Gosip

2095 Words
Berjalan pelan keluar dari kompleks perumahan mewah ini. Jika terlalu lama di sini, mungkin saja dirinya akan dianggap mencurigakan karena kepalanya ya g tidak bisa diam menengok ke sana ke mari. Huh, hanya melihat saja sudah membuat Audya senang. Kapan ya, bisa memiliki satu yang seperti ini. Akan memboyong keluarganya untuk tinggal bersama. Khayalan yang sungguh tinggi. Semoga saja suatu saat ada lelaki kaya yang memperistrinya. Terkikik geli saat memikirkan itu semua. Kepala Audya sudah dipenuhi pengandaian yang tidak masuk akal. “Sadar Au, lu sudah bisa hidup sampai sekarang saja bersyukur banget. Masih bisa merasakan bangku kuliah lagi. Enggak usah mimpi terlalu tinggi.” Setelahnya, mempercepat langkahnya. Bernafas lega saat sudah keluar dari gerbang kompleks. “Mari pak,” sapanya pada satpam yang berjaga. Membungkuk hormat dan melanjutkan jalan. Letak halte untung tidak terlalu jauh. Sudah malas jika harus berjalan lagi. Rasanya semua tulang pada anggota geraknya sudah protes ingin berhenti sejenak. “Untung langsung ada,” gumam Audya saat matanya mendapati angkutan umun yang mendekat. Berdiri bersiap untuk naik. Selama perjalanan, Audya sedikit terkantuk. Ingin cepat sampai rumah dan langsung merebahkan diri di atas kasur. Semoga saja tidak ada tugas yang memaksanya untuk tetap terjaga. Ah, Audya baru mengingat sesuatu. Masih ada tugas dari dosennya yang belum sempat dia kerjakan. Belum lagi jika adiknya minta berganti menjaga toko. Angan untuk bisa tidur cepat terbang entah ke mana. Seperti memang ditugaskan untuk tidur lebih dari jam sembilan malam. Melangkahkan kakinya lagi melewati gang untuk tiba di rumah. Suasana di sini mulai sepi. Jelas saja, Audya pulang dari rumah besar itu saja sehabis magrib. Bernafas lega begitu sudah tiba di teras rumah. Mengetuk pintu beberapa kali dan memasuki rumah setelahnya. Mendudukkan diri di kursi yang ada. Huh, nikmat sekali. “Baru pulang kak?” tanya Dina. Mendekat ke arah putrinya sambil membawakan segelas berisi air putih. Dina melihat jika putrinya itu lelah. Terlihat jelas dari wajahnya yang kuyu. Bertanya-tanya apa yang baru saja putrinya lakukan? Kenapa sampai kelelahan seperti itu? Awalnya, Dina kira Audya izin untuk bertemu Liam atau temannya yang lain. Tapi, sepertinya dugaan Dina salah. “Iya Bu. Kok toko sudah tutup Bu?” Biasanya, toko akan tutup saat jarum jam pendek berhenti di angka sembilan. Atau paling cepat ya jam setengah sembilan. Ini baru saja jam tujuh kurang sudah tutup. Apa karena Audya yang terlambat pulang? Malam kan jatah Audya untuk berjaga. “Gara-gara aku ya Bu? Harusnya kan sekarang aku yang jaga,” sambung Audya yang langsung dijawab gelengan disertai senyum menenangkan. “Enggak. Bukan gara-gara kamu. Cuman, ya kamu tahu sendiri kan kalau sekarang toko sudah mulai sepi. Pembelinya entah pada kabur ke mana. Misal ada yang niat beli juga pasti akan ketuk pintu kok,” jawab Dina yang langsung menggores hati Audya. Memang benar, setiap harinya, pendapatan toko makin menurun. Jika Audya boleh berspekulasi, itu karena adanya toko baru yang lebih besar. Yang pastinya lebih lengkap. Mungkin juga harganya lebih murah. Tidak seperti toko milik ibunya yang apa-apa serba sedikit dan kadang malah tidak ada. Maklum saja lah. Modal yang digunakan untuk berbelanja pas-pasan. Itu juga kadang terpakai untuk menyambung hidup. Mengembuskan nafas dengan berat. “Maaf ya Bu. Harusnya memang ibu sudah tidak memikirkan toko lagi. Usia ibu sudah harus duduk saja menikmati hidup. Harusnya Audy enggak kuliah tapi langsung kerja saja. Jadi bisa bantu ibu,” sesal Audya. Jika saja dirinya dulu tidak dengan sombong memutuskan kuliah, pasti sekarang sudah bisa membantu perekonomian keluarganya. Sayang semuanya sudah terlambat. Berhenti ya sudah kepalang tanggung. Dua semester lagi Audya menyelesaikan jenjang strata satunya. “Kenapa harus minta maaf? Kamu enggak salah kak. Kamu mau kuliah atau tidak, itu hak kamu. Ibu malah bangga karena kamu tidak mengandalkan orang tua. Kamu bisa memenuhi semuanya tanpa meminta pada ibu. Ibu yang harusnya minta maaf. Ibu belum bisa menjadi seperti ibu di luaran sana. Karena ibu yang seperti ini, memaksa kamu untuk bekerja untuk bisa memenuhi keinginan kamu sendiri. Maafkan ibu ya kak.” Dina merasa semua kesalahan dimaulai darinya. Jika saja Dina tidak sesusah ini, pasti hidup anak-anaknya akan bahagia. Anak pertamanya tidak akan pergi. Huh, sayang Dina tidak bisa melakukan apa pun. Audya menggelengkan kepalanya. Menolak mentah-mentah ucapan yang meluncur dari mulut sang ibu. “Ibu enggak salah. Semua enggak salah. Memang sudah takdir kita seperti ini. Doakan Audya ya Bu, semoga Audya perlahan bisa mengangkat derajat keluarga kita. Audya akan berusaha semaksimal yang Audya bisa.” Audya berjanji, jika suatu saat nanti, dirinya akan sukses. Entah kapan waktunya itu. Huh, sekalian juga membuktikan pada tetangga sekitarnya bahwa Audya yang diremehkan karena berkuliah memang pantas. Setelahnya, Audya memutuskan pamit. Memasuki kamar dan merebahkan badannya di atas kasur yang sudah mulai keras. Kembali bangkit saat menyadari dirinya belum membersihkan diri. Akan tidak nyaman tidur malamnya jika memutuskan tidak mandi. Selesai mandi dan makan malam, barulah bisa dengan bebas berbaring. Audya bahkan tidak memedulikan tugas kuliahnya. Badannya sudah tidak bisa diajak bekerja lagi. Sudah membutuhkan istirahat. Audya juga tidak mau memaksakannya. Takutnya malah nanti berakibat buruk. Dengan cepat terbang ke alam mimpi. Menuju kehidupan mimpi yang malam ini indah. Audya tersenyum dalam tidurnya. Memimpikan seorang pangeran yang datang dan melamar. Pangeran tampan dengan tunggangan mobil mewah. Mereka menikah, dan hidup bahagia selamanya. Keesokan harinya, senyum Audya tidak bisa luntur. Mengingat mimpinya semalam membuat dirinya berbunga. Apa benar, mimpinya itu suatu hari akan menjadi kenyataan? Membayangkan saja membuat pipi Audya bersemu merah. Mimpi paling indah dan nyata yang pernah menghampiri. Saking nyatanya, membuat Audya merasa jika dirinya memang sedang berada pada cerita itu. Dan hidupnya kini yang berupa mimpi. Saking banyaknya mengkhayal, jadi seperti ini. “Kamu kenapa kak?” tanya Dina yang bingung melihat senyum Audya. Begitu lebar. Meringis menyadari bahwa dirinya sudah terbawa alur mimpinya sendiri. “Ah enggak kenapa-kenapa kok Bu. Ibu masak apa? Sini aku bantu.” Mendekat dan mulai membantu ibunya yang tengah berkutat dengan dapur. Memasak hidangan sederhana yang selalu menemani makan pagi. “Enggak usah. Sana kamu bangunkan adik kamu saja. Sudah rapi begini, nanti yang ada bau masakan,” tolak Dina yang tidak mau membuat penampilan putrinya rusak. Audya menurut saja. Menuju kamar adiknya untuk membangunkan. Untung tidak ada drama yang terjadi. Usai menyantap makan pagi bersama, Audya pamit untuk berangkat. Rutinitas paginya memang selalu seperti ini. Membosankan. Jangankan kalian yang membaca. Audya yang mengalami juga bosan sendiri. Hidupnya memang terlalu monoton. Apalagi semenjak berpisah sementara dengan Liam. Mengenai Liam, kenapa ya kemarin Liam seperti dingin terhadapnya? Hanya berbicara pada satpam rumah Bu Larasati agar membiarkan dirinya masuk. Lalu, sudah. Pergi. Kembali masuk ke dalam mobilnya yang belum sempat dia parkirkan. Ingin bertanya, tapi Audya enggan. Berpikir positif bahwa mungkin saja Liam sedang lelah dan ingin buru-buru istirahat. Kembali pada saat ini. Audya memasuki bangunan besar itu dengan pelan. Menuju lift dan menekan tombol lantai yang dia tempati. Lantai sepuluh. Ada dua orang lain yang berdiri di dalam kotak besi ini. Mereka karyawan tetap yang tengah membicarakan karyawan lain yang entah siapa. Sudah umum jika si A tidak ada, maka si A yang akan menjadi bahan gosip. Begitu juga sebaliknya. Huh, dasar manusia jaman sekarang. Audya rasanya ingin segera keluar dari lift. Telinganya sudah panas mendengar gunjingan mereka yang ditujukan pada orang lain. Bernafas lega begitu dua orang itu urun terlebih dahulu. Lain kali Audya akan lebih memilih lewat tangga saja jika seperti tadi. Mendudukkan diri di atas kursi yang ada di kubikelnya. Menyalakan komputer dan membiarkannya. Semoga saja hari ini ada tugas untuknya lagi. Yang kalau bisa, jangan berhubungan langsung dengan bapak CEO. Aura pak Argantara begitu mengintimidasi. Membuat Audya keringat dingin. Padahal kemarin hanya memberikan laporan saja. Tapi rasanya sudah ingin pingsan. Terlalu lebay memang. “Audya, bagaimana kemarin? Sudah diberikan pada pak Argantaranya langsung kan?” Audya menoleh mendapati wajah Mayang tidak jauh darinya. Ah, Audya bahkan tidak menyadari ternyata ada orang lain di sini. “Sudah mbak,” jawab Audya sambil tersenyum. Inginnya secara to the point menanyakan adakah tugas yang harus Audya kerjakan. Tapi sebagai anak magang, rasanya tidak pantas. Memilih diam dan menunggu saja. Tapi, menurut situs yang sempat dia baca, jika magang seperti ini, sah-sah saja jika meminta tugas untuk dikerjakan. “Ya sudah. Saya pergi dulu ya. Dibetah-betah ya magangnya.” Belum sepenuhnya Mayang pergi, Audya menghampiri. Dengan tangan tertaut dan wajah yang ragu. “Tunggu mbak,” panggil Audya. Mayang menghentikan langkahnya. Menaikkan alisnya menanyakan maksud Audya. “Mm... begini mbak. Saya tidak tahu lagi mau minta ke mana. Mbak Mayang, ada pekerjaan untuk saja? Ah maksudnya tugas. Tidak enak jika saya hanya duduk manis saja mbak,” ringis Audya. Bernafas lega saat berhasil menyampaikan maksudnya. Menunggu dengan harap-harap cemas. Mayang tertawa kecil. “Oh minta tugas ya. Ada kok, ada banyak. Mau minta yang seperti apa?” jawab Mayang. Menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Audya mana tahu jenis pekerjaan yang ada di sini. Biasanya juga hanya menerima saja. “Terserah mbak Mayang saja. Nanti akan Audya kerjakan dengan sungguh-sungguh,” ucap Audya serius. Yang dia butuh kan memang sebuah tugas untuk membuat dirinya berguna di kantor ini. Jika hanya diam, di rumah juga bisa kan. “Ya sudah. Ayo ke meja saya.” Audya berjalan di belakang Mayang. Membuntuti seniornya. Kembali ke tempat duduknya. Mulai mengerjakan tugas yang Mayang beri dengan serius. Audya bahkan tidak memedulikan sekitarnya yang mulai ramai. Ya, seperti biasa. Audya berangkat lebih pagi dari yang lain. Matanya terfokus sepenuhnya pada layar di hadapan. Mengabaikan ucapan pedas yang ditujukan padanya. Ah, niat Audya di sini kan untuk menjalankan kegiatan magangnya. Tidak untuk yang lain. “Sok banget. Kata si Karin, tadi dia kejar mbak Mayang buat minta tugas. Penjilat banget ya. Biar dijadikan karyawan tetap kali,” cibir perempuan yang saat itu sempat terlibat percekcokan dengan Audya. Menghela nafas, menulikan telinganya. Menganggap semua yang masuk ke telinga bukan tertuju pada dirinya. Biarkan saja mereka membicarakan sampai mulut berbusa. Audya tidak peduli. “Iya. Sejak awal masuk juga sudah gua tebak sih. Muka-muka kaya dia kan memang cocok jadi penjilat. Ha ha, tunggu saja. Nanti juga pasti mepet ke petinggi kantor ini. Demi cuan, apa sih yang enggak dilakukan. Iya enggak?” Audya mencengkeram rok panjang yang dikenakan. Kenapa sih, ada saja yang membuat mereka berpikir negatif tentangnya? Audya tidak serendah itu. Mulut mereka sepertinya perlu untuk disekolahkan. Akhirnya, waktu masuk menyelamatkan Audya dari gunjingan yang dilakukan teman satu ruangannya. Audya sudah berusaha untuk bersikap bodo amat. Tapi namanya juga manusia biasa. Mana tahan jika dibicarakan yang buruk-buruk. Audya tidak peduli jika itu dilakukan di belakangnya. Mau sampai berbusa juga bodo amat, asa dirinya tidak mendengar. Sedangkan tadi, mereka membicarakan Audya tepat di depannya. Untung masih bisa menahan emosinya. Kalau tidak, mungkin Audya akan berdiri dan mendatangi mereka. Tidak peduli dengan statusnya yang hanya magang. Mereka memang sengaja menguji kesabaran yang Audya miliki. Memutuskan untuk mengisi perutnya terlebih dahulu. Perutnya sudah berdemo untuk minta diisi. Membelah keramaian kantin yang luar biasa di jam istirahat ini. Belum sempat meninggalkan kantin, panggilan seseorang menghentikan langkahnya. Menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Mayang yang tengah melambaikan tangannya. Dengan langkah ragu, Nirina mendekati. Apa kata yang lain setelah ini? Dirinya yang dituduh mendekati guna menjilat? Ya Tuhan, Audya bahkan tidak pernah berpikir demikian. Ada saja yang menganggapnya buruk. Dan juga, kenapa mbak Mayang harus memanggilnya? Apa tidak tahu jika habis ini pasti Audya akan jadi bahan gosip lagi? “Ada apa mbak?” tanya Audya pelan. Pada meja yang ditempati Mayang, tidak hanya ada perempuan itu seorang. Melainkan ada tiga orang lainnya yang Audya tahu kedudukannya di kantor ini tidaklah main-main. Apalagi pria yang duduk di ujung kanan. Pak Argantara. Mayang menepuk kursi di sampingnya. Mengisyaratkan untuk Audya duduk. Dengan kikuk, menuruti pinta seniornya itu. Menolak juga bukan pilihan yang tepat. Terkesan tidak patuh rasanya. “Nah, ini yang saya ceritakan tadi pak, Bu. Dia Audya, mahasiswa dari kampus A yang magang tiga bulan di kantor ini. Saya sudah memberikan Audya beberapa pekerjaan dan saya puas dengan hasilnya. Bapak Argantara juga sudah mengetahuinya secara langsung kemarin kan.” Audya tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Dipuji di hadapan petinggi perusahaan ini membuatnya serba salah. Audya tidak sehebat yang mbak Mayang katakan. Masih banyak kekurangan. “Mm... maaf, saya tidak sehebat yang mbak Mayang katakan. Masih banyak kekurangan saya. Saya juga masih belajar,” ringis Audya. Setelahnya menundukkan kepalanya. “Ah iya. Saya kemarin sudah melihat sendiri bagaimana kinerja Audya. Benar kata Mayang, dia cukup kompeten.” Kepala Audya mendongak begitu mendengar pujian yang disampaikan oleh pak Argantara. CEO tempatnya magang sekarang. Matanya berpindah ke arah lain. Mendapati wajah sinis karyawan lain yang kebetulan orang yang sama dengan yang tadi membicarakannya. Ya Tuhan, bisa-bisa Audya makin dianggap buruk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD