Mendapat jam olahraga di jam kedua membuat Becca senang, pasalnya setelah olahraga dia bisa langsung istirahat. Namun untuk jam pelajaran olahraga kali ini, Becca sedikit tidak senang. Apalagi yang membuatnya begitu kesal kalau bukan basket. Bukan hanya hari ini, melainkan minggu depan pun masih tentang basket. Dan lebih apesnya lagi, Becca mendapat tugas dari gurunya untuk merapikan dan mengembalikan bola-bola basket itu ke gudang.
"Bec, gue balik kelas duluan ya." pamit satu teman Becca yang juga mendapat jatah membereskan peralatan olahraga.
"Eum..." tentunya Becca mengangguk dan membiarkan temannya itu kembali ke kelas.
Kini tersisa Becca saja di sana. Ruangan yang tidak dekat dengan ruang kelas, dan jarang ada orang melewat di sana. Selain kalau memang ada keperluan untuk olahraga.
"Hah... Kesel banget gue sama basket." desah Becca seraya melemparkan beberapa bola berwarna oranye itu ke ruang peralatan olahraga.
Segera Becca mengunci pintu ruang peralatan olahraga setelah dia memastikan bahwa semua bola basket masuk semua. Namun saat membalikkan badan, Becca dikagetkan oleh kehadiran Sherly dan kedua dayangnya.
Awalnya, Becca biasa saja dan merasa tidak takut. Dia juga berlalu ingin meninggalkan tempat itu tanpa menghiraukan Sherly. Akan tetapi, langkah kaki Becca tertahan oleh cekalan tangan Sherly.
Mata Becca menatap tak suka saat tangannya dicekal oleh Sherly. Dan Becca akhirnya berhasil menghempaskan tangan Sherly dalam sekali hentak. Namun Sherly tidak berhenti di sana, gadis itu langsung menarik pergelangan tangan Becca dan menghempaskannya ke dinding hingga membuat Becca meringis merasa nyeri.
"Lo apa-apaan sih!" sentak Becca yang jelas marah akan perlakuan dan perbuatan Sherly.
"Syut... Jangan berisik, nanti ada yang denger." Sherly meletakkan jari telunjuknya di depan bibir dan hidungnya sebagai isyarat agar Becca diam saja.
"Gue enggak peduli!" Becca sudah hampir pergi lagi dari sana, tapi lagi-lagi Sherly berhasil menahannya.
Wajah Becca sudah memerah, dia marah dan bingung kenapa Sherly berlaku seperti ini padanya secara tiba-tiba. Urat-urat di leher Becca sampai tertarik dan terlihat. Hal itu semakin membuat Sherly tertawa melihatnya.
"Hah... Gue berhadapan sama orang gila ternyata." kekeh Becca sinis menatap Sherly.
"Gue enggak akan basa-basi." kata Sherly tiba-tiba yang membuat Becca semakin bingung.
"Gue mau, lo jadi bagian dari geng gue. Tinggalin Zulla dan jadi anggota gue. Kita hancurkan Zulla bareng-bareng." kata Sherly membuat Becca sedikit kaget, namun sebisa mungkin dia tidak menunjukkan rasa kagetnya.
Saat Becca akan menghempaskan tangan Sherly dan pergi, kedua dayang Sherly bergegas menahannya sampai membuat Becca semakin emosi. Kedua gadis yang menjadi b***k Sherly bernama Irel dan Vivi. Semua orang di sekolah tahu bahwa sebenarnya mereka hanya dijadikan pesuruh oleh Sherly, tapi mereka saja yang tidak peka dan menganggap apa yang mereka lakukan itu hal yang wajar dilakukan dalam sebuah pertemanan.
"Haha... Jadi lo selama ini ngiri karena gue temenan sama Zulla?" kekeh Becca.
"Tawaran gue enggak datang dua kali."
"Apa yang gue dapetin kalau gue ninggalin Zulla dan jadi temen lo? Apa lo bisa kasih apa yang Zulla enggak bisa kasih ke gue." tantang Becca berusaha tenang meski tubuhnya juga panas dingin sendiri, takut dia salah bicara.
Kepala Sherly menoleh ke arah kanan dan kiri, seolah memastikan kalau di sana memang tidak ada orang selain mereka.
"Kalau lo jadi temen gue, kita bisa bareng-bareng menghancurkan Zulla. Gue bisa jadi orang nomor satu yang famous di sekolah ini, dan lo bisa dapetin Vanko yang lo suka."
Sherly mengatakannya dengan penuh rasa percaya diri. Dia tersenyum sinis menatap Becca yang sedang dia rayu sekarang. Begitu pula Becca, dia ikut tersenyum sinis ke arah Sherly.
"Lo lagi mabuk? Omongan lo ngelantur ke mana-mana." kekeh Becca.
Terdengar desahan dari Sherly, gadis itu menjauh dari Becca dan kembali tertawa sinis.
"Gue tahu, selama ini lo cemburu 'kan sama Zulla karena Vanko lebih deket sama dia ketimbang sama lo." ujarnya yang membuat tenggorokan Becca tercekat.
"Lo pengen bisa lebih deket 'kan sama Vanko, tapi terhalang dengan adanya Zulla di antara kalian." lanjut Sherly.
"Jujur aja sama gue, lo pengen menyingkirkan Zulla 'kan? Lo pengen ngedapetin Vanko 'kan? Lo pengen lo jadi yang pertama buat Vanko 'kan? Gue bisa bantu lo dapetin itu semua." Sherly kembali melanjutkan kata-katanya yang sengaja dia jeda.
Kini ganti Becca yang tersenyum sinis menatap Sherly. Dia menyilangkan kedua tangannya di depan d**a masih dengan ekspresi tanpa takut. Tak sampai lima detik, Becca sudah mendekatkan wajahnya ke wajah Sherly.
"Gue enggak berminat sama semua tawaran lo. Gue enggak akan mengkhianati temen baik gue sendiri meski gue harus ngerasain sakit hati tiap hari ngelihat cowok yang gue suka lebih deket sama dia. Gue enggak sepicik lo buat melakukan semua itu."
Tanpa pikir panjang lagi, Becca langsung melangkahkan kakinya berniat meninggalkan tempat itu tanpa peduli pada Sherly.
"Oh ya... Besok-besok lo harus ganti rugi atas waktu istirahat gue yang udah lo sita." kata Becca saat dia menghentikan langkah kakinya.
Kali ini, Becca benar-benar pergi dari sana tanpa memikirkan apa lagi. Yang dia lakukan sekarang hanya ingin cepat sampai di kelas dan berganti pakaian lalu ke kantin. Bibirnya terasa kering setelah olahraga ditambah karena Sherly tadi.
***
"Wahhh... Kelihatannya enak." gumam Zulla saat beberapa hidangan Thai disajikan di meja.
Malam hari ini, Marsel mengajak kedua buah hatinya beserta Alexa dinner di luar berempat. Kali ini, Zulla dan Yudha bilang kalau mereka ingin merasakan masakan Negeri Gajah Putih, tempat di mana Marsel dan Alexa selama ini tinggal setelah kabur dari mereka berdua.
Tentu saja, keinginan mereka tidak terlalu sulit dikabulkan oleh Marsel. Seperti malam ini, mereka berada di restoran Thailand dan memesan beberapa menu yang menurut Marsel enak serta akan masuk di lidah kedua buah hatinya.
Salah satu menu andalan yang sangat dibanggakan oleh Alexa adalah tom yam. Makanan berkuah yang terbuat dari seafood itu sangat disukai oleh wanita itu dan menurutnya akan bisa diterima oleh Zulla juga Yudha.
"Dicoba dong, Bunda yakin kalian suka." titah Alexa harap-harap cemas, takut juga kalau mereka tidak suka dengan menu pilihannya.
Perlahan-lahan, Zulla mengambil sendoknya dan mencicip sedikit kuahnya. Matanya berbinar-binar saat selesai pada suapan pertama. Begitu pula Yudha yang mengatakan bahwa itu enak. Lega rasanya mendengar Zulla dan Yudha menyukai menu yang dia pilihkan.
"Nanti, kapan-kapan kalau ada waktu luang. Kita pergi ke Bangkok bareng-bareng ya."
Ajak Marsel walau dia juga belum tahu kapan bisa pergi ke sana bersama-sama. Setidaknya, Marsel ingin mengajak kedua buah hatinya setelah penyakitnya benar-benar dinyatakan sembuh. Sampai sekarang, bahkan Marsel tidak memberi tahu alasan pastinya kenapa dia meninggalkan Zulla dan Yudha begitu saja.
"Eum... Mau." angguk Yudha semangat.
"Yah..." panggil Zulla hati-hati.
"Apa?"
Zulla menggigit bibir bawahnya sendiri, ingin bertanya tapi sedikit takut juga.
"Aku boleh ngasih tahu temenku enggak kalau Ayah sama Bunda mau nikah lagi?" tanya Zulla hati-hati.
Kening Marsel mengerut, sedikit heran kenapa juga Zulla harus memberi tahu temannya tentang hal itu.
"Mereka temen baik aku, Yah. Namanya Becca sama Vanko." lanjut Zulla karena Marsel tak kunjung memberi jawaban.
"Kalau Bunda sih ngebolehin." sahut Alexa di sela diamnya Marsel.
Jawaban Alexa sedikit membuat Zulla tenang, tapi hal yang paling menyenangkan setelah Zulla mendengar kalau Marsel juga memperbolehkannya. Tentunya, kalau Zulla senang akan kabar itu sampai mau membagi kebahagiaannya dengan teman dekatnya, tentu Marsel akan memperbolehkan.
Sejauh ini, Zulla memang belum bercerita kepada Becca dan Vanko kalau kedua orang tuanya akan menikah lagi. Yang mereka tahu, bahwa ayah dan bundanya memang sudah bercerai.
***
Di teras rumahnya, Becca terdiam sambil memeluk kedua lututnya yang terbalut celana panjang. Badannya juga dilapisi sweater rajut agar dia tidak terkena angin malam secara langsung. Bukan tanpa alasan Becca duduk di luar rumah malam-malam begini. Ada tamu tak diundang yang mendatanginya di malam sabtu begini.
Sudah sepuluh menit mereka sama-sama terdiam. Hanya ada sapaan selamat malam saja di awal ketika tamunya baru tiba.
"Ada yang mau lo bicarain enggak? Udah malem, mending lo pulang." akhirnya Becca membuka suara setelah suasana diam dan canggung di antara mereka.
"Sorry kalau gue datang ke rumah lo malem-malem begini. Tapi ada hal yang mau gue bicarain sama lo, Bec. Makanya gue ke sini sekarang juga."
Angin berhembus, membuat Becca mengusap-usap lengannya sendiri yang terasa dingin. Sebenarnya Becca kurang tahan oleh serangan angin malam, tapi dia juga tidak enak kalau mengajak Vanko masuk rumah.
"Kalau lo enggak nyaman bicara di sini, gimana kalau kita masuk aja. Gue lihat, lo kedinginan begitu." ajak Vanko seolah-olah dia adalah tuan rumahnya di sini.
"Hah... Enggak usah, di sini aja enggak apa-apa kok." tolak Becca yang memang tidak berani mengajak Vanko masuk ke rumah jika hanya berdua saja.
Vanko mengerti, dia mengangguk dan menghargai keputusan Becca.
"Oke kalau lo lebih milih di sini. Gue akan bilang sekarang juga."
"Emang apa yang mau lo bilang ke gue, sampai-sampai lo ke sini malem-malem? Apa enggak bisa besok aja?"
Becca mendapat jawaban sebuah gelengan kepala dari Vanko dan gadis itu berusaha mengerti.
"Gue mau lo jadi cewek gue." kata Vanko cepat.
Tenggorokan Becca terasa tercekat mendengar apa yang barusan dia dengar dari bibir Vanko. Tentunya, Becca tidak langsung percaya begitu saja. Apalagi mengingat kalau selama ini dia dan Vanko lebih sering berdebat ketimbang akur.
"Gu-gue sal-salah denger 'kan?" tanya Becca sedikit gugup.
"Enggak. Lo enggak salah denger, Bec. Gue mau lo jadi cewek gue, jadi pacar gue." Vanko mengulangi lagi kata-katanya, bahkan dia lebih memperjelas apa maksud dari perkataanya tadi.
Rasa-rasanya, Becca seolah hampir kehabisan napas. Dia tidak tahu harus bereaksi atau berekspresi bagaimana. Yang terjadi di antara dia dan Vanko malam ini terasa sangat tiba-tiba dan mendadak.
"Gu-gu-gue... Gue... Gu-gue..." Becca tergagap, dia masih bingung harus bagaimana.
Keringat mengucur di pelipis Becca. Dia sedikit merasa gemetar sekarang. Matanya pun seolah sulit diajak berkedip secara normal. Napasnya memburu dan tidak tahu kenapa jantungnya serasa hampir meledak.
"Lo en-"
Vanko ikut kaget saat Becca menghempaskan tangannya begitu saja ketika dia akan menggenggam jemari Becca yang dingin dan sedikit gemetar.
"Sor-sorry... Maaf, gu-gue..."
"Syut... Pelan-pelan aja, biar lo enggak gugup begini." Vanko kembali berusaha menggenggam tangan Becca, dan kali ini berhasil.
"Maaf, gue ta-tadi enggak bermaksud begitu." Katanya pelan setelah lumayan bisa mengendalikan diri, namun Becca kali ini menarik tangannya dari genggaman tangan Vanko.
Becca merasa dirinya sedikit terkontrol setelah dia menarik napas dan mengembuskannya secara pelan-pelan. Dia juga merasa sedikit aneh saat Vanko menggenggam jemarinya.
"Mulai sekarang ini, lo jadi pacar gue. Kita pacaran."
"Heh?"
Meski sudah tidak terlalu gugup, tapi Becca juga masih bingung dan belum paham betul kenapa Vanko bisa berkata seperti itu padanya barusan.
"Gue enggak nanya ke lo, mau apa enggak jadi cewek gue. Tapi gue langsung minta lo jadi pacar gue. Gue enggak nerima penolakan."
Syok! Becca dibuat syok malam-malam oleh Vanko. Dia tidak tahu apa motif temannya itu mengatakan hal seperti barusan. Tapi Becca juga serasa enggan untuk menolak dan berkata tidak. Jujur saja, dia suka kalau bisa menjadi pacar Vanko.
***
Next...