “Mas Liam, ini ada temannya,” panggil pria dengan status penjaga keamanan di rumah ini keras. Merasa terpanggil, pemuda yang mengendarai mobil keluaran terbaru itu turun dan mendekat. Mendekat ke arah Audya berdiri. Mengernyit sebelum menyadari bahwa yang membuat Audya berdiri di sini itu dirinya. "Oh iya pak. Dia teman saya. Calon guru buat Naura," beri tahu Liam. Satpam yang bertugas mengangguk dan langsung membukakan pagar. Sedangkan Liam, selesai menyampaikan maksudnya, langsung meninggalkan rumah besar itu dan kembali ke mobilnya. Audya mengernyit heran, tidak seperti biasanya Liam begini. Setidaknya, menyapa atau tersenyum padanya kek. Ini tidak sama sekali. Apa ada sesuatu? Tapi apa? Audya merasa tidak memiliki sesuatu yang patut disalahkan. "Mari neng, silakan masuk. Maaf ya kalau lama," sesal pria dewasa itu. Audya tersenyum tipis. "Enggak masalah kok pak." Memasuki halaman rumah besar ini, Audya makin dibuat terpana. Tatanan taman di depannya begitu memanjakan mata. Betah jika harus berlama di sini. Jarak pagar dengan bangunan utama terbentang cukup jauh. Ada mungkin sekitar lima belas sampai dua puluh meter. Atau bahkan lebih. Ya intinya halaman depan rumah ini bisa dibangun satu atau dua rumah lagi. "Mari silakan duduk dulu neng. Saya panggilkan ibu Larasati dulu." Audya mengangguk. Mendudukkan diri di atas sofa mewah yang ada. Sebenarnya merasa sungkan karena takut jika pakaian yang dikenakan mampu merusak sofa jutaan rupiah itu. Mengamati dinding yang berdiri kokoh di sekitarnya. Audya tahu bahwa perbuatannya ini tidaklah sopan. Tapi namanya juga baru pertama kali memasuki rumah seperti ini. Rasa kagum tentu begitu besar. "Selamat sore," suara wanita mampu mengalihkan fokus Audya. Menatap sepenuhnya pada wanita yang jika dilihat usianya mungkin di atas ibunya. Namun dengan tampilan mirip dengan anak muda. Bangkit dari duduk dan menunduk hormat. "Perkenalkan ibu, saya Audya. Teman Liam. Apa benar, ibu membutuhkan guru les privat untuk cucu ibu?" Audya meremas jemarinya gugup. Berhadapan dengan wanita di hadapannya mampu membuat dirinya gugup setengah mati. Aura yang dikeluarkan begitu kuat. Mengingatkan Audya pada seseorang yang entah siapa itu. "Ayo duduk dulu. Sebelumnya, maaf ya karena sudah membuat nak Audya menunggu." Duduk kembali di posisinya semula. "Oh iya, kenalkan nama saya Larasati. Dan benar apa yang Liam katakan. Saya sedang membutuhkan pengajar untuk cucu saya. Jadi, cucu saya itu masih berusia lima tahun. Sudah mulai masuk sekolah juga. Tapi kata guru di sana, dia kurang menangkap pelajaran yang diberi. Saya berinisiatif untuk memanggilkan guru." Audya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Bingung juga harus memberi respons apa. "Cucu saya itu memang malas jika suruh belajar. Maunya main terus. Jadi semoga nak Audya bisa menemukan cara yang tepat. Dan, saya juga mau meminta tolong, sedikit-sedikit ajarkan cucu saya ilmu agama ya. Sejak kecil, dia belum mendapatkannya. Keluarga saya bisa dibilang jauh dari agama," pintanya. "Baik ibu, akan saya usahakan. Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk dapat mengubah cara belajar cucu ibu." "Oma?" "Kakak peri?" pekiknya saat melihat Audya. Audya menoleh dan matanya membola mendapati bocak kecil yang tempo hari pernah ditolongnya itu. "Loh kamu?" "Kakak, kita ketemu lagi. Oh iya, waktu itu papa bilang kalau ketemu kakak lagi, Nau harus bilang terima kasih. Karena waktu itu kakak sudah menong Nau. Kakak lihat ini, kaki Nau sudah enggak sakit lagi," ucapnya riang. Melompat ka kanan dan ke kiri. "Oh ya? Wah, Nau hebat banget ya." "Kalian sudah saling kenal?" tanya Larasati melihat keduanya yang cukup akrab. Naura mengangguk semangat. "Iya oma. Dia kakak peri yang pernah tolong Nau waktu Naur jatuh di taman. Kok kakak peri ada di sini?" "Nanti kakak peri yang bakal jadi ibu guru Naura. Naura mau?" Larasati tersenyum lebar. Sepertinya tidak akan sulit nantinya. Mata Naura berbinar. "Jadi, nanti setiap hari bakal ketemu?" tanyanya antusias? Bukankah itu bagus jika setiap harinya bisa bertemu dengan kakak peri yang baik hati? "Mm... kita enggak setiap hari ketemu. Satu minggu, kita ketemu dua kali. Banyak kan?" Audya menunjukka dua jarinya. Wajah Naura seketika mendung. Yang gadis kecil itu kira, akan bertemu setiap hari. Ternyata hanya dua kali saja. "Kalau banyak itu segini," rajuknya sambil menunjukkan ke sepuluh jarinya. Audya menatap nenek dari Naura. Kan memang seperti itu kenyataannya. Tapi melihat wajah kecewa Naura, menjadi serba salah sendiri. "Untuk sekarang dua hari dulu. Nanti kalau Naura pintar, jadwal ketemu kakaknya ditambah. Bagaimana?" jawab Audya akhirnya. "Yang benar?" wajah Naura sudah kembali antusias. Audya mengangguk kecil disertai senyum. Setidaknya, itu mampu membuat semangat belajar Naura bertambah. Audya tidak masalah. Lagi pula tidak sulit sebenarnya mengabulkan keinginan itu. "Terima kasih kakak." Hari pertama, mereka hanya sekedar mengobrol. Akan memulai pembelajaran di pertemuan berikutnya. Audya juga harus memikirkan cara jitu untuk menakhlukkan rasa malas siswa barunya ini. Sebisa mungkin akan berusaha untuk tidak mengecewakan kepercayaan yang sudah diberikan padanya. Kepercayaan itu mahal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD