Andira

1402 Words
Hari ini, jadwal Audya untuk memberikan les privat. Saat ini berada di dalam angkutan dengan pakaian yang sudah berganti. Rasanya tidak enak jika menggunakan baju yang sama dari pagi sampai malam. Sadar dirilah. Walau sudah di semprot minyak wangi juga pasti akan berbeda. Memutuskan membawa pakaian ganti yang lebih santai jika jadwal les tiba. “Ini baru pertemuan kedua. Masih ada enam pertemuan lagi buat terima gaji,” gumam Audya sambil menatap jendela di samping kirinya. Menerawang jauh mengenai gajinya. Huh, masih ada enam pertemuan lagi. Ya, satu minggu diadakan dua kali pertemuan dan berarti satu bulan ada delapan kali pertemuan. “Mana duit gua sudah menipis lagi.” Memejamkan matanya erat. Audya bingung. Meminta pada ibunya juga tidak mungkin. Apalagi dalam keadaan toko yang mulai sepi. Harus dari mana lagi Audya mendapatkan uang? Tidak mungkin juga meminjam pada Liam atau temannya yang lain. Bukan gengsi, lebih ke arah tidak mau merepotkan orang lain. Selama ini sudah terlalu merepotkan mereka. Menarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan. “Semoga ada rezeki tidak terduga. Ya buat menyambung sampai nanti gajian,” bergumam penuh harap. Berjalan pelan memasuki kompleks perumahan. Audya sudah mendapatkan kartu akses yang bisa digunakan untuk masuk. Tuan rumah yang memberikannya saat pertama kali datang. Agak berat juga karena sudah begitu dipercaya. Akan membuktikan dengan bekerja sungguh-sungguh. “Kakak, ayo masuk. Naura sudah tunggu kakak dari tadi,” sapa bocah kecil yang langsung berlari dan menggandeng tangan Audya. Masih ingat dengan anak perempuan yang menabrak Audya saat di taman kan? Dia orang yang sama dengan yang menjadi murid privatnya. Ibu Larasati merupakan nenek dari Naura. Audya menurut. Berjalan dengan tangan yang digenggam erat oleh Naura. Merasa bersyukur setidaknya kehadiran dirinya sebagai guru di sini di terima oleh muridnya. Bahkan bocah lima tahun itu begitu bersemangat jika diajak untuk belajar. Sangat jarang ditemui pada anak-anak lain. Naura memang masih berusia lima tahun. Terlalu dini sebenarnya untuk mulai belajar. Ah setidaknya itu pikiran Audya. Tapi ada untungnya juga. Audya tidak terlalu berpikir. Hanya mengajari bocah itu mengenal huruf dan berhitung sederhana. Orang kaya memang aneh-aneh ya. Padahal hal sederhana seperti itu bisa diajarkan oleh orang tuanya sendiri. Malah memilih menggunakan jasanya dan menawarkan bayaran yang mahal. “Kakak duduk dulu ya. Naura mau panggil mbak.” Audya mengangguk. Membiarkan Naura memasuki rumah lebih dalam. Dari sini, terdengar teriakan gadis itu meminta dibuatkan minum karena Audya sudah datang. Audya tersenyum tipis dengan tingkah muridnya. Tidak lama, Naura dan mbak yang dimaksud datang. Membawa dua gelas tinggi dengan isi yang berbeda juga dua stoples berisi makanan ringan. Satu berwarna oren dan satunya putih. Oren berisi jus jeruk untuk Audya dan putih berisi s**u untuk Naura. “Terima kasih ya mbak,” ujar Audya. Mbak yang usianya lebih tua dari Audya itu mengangguk dan pamit undur diri. Tinggallah Naura dan Audya di sini. Meneguk minumnya sedikit untuk menghilangkan rasa haus. Berjalan dari gerbang kompleks sampai rumah ini lumayan menguras tenaga. Jaraknya mungkin sekitar seratus atau dua ratus meter. Audya tidak tahu pasti berapa jarak yang membentang. Mungkin lain kali akan membawa meteran untuk mengukurnya. Ah tidak. Audya hanya bercanda kok. Tidak perlu dianggap serius. “Jadi, Naura mau belajar apa hari ini?” Audya sengaja menanyakannya terlebih dahulu. Tidak mau jika dirinya mengajar A namun Naura sedang tidak ingin melakukannya. Yang ada nanti jatuhnya terpaksa dan ogah-ogahan. Gadis itu terlihat berpikir. Meletakkan jari telunjuknya pada dagu. Audya dibuat gemas dan ingin mencubit pipi gembil itu. Namun urung karena takut dianggap terlalu lancang. Bagaimanapun juga kan status mereka guru dan murid. Hubungan mereka juga terbilang baru. Belum dekat dan akrab untuk melakukannya. “Membaca atau berhitung?” Pilihannya padahal hanya dua. Tapi Naura berpikir sangat lama. “Mm... kalau bernyanyi boleh kak?” Sekarang giliran Audya yang berpikir. Menjentikkan jarinya saat memikirkan untuk bernyanyi sambil belajar. Banyak kok. Bisa sambil membaca atau sambil menghitung juga. “Oke. Sekarang, kita berdoa dulu ya sebelum mulai belajarnya. Naura harus ingat ya, kalau mau melakukan apa pun, harus apa?” selain mengajarkan ilmu umum, Audya juga diminta untuk menyelinginya dengan ilmu agama. Ibu Larasati berpesan sendiri kepadanya. Naura terlalu buta akan agama. Ya karena salah keluarganya yang dari awal tidak menanamkan pada kehidupan sehari-hari. Wanita itu berkata bahwa dirinya sebagai nenek terlalu sibuk. Sering meninggalkan cucunya sendiri. Sedang papa dari Naura sendiri juga begitu sibuk bekerja. Tidak sempat untuk mengajari putrinya hal-hal sesederhana doa sebelum makan. Terlalu sibuk. Dua kali Audya datang saja tidak pernah bertemu dengan orang tua dari bocah malang ini. Dua jam berlalu dengan cepat. Audya pamit untuk pulang. Naura seperti biasa dengan wajah tertekuk saat mengantar Audya sampai depan pintu. Naura merengek agar Audya tinggal lebih lama. Menemaninya main dan mengantar dirinya tidur lebih dahulu. Namun Audya tidak bisa. Selain badannya sudah mau remuk juga hari yang sudah beranjak malam. Akan makin sulit untuk menemukan angkutan umum. “Sampai ketemu di hari Senin ya. Kakak pulang dulu.” Melambaikan tangan dan keluar dari kediaman orang tua Naura. Tawa yang sedari tadi Audya ukir perlahan menghilang. Audya lelah. Bolehkah berteriak melampiaskan rasa lelahnya? Untung saja masih ada angkutan umum yang melintas. Menaiki dan merebahkan tubuh bagian atasnya pada sandaran. Membutuhkan kurang lebih setengah jam lagi untuk tiba di rumah. Ada saat di mana Audya ingin menyerah. Hidup serba pas-pasan bahkan cenderung kurang begitu menyiksa. Audya hanya bisa menggigit jari ketika melihat sesuatu yang diinginkannya ada di depan mata. Sedari kecil diajarkan hidup sederhana. Bahkan tidak jarang dirinya hanya bisa melihat temannya makan jajanan. Melihat dengan bayangan dirinya juga ikut merasakan. Sesusah itu memang hidup Audya dan keluarganya. Audya tidak menyalahkan kakaknya yang memilih pergi. Mencari kebahagiaannya sendiri. Mungkin suatu saat nanti juga Audya akan mengikuti jejak kakaknya. Huh, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi hari esok. “Depan ya bang,” ucapnya setelah melihat halte dekat gang rumahnya. Membayar dengan satu lembar uang lima ribuan dan menuruni angkutan. Berjalan pelan melintasi rumah-rumah warga untuk sampai pada rumahnya. Jika di tempat tadi merupakan kompleks perumahan mewah, maka di sini sebaliknya. Hanya berjejer perumahan dengan kondisi sederhana. Ada memang satu dua rumah yang berdiri gagah. Namun kebanyakan ya yang seperti rumah Audya ini. “Assalamualaikum.” Memasuki rumah dan mendudukkan dirinya di atas kursi. Seluruh bada Audya rasanya lelah sekali. Ingin mengeluh tapi ya percuma. Mengeluh tidak akan mengurangi rasa lelahnya. Yang ada mungkin makin lelah. “Dari mana saja sih kak? Enak banget pulang malam terus langsung tidur. Gantian jaga toko dong. Gua sudah dari pulang sekolah. Mau ngerjain tugas saja susah. Lagi-lagi ada yang beli. Tahu dirilah jadi orang. Sudah tahu susah masih saja keluyuran enggak jelas.” Audya menolehkan kepalanya. Menghadap adiknya yang berdiri di sampingnya dengan wajah memerah. Menarik nafas dalam menahan gejolak amarah yang ingin membludak. “Iya maaf gua pulang telat. Selama satu minggu, dua kali gua izin enggak bisa jaga. Lu kan bisa jaga sambil mengerjakan tugas. Gua juga sering kaya begitu kok.” “Lu enak banget kalau ngomong. Gua enggak sepintar lu yang bisa membagi fokus gua. Enggak mau tahu, lu harus tetap jaga. Kita kan sudah sepakat buat pembagian jadwalnya. Jangan jadi egois dong. Apa? Mau alasan karena lu sibuk sama kerjaan dan kuliah lu? Siapa suruh lu kuliah? Jadi orang mah yang tahu diri sama kemampuan. Enggak punya duit tapi tetap memaksakan diri buat kuliah. Keteteran kan lu jadinya,” cibir Andira. Gadis berseragam putih abu-abu itu meluapkan kekesalannya pada sang kakak. Audya diam. Menatap dalam wajah adiknya. Tidak menyangka bahwa Andira bisa berkata sejahat itu. Tujuan Audya berkuliah kan juga untuk ke depannya keluarga mereka. Audya juga mendapatkan beasiswa. Tidak terlalu memberatkan kedua orang tuanya untuk biaya. “Andira. Cukup. Ibu enggak pernah mengajarkan kamu untuk kurang ajar ya sama kakak kamu,” ucap Dina tegas. Mendengar keributan dua putrinya membuat Dina yang baru saja selesai salat menghampiri. “Iya, bela saja terus anak kesayangan ibu. Ibu sadar enggak sih, kalau saja dia enggak dengan percaya dirinya kuliah, ibu enggak akan susah payah buat cari uang. Dia yang harus menggantikan posisi ibu. Eh malah kuliah dan sekarang pulang malam dengan seenaknya.” Setelah mengatakannya, Andira meninggalkan ruang tamu. Meninggalkan ibunya dengan perasaan sakit dan juga Audya yang menahan tangisnya sekuat tenaga. “Kamu istirahat dulu saja kak. Pasti lelah seharian bekerja.” Audya menurut. Sekarang yang dia butuhkan adalah waktu untuk sendiri. Audya tidak mungkin menangis di hadapan ibunya. Yang ada malah akan menambah ibunya sedih. “Maafkan Audya Bu,” gumam Audya sebelum meninggalkan ibunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD