10. Mixed

1726 Words
Seiring perjalanan pulang, kemarahan Yudha tentang rubrik yang pecah karena ulah Gladys tadi lama-lama memudar. Mereka berdua sudah bisa saling bercanda bersama. Meski tadi Zulla juga sempat memarahi Yudha sedikit, tapi untunglah kemarahan mereka tidak berlanjut dan selesai saat Zulla mengatakan bahwa Yudha hebat. Pintu mobil dibuka oleh Yudha, dia langsung berlari masuk rumah untuk menghindar dari Zulla. Emosi yang tadi meluap-luap di diri Yudha, sudah tidak ada lagi. Wajah lelaki kecil itu sudah tergantikan oleh tawa ceria. Keduanya saling berteriak sesuka hati saat memasuki rumah dan sampai di kamar pun tetap sama. Hingga akhirnya, Zulla serta Yudha dikagetkan oleh kehadiran Alexa. Mereka terpaku dan bertanya-tanya apakah yang mereka lihat itu hanyalah halusinasi belaka. Namun, sepertinya tidak. Alexa terlalu nyata untuk dianggap khayalan. "Bunda?" Zulla menatap wajah cantik bundanya yang sudah lama menghilang dari pandangannya. Wajah ayu Alexa membuat Zulla terhipnotis, dia bahkan sampai bertanya-tanya apakah yang ada di depannya itu seorang dewi. Akan tetapi, Zulla tahu kalau itu bukan hanya mimpi. Alexa nyata ada di depannya. Bundanya baru saja memeluknya. Perempuan yang dia rindukan ada di depannya. "Iya... Ini Bunda." angguk Alexa seraya membenarkan pertanyaan yang berkecamuk di dalam benak Zulla dan Yudha. Dengan segenap ilmu rayuan yang Alexa miliki, perempuan itu berhasil membujuk Yudha agar tidak marah lagi pada Marsel. Apa lagi sogokannya kalau bukan fried chicken buatan Alexa yang sangat Yudha sukai. Mulai dari sore hari inilah, Yudha tidak lagi marah pada Marsel. Dia sudah memaafkan perbuatan Marsel di hari lalu agar hubungan mereka tetap baik-baik saja.   ***   Tiga mangkuk bakso terhidang di atas meja kantin. Itu semua milik Zulla, Becca, dan Vanko. Hari senin yang cukup melelahkan. Selain adanya upacara sebagai rutinitas murid sekolah, hari ini di kelas Zulla juga ada jam pelajaran olahraga di jam pertama lalu jam kedua ada ulangan seni budaya. Memang, bagi Zulla pribadi pelajaran seni budaya itu menyenangkan dan tidak terlalu sulit. Tapi dia juga kelelahan secara fisik. Apalagi, tadi materi olahraganya tentang beberapa teknik lari untuk para atlet lari dan langsung dipraktikkan bersama guru olahraga. Berbeda dengan Vanko, dia sedikit kurang suka akan mata pelajaran seni budaya. Lelaki itu lebih suka pelajaran bahasa Indonesia. Walaupun banyak yang bilang ribet, susah, tapi bagi Vanko tidak sama sekali. "Jadi, kalian taruhan lagi?" Becca sangat penasaran akan hal ini, dia menantikan siapa yang nantinya akan kalah. Vanko mendesah lalu menatap Becca pasrah seolah tak ada tenaga. Padahal mereka sedang menyantap bakso yang baru saja mereka pesan barusan. "Gue udah jelas bakal kalah, Bec." desah Vanko sebelum akhirnya dia memasukkan bakso kecil ke dalam mulutnya. Tawa Becca menggelegar melihat wajah frustrasi Vanko. Dia sudah menduga akan seperti ini kalau Vanko taruhan dengan Zulla di mata pelajaran seni budaya. "Jangan berkecil hati, semalam gue enggak belajar kok." tepukan pelan dari tangan Zulla di pundak Vanko membuat lelaki itu mendongakkan kepalanya menatap Zulla. Kali ini, bukan hanya Vanko saja yang menatap Zulla. Tapi Becca juga ikut menatap Zulla, karena tidak biasanya Zulla tidak belajar kalau ada ulangan di keesokan harinya. Mereka berdua seolah bertanya, kenapa Zulla tidak belajar. Bukannya merasa sedih kalau nanti Zulla akan mendapat nilai jelek, dia malah tersenyum karena mengingat kejadian semalam. Makan malam bersama di meja makan. Bukan hanya ada dirinya, Yudha dan Erika saja, tapi juga ada Marsel dan Alexa. Situasi yang sudah lama Zulla rindukan setiap harinya. Kening Becca mengerut, dia sedikit bingung akan arti wajah Zulla sekarang ini. Tidak belajar dan ada kemungkinan tidak mendapat nilai sempurna tapi wajahnya menunjukkan kebahagiaan. "Lo beneran lagi kasmaran, Zul?" tebak Becca lagi yang mulai mempertanyakan kewarasan teman dekatnya itu. Plak! "Ahk...!" Becca memekik saat jidatnya ditepuk lumayan keras oleh Zulla. Gadis pemilik rambut mie itu mengusap-usap keningnya yang memang sakit. Dia juga mencebikkan bibirnya khas seperti orang sedang marah. "Ish... Udah gue bilang, gue enggak lagi PDKT atau kasmaran. Tapi gue lagi seneng karena Ayah sama Bunda gue pulang." Zulla mendengus lalu kembali fokus ke baksonya yang masih tersisa setengah. Hiruk pikuk kantin sekolah terasa begitu jelas. Rasanya sumpek dan gerah meski kantinnya ada di ruangan terbuka. Tak heran, suasana seperti ini memang terjadi di setiap hari senin sampai sabtu. "Dengerin tuh apa kata Zulla, dia enggak lagi deket sama cowok lain atau lagi jatuh cinta." Vanko melempar tisue bekas mengelap bibirnya ke arah Becca sampai mengenai wajah gadis itu dan berakhir di mangkuk baksonya. "Vankoooo...!!! Bakso gue tercemar begoooo...!!!" teriak Becca tak terima baksonya yang masih setengah lebih terkena tisue bekas. Wajah Becca jelas marah, seolah dia siap mengeluarkan tanduk dan taringnya sekarang juga untuk menerkam Vanko agar tidak bisa lolos darinya hidup-hidup. Aksi bar-bar Becca barusan tidak membuat Vanko merasa menyesal karena dia sebenarnya bisa melampiaskan kekesalannya pada Becca dari kemarin-kemarin yang terus mengira Zulla sedang dekat dengan lelaki lain. Zulla tertawa melihat itu, kemarahan Becca adalah hiburan tersendiri bagi Zulla. Apalagi ini karena Vanko. "Udah, nih makan aja punya gue." Zulla menawarkan baksonya pada Becca agar dihabiskan olehnya. Kepala Becca menggeleng, lalu gadis itu mengambil mangkuk bakso Vanko yang masih ada sisa bakso besarnya saja. Usaha untuk melindungi mangkuk baksonya sudah telat bagi Vanko. "Siapa berbuat, dia yang bertanggung jawab." sahut Becca ketus seraya membelah bakso besar tadi dan siap memakannya. “Tap-" "Lo yang udah bikin bakso gue tercemar." potong Becca cepat sebelum Vanko menyelesaikan kata-katanya. "Udah, biarin aja Becca makan itu bakso. Lo juga sih suruh siapa pakai sok-sokan ngelempar tisue segala." sahut Zulla membela Becca. Bukan itu sebenarnya yang dimaksud Vanko, lelaki itu sebenarnya hanya ingin mengatakan kalau bakso di mangkuknya tadi itu pedas. "Hahhhh... Vankoooo!!! Lo-lo begooo!!!  Ped-pedesss gila!!!" Teriakan Becca barusan menggemparkan seisi kantin. Telinga Zulla sampai pengang mendengarnya. Vanko pun sampai menjauh dari sana karena tidak kuat mendengar kencangnya teriakkan Becca. Bibir Becca terasa terbakar habis menyuapkan sepotong bakso beserta kuahnya ke mulut. Becca yang memiliki kulit hitam manis, wajahnya pun sampai memerah karena tak kuasa menahan rasa pedasnya. Gadis itu juga sampai mengeluarkan air mata meski tidak menangis.   ***   Wajah Yudha tidak bisa lepas menatap Gladys yang duduk di seberangnya. Sepulang sekolah, Yudha dipanggil oleh guru les tempat Zulla belajar musik selama ini. Alasannya dipanggil karena kejadian kemarin saat Yudha menyerang Gladys. Tentunya selain anak-anak, orang tua anak juga dipanggil. Kali ini, Yudha datang bersama Marsel dan Alexa. Kebetulan, tadi ayahnya memang sedang bersama bundanya dan mereka segera ke sini. Orang tua Gladys yang menuntut agar Zulla tidak lagi diterima les di sana. Meski bukan Zulla pelakunya, tapi karena Yudha ikut ke sana karena Zulla, maka tetap Zulla yang kena dampaknya. "Saya pokoknya tidak mau kalau anak itu tetap les di sini!" ujar seorang perempuan yang berusia awal empat puluhan dengan dandanannya yang modis memperlihatkan bahwa dia seorang istri dari orang berada. "Tidak bisa begitu, Bu. Kami tidak bisa mengeluarkan anak didik kami begitu saja." "Tapi bocah tengik itu sudah melukai putri saya. Mana mungkin saya diam saja, masih untung kasus ini tidak saya bawa ke kantor polisi." Mendengar putranya dikatai bocah tengik, bocah tak tahu aturan, tak tahu tata krama, dan tidak memiliki sopan santun, tentunya hal itu membuat Marsel dan Alexa tidak terima. Tangan Marsel terkepal kuat-kuat menahan amarah agar tidak meledak saat itu juga. "Sedari tadi, Anda terus mengatakan bahwa putra saya tidak tahu tata krama, tidak punya sopan santun, dan tidak punya aturan. Lalu apa yang Anda lakukan sekarang ini mencerminkan apa yang Anda katakan tadi?" tanya Marsel dengan nada dingin hingga membuat wanita paruh baya itu semakin darah tinggi. Mata mama Gladys itu sudah menatap nyalang ke arah Marsel, seolah ingin menampar bibir Marsel menggunakan wedges yang dia pakai. "Apa Anda sudah merasa bahwa Anda memiliki sopan santun, tata krama dan aturan?" "Ya...! Berani sekali bocah yang baru punya anak sepertimu mengajari orang tua sepertiku!" teriaknya yang sudah kehilangan kesabaran. Suasana menjadi panas. Guru les yang bertanggung jawab dalam kasus ini juga ikut berusaha menenangkan mama Gladys. "Jangan mentang-mentang Anda orang tua, lalu merasa Anda selalu benar dan harus selalu dihormati. Asal Anda tahu, kebenaran dan rasa hormat itu milik siapa saja. Bukan hanya milik Anda. Adanya rasa saling menghormati itu karena tidak memandang usia. Mau tua atau muda, sama-sama saling menghormati. Bukan sebelah pihak saja yang memberi hormat." tanpa takut, Marsel mengatakan hal barusan. Karena Marsel merasa dirinya benar. Ibu-ibu itu hanya diam menatap marah ke arah Marsel dan tidak terima diceramahi oleh anak yang lebih muda darinya. "Daripada Anda terus menuduh putra saya yang tidak-tidak, kenapa tidak kita dengarkan saja penjelasan dari mereka. Setelah kita mendengarkan, baru kita bisa tahu seberapa salah mereka dan bisa mengambil jalan tengah yang cocok untuk masalah ini." Alexa mengusap bahu Marsel, agar calon suaminya itu bisa lebih bersabar lagi. Tentunya selain Alexa, Yudha juga tidak mau kalau ayahnya emosi. "Jelas, anakku tidak salah." sela mama Gladys cepat. "Mari kita buktikan." Mendengar saran yang diberikan Marsel, tentunya guru les yang kemarin melihat kejadian itu langsung pun menyetujui dan memberi waktu kepada kedua anak itu untuk menceritakan apa yang mereka alami. Cerita dimulai, berawal dari Yudha dulu baru Gladys. Sedangkan para orang tua memilih mendengarkan apa yang diceritakan para anak-anak. Setelah mendengar, guru les yang memiliki wajah bulat itu memutuskan untuk mengambil damai saja. Antara Gladys dan Yudha diminta saling berjabat tangan sebagai simbol bahwa mereka sudah saling memaafkan. Selain itu, Gladys dan Zulla diskors dan tidak boleh ikut les selama dua pertemuan pada hari minggu. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi kemarahan mereka yang mungkin akan muncul dalam waktu dekat kalau mereka bertemu. Urusan Yudha akhirnya selesai. Keluarga Fabiano langsung pulang dan Yudha meminta maaf pada Marsel juga Alexa karena sudah membuat keributan. "Ayah bangga sama kamu." ujarnya seraya menepuk bahu Yudha beberapa kali. Lelaki itu menyejajarkan tubuhnya dengan Yudha. Mereka kini sedang berada di tempat parkir, lebih tepatnya lagi di dekat mobil milik Marsel. "Bangga?" "Eum..." angguk Marsel. "Kenapa?" "Ayah bangga sama kamu karena kamu berani mengakui kesalahanmu." jelasnya menjawab kebingungan Yudha. "Tapi Ayah marah sama kamu karena kamu sudah menyakiti perempuan. Sebagaimanapun perempuan, mereka tetap harus dihargai. Seorang lelaki sejati, tidak boleh melukai perempuan apalagi secara fisik." Ujar Marsel melanjutkan kata-katanya yang barusan tertunda. Kepala Yudha mengangguk, dia akan selalu mengingat perkataan Marsel sampai dewasa nanti. Bahkan mungkin sampai Yudha tua nanti. "Oke, gimana kalau sekarang kita beli rubrik baru terus kita pulang. Nanti Bunda masakin lagi, kita makan bareng-bareng di rumah sama Kak Zulla juga." usul Alexa yang sudah jelas akan mendapat anggukan dari Yudha. Keluarga yang sebentar lagi utuh itu langsung memasuki mobil dan meninggalkan tempat les musik Zulla selama ini. *** Next...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD