"Jadi, lo udah konfirmasi sendiri kalau Om dokter itu single? Dia belum punya istri, tunangan atau pacar?" Becca memastikan lagi apa yang diceritakan Zulla padanya hari ini.
"Single itu happy." ujar Zulla seraya merenggangkan kedua tangannya menirukan apa yang dilakukan Alfa saat di pesta pernikahan Marsel dan Alexa kemarin.
Becca memberikan tepuk tangan untuk Zulla karena temannya itu berani mengonfirmasi status Alfa secara langsung. Bahkan, Becca tidak bisa membayangkan kalau dia di posisi Zulla. Pasti Becca tidak akan seberani Zulla menanyakan pasangan dari lelaki yang dia sukai seperti itu.
"Lo keren Zul, keren!" puji Becca seraya memberikan kedua jempolnya kepada Zulla yang sedang tersenyum bahagia.
"Ish... Gue juga deg-degan tahu kemarin itu. Bahkan dia ngelihatin gue kayak yang gimana gitu, jadi ngerasa cewek apaan aja gue." desah gadis cantik pemilik rambut panjang sepinggang itu.
"Enggak apa-apa tahu, yang penting lo udah tahu kalau statusnya dokter itu masih single. Jadi lo masih punya kesempatan buat deketin dia."
Tentu saja Becca ikut senang kalau orang yang disukai Zulla masih belum ada yang punya. Selain karena Becca berharap Vanko bisa melupakan perasaannya ke Zulla, hal itu juga bisa membuat Zulla tertawa bahagia. Yang terpenting tetaplah kebahagiaan Zulla, bagi Becca.
Kedua gadis itu sedang ada di dalam kelasnya Zulla. Waktu masih sangat pagi, masih pukul setengah enam kurang dan sekolahan masih sepi. Belum ada yang datang ke sekolah dan baru mereka berdua yang datang. Zulla sengaja mengajak Becca berangkat pagi agar dia bisa menceritakan hal ini pada Becca. Zulla tidak ingin membicarakan hal ini saat ada Vanko.
Khusus hari ini, Zulla juga berangkat naik taksi. Hanya Yudha yang diantar oleh Marsel. Tentu saja hal itu membuat Marsel sedikit heran, tapi Marsel juga tidak menganggap hal itu aneh.
"Tapi gue juga masih lama kali buat ngedeketin dia. Gue aja masih kelas tujuh, masih lama kuliahnya. Dalam waktu lima sampai tujuh tahun tuh enggak menutup kemungkinan kalau dia bakal deket sama cewek lain dan berakhir menikah."
Apa yang dikatakan Zulla memang ada benarnya juga. Lima sampai tujuh tahun itu bukan waktu yang sebentar. Bahkan ada yang ketemu sekali dan dekat satu bulan lalu memutuskan menikah pun banyak. Apalagi dalam waktu sebanyak juga selama itu.
"Gue ngerti apa yang lo rasain, Zul. Apa yang lo bilang juga ada benernya. Tapi gue yakin kok, cowok bukan cuma dokter itu doang. Lo bakal bisa jatuh cinta lagi." angguk Becca mencoba menghibur teman dekatnya.
Remasan tangan dari Becca, membuat Zulla bisa tersenyum. Dia yakin, kalau Alfa tidak menjadi takdirnya, pasti akan ada takdir yang lebih baik untuknya.
"Gue ada di sini sebagai temen lo."
"Bener, kalaupun gue nantinya enggak bisa sama dokter itu, lo akan tetap ada di samping gue sebagai teman gue." angguk Zulla merasa bersyukur karena memiliki teman Becca.
Becca juga ikut mengangguk, dia berusaha menguatkan Zulla kalau temannya itu tidak sendirian.
"Iya, gue akan selalu ada di samping lo." sahutnya.
Kedua gadis itu untuk sejenak larut dalam keharuan. Hingga tak lama, ada seorang murid yang masuk kelas dan tentunya hal itu membuat mereka berdua otomatis mengganti pembahasan mereka.
Kini, masalah pelajaran adalah hal yang mereka bahas. Meski ini adalah pengalihan topik secara dadakan, ternyata tak kalah seru dan asik. Antara Zulla dan Becca sama-sama menikmati apa yang mereka bicarakan.
Apalagi yang mereka bahas selain tentang masalah ulangan di kelas Becca kemarin. Temannya itu cerita betapa sulitnya soal ulangan yang diberikan guru mereka.
"Ah... Males banget gue sama pelajaran fisika, otak gue serasa mau pecah tahu enggak? Mana Pak Danang ngadain ulangan dadakan lagi. Udah jelas nilai gue bakal buruk, Zul." keluh Becca pada temannya yang dengan setia mendengarkan setiap keluh kesah Becca sedari lama.
"Makanya, sekali-kali belajar. Jangan mikirin gue mulu."
Suara bariton barusan berhasil mengagetkan Becca. Gadis yang duduk membelakangi pintu itu kenal yang barusan itu suara siapa dan sepertinya dugaannya tidak salah. Harusnya, kalau Becca duduk di bangku Vanko, maka dia bisa melihat setiap orang yang masuk kelas. Tapi sayangnya, Becca duduk di bangku Zulla dan mengarah ke tembok samping bangku Vanko.
"Pacar lo dateng tuh." kekeh Zulla yang ingin tertawa melihat ekspresi Becca sekarang.
"Ish... Siapa juga yang mikirin lo terus. Kepedean lo jadi orang." sahut Becca untuk menutupi rasa salah tingkahnya karena tiba-tiba Vanko datang.
Zulla tertawa melihat ini, dia langsung berdiri karena sang pemilik bangku sudah tiba. Walaupun Vanko juga tidak mengusirnya, tapi Zulla tahu kalau Vanko juga mau duduk.
"Salting tuh..." goda Zulla yang sangat suka melihat wajah Becca memerah bagaikan tomat matang.
Becca langsung ikut berdiri karena merasa dia tidak memiliki tempat di sana. Gadis itu bahkan tidak berani menatap Vanko sama sekali.
"Zul, ke kantin yuk. Gue laper, belum sarapan." tanpa aba-aba, Becca langsung menarik pergelangan tangan Zulla begitu saja.
Melihat hal itu, Vanko hanya diam menatap punggung salah satu gadis itu dan tersenyum miris. Padahal Vanko ingin lebih dari ini, bukan seperti ini ekspektasinya sebenarnya.
"Tunggu, gue ikut!" seru Vanko yang langsung menyusul teman dan pacarnya.
Sejauh ini, Becca masih juga belum bisa menerima statusnya sebagai kekasih dari Vanko. Bukan karena dia tidak senang, tapi karena dia belum tahu alasan Vanko memacarinya. Berbeda dengan Zulla yang sangat senang melihat kedua temannya menjalin kasih. Bahkan, Zulla berharap dan berdoa setiap hari agar Vanko dan Becca tetap bahagia dalam sebuah hubungan pacaran.
“Gimana kalau kita adain belajar bersama? Kita bisa belajar bareng-bareng bertiga. Lagi pula ‘kan materinya sama aja meski beda kelas.” usul Zulla agar mereka bisa berbagi ilmu satu sama lain.
“Hehehe... Mau sih gue, tapi kayaknya belum perlu deh.” cengir Becca.
“Nah, ini yang bikin ni anak enggak pinter-pinter. Diajak belajar susah, tapi ngeluh tiap dapet nilai jelek.” cibir Vanko yang merasa puas bisa mengatakan hal ini.
“Ish... Nilai gue enggak sepenuhnya jelek semua. Ada juga yang bagus, gue cuma kurang suka aja sama fisika. Ribet, bikin pusing sama rumus-rumusnya. Mana biasanya guru tuh suka ngasih soal yang beda sama contoh terus rumusnya enggak ada.” Becca mengutarakan semua isi hatinya tentang ketidaksukaannya pada pelajaran fisika.
Ya, Zulla dan Vanko mengangguk membenarkan apa yang Becca katakan. Seringjya, guru selalu memberikan soal yang tidak ada di contoh dan tak jarang kadang rumusnya tidak ada. Bagi orang yang malas tentang fisika, maka akan berpikiran seperti Becca sekarang.
“Makanya, kita perlu belajar kelompok bisa bisa mecahin soal yang sulit itu bareng-bareng. Kalau dipikir sendiri ya pusing yang ada.” ajak Zulla lagi.
***
Di sisi lapangan basket, Zulla sedang berharap kalau Becca bisa mendapat nilai bagus dalam penilaian olahraga basket. Saat ini, banyak murid dari kelas Zulla dan Vanko yang sedang menonton kelas Becca sedang olahraga.
Kebetulan, guru yang mengajar di kelas Zulla sedang izin dan hanya diberi tugas. Setiap murid yang sudah selesai mengerjakan dan mengumpulkan tugasnya, mereka bisa bebas ke mana saja. Boleh ke kantin, ke perpustakaan atau menonton kelas lain sedang penilaian seperti apa yang dilakukan Zulla dan Vanko sekarang. Tapi ada juga yang masih berpusing ria dengan soal-soal di kelas mereka.
Kalau Zulla sudah ada di pinggir lapangan untuk menonton dan menyemangati Becca, itu artinya dia sudah berhasil menyelesaikan tugasnya. Zulla tidak sendiri, ada Vanko juga di sampingnya yang ikut menyemangati Becca. Kebetulan, Vanko juga tidak bodoh-bodoh sekali. Meski tidak pandai juga, tapi setidaknya dia selalu bisa melebihi nilai rata-rata dan minimal di angka rata-rata.
"Van, lo beneran suka 'kan sama Becca?" tanya Zulla tiba-tiba.
Pertanyaan Zulla barusan membuat Vanko menoleh ke arahnya. Sedikit aneh saja akan pertanyaan Zulla.
"Gue seneng kalau Becca seneng. Gue udah temenan sama dia dari kecil. Sebagai temen, tentu aja gue enggak mau kalau Becca sakit hati karena lo permainin perasaannya. Selama ini gue tahu kalau dia suka sama lo, tapi dia tetep diam dan dia enggak minta lo buat macarin dia atau membalas perasaan dia. Lo yang maju ke arahnya buat memberikan harapan, maka dari itu, gue mau lo jaga perasaan Becca. Gue enggak mau lihat dia nangis gara-gara lo." pinta Zulla tak main-main atas ucapannya.
Kepala Vanko mengangguk, dia mengerti apa yang dimaksud Zulla. Wajar saja kalau seorang teman ingin temannya bahagia.
"Lo tenang aja Zul, gue enggak main-main kok sama Becca." jawabnya tegas.
"Serius? Lo enggak ada niatan buat mempermainkan dia?" tanya Zulla lagi yang masih merasa belum puas akan jawaban Vanko karena mengingat selama ini kedua temannya itu selalu bertengkar meski karena hal kecil.
Wajah Vanko menebarkan senyuman, setelah Zulla lihat ternyata lelaki itu sedang tersenyum pada Becca. Dan hal itu semakin membuat Becca gugup saja.
"Apa gue salah kalau gue jadiin Becca sebagai cewek gue?" Vanko malah ganti bertanya pada Zulla.
"Ya enggak, gue malah seneng. Cuma, gue takut kalau lo cuma main-main doang sama Becca."
"Gue udah bilang, gue enggak akan mempermainkan Becca."
Dari lapangan, Vanko dan Zulla sama-sama mendengar kalau guru olahraga meminta Becca untuk melemparkan bola basket ke ring.
"Becca semangat! Lo pasti bisa!" tanpa malu, Vanko menyerukan kata-kata berikut dan malah membuat Becca semakin merasa malu pada guru mereka.
Dari kejauhan, mereka sama-sama melihat Becca mengambil ancang-ancang dan mulai men-dribel bola oranye yang dia pegang. Dalam hati, Becca jelas was-was takut kalau lemparannya meleset.
Plis, jangan meleset. Malu gue kalau sampai dapet nilai buruk padahal udah diajarin sama Vanko. Mohon Becca dalam hatinya.
Prittt!!!
Setelah peluit dibunyikan, Becca melempar bolanya sesuai teknik yang diajarkan oleh Vanko padanya. Sekuat-kuatnya Becca melemparkan bola itu dan berharap kalau bolanya tidak melenceng. Bahkan, Becca sama sekali tidak berani melihat bolanya.
"Yes!" teriak sang guru menandakan bahwa bolanya barusan masuk ke ring.
Yeyyy... Becca keren!
Suara Vanko kembali terdengar dan hal itu berhasil membuat Becca tersenyum manis. Untuk pertama kalinya selama menjadi kekasih Vanko, gadis berambut keriting itu tidak malu-malu saat tersenyum pada Vanko.
"Sekarang ulangi dua kali lagi." titah guru olahraga mereka.
"Hah? Kok ulangi dua kali lagi sih, Pak?"
Rasa senang di hati Becca tadi kembali digantikan oleh rasa ketar-ketir. Apalagi ketakutannya kalau bukan lemparan yang meleset.
"Nanti yang sudah-sudah, kalian juga nambah dua kali. Jadi penilaiannya tiga kali. Bapak lupa bilang tadi, dan baru inget barusan."
Lemas, Becca merasa tubuhnya lemas. Untuk mencetak three point pertama saja sudah membuatnya hampir kehilangan napas. Dan ini malah disuruh nambah dua kali lagi.
***
Usai pertemuan kedua Zulla dan Alfa waktu itu, mereka jadi sempat bertemu beberapa kali setiap Zulla ada urusan ke rumah sakit menemui Marsel. Bukan sebuah hal yang disempatkan oleh Zulla, tapi memang benar-benar kalau dia ke rumah sakit karena ada keperluan.
Seperti halnya hari ini saat Zulla datang ke rumah sakit untuk mengantarkan bekal makan siang buat Marsel. Di hari minggu ini, ayahnya itu harus lembur karena ada beberapa antrean operasi yang tidak bisa ditunda lagi. Dan tadi, Alexa meminta tolong pada Zulla untuk mengantarkan makan siang pada Marsel. Tentu saja, Zulla akan dengan senang hati menerimanya tanpa mengeluh. Karena hanya dengan cara begini, Zulla memiliki harapan bertemu dengan Alfa. Dan harapan Zulla di hari ini lagi-lagi dikabulkan oleh Tuhan. Terlebih lagi, Zulla sudah tidak les musik di hari minggu tapi di hari sabtu. Bersamaan dengan jadwal sekolahnya yang berubah menjadi sekolah lima hari saja.
"Sendirian aja ke rumah sakitnya?" tanya Alfa yang melihat Zulla memang hanya sendiri.
"Iya dok, lagi pula juga aku enggak punya pacar. Ya jadi sendiri hehehe..." kekeh Zulla membuat Alfa beberapa kali berdeham karena tidak mengerti apa maksud Zulla berkata tentang statusnya.
Alfa mengangguk lebih dari tiga kali menanggapi Zulla. Padahal dia juga bingung, tak tahu harus menyahut bagaimana.
"Ke sini mau ketemu Ayah lagi?" sepertinya Alfa sudah hafal kalau Zulla ke rumah sakit pasti ingin menemui Marsel.
"Jelas dong, dok. Masa sengaja mau nemuin dokter Alfa sih?" lagi-lagi Zulla nyengir kuda seraya mengucapkannya.
Entah yang ke berapa kali Alfa dibuat tak habis pikir dengan Zulla. Lelaki itu bahkan sampai tak berani menatap balik Zulla setiap gadis di depannya itu berkata hal-hal yang memancingnya.
"Oh... Hehehe... Kalau gitu, Om dokter ke bawah dulu ya. Ada perlu." pamit Alfa yang merasa sedikit tidak nyaman akan obrolan mereka barusan.
"Hati-hati, dok." kata Zulla seraya mengangguk.
Dari tempatnya berdiri, Zulla melihat kalau Alfa menggelengkan kepalanya beberapa kali. Bukan malah membuat Zulla tersinggung, tapi gadis itu malah tersenyum senang. Zulla menganggap kalau perginya Alfa barusan karena salah tingkah atas tindakannya.
"Lucu banget sih, Om. Bikin gue makin gemes." gumam Zulla seorang diri seraya meremas kain taplak polos yang dipakai membungkus rantang berisi makan siang untuk Marsel.
"Enggak salah gue suka sama dia." kikik Zulla merasa geli sendiri atas perasaannya.
Tak ingin membuat Marsel curiga dan menunggu makan siangnya lebih lama lagi, Zulla langsung berjalan menuju ruangan ayahnya. Gadis itu juga berharap, dalam sehari ini nanti dia bisa berpapasan dengan Alfa lagi.
“Padahal, gue pengen banget ngomong kangen ke dia.” gumam Zulla lirih agar tidak ada yang mendengar perkataannya.
***
Next...