45. Pesta Kado

1991 Words
"Met ultah ya, Zul." Salah seorang teman Zulla di kelas, memberinya ucapan selamat ulang tahun pada gadis cantik itu. Tak hanya satu atau dua orang saja yang memberinya ucapan selamat, tapi banyak. Posisinya sebagai mahasiswi yang sangat pandai, membuat Zulla dikenal banyak orang. Tidak beda jauh seperti waktu masih di sekolah dulu yang dikenal akan kepandaiannya. Bahkan, beberapa orang di fakultas sebelah pun juga banyak yang kenal. Lagi dan lagi, ucapan selamat kembali  didengar oleh Zulla. Bahkan, ada beberapa orang yang tak segan-segan memberinya kado. Ada pula, mahasiswa lain yang tidak terlalu dekat dengan Zulla pun, memberi kado untuknya. Segera, Lingga mengambil bungkus kado berwarna pink itu agar Zulla tidak kesusahan membawanya sendiri. Ya memang tidak sampai bertumpuk-tumpuk, hanya saja Lingga ingin membantu Zulla sebisanya. Sampailah mereka di kantin. Beberapa kotak kado itu diletakkan di atas meja kantin. Lingga segera memesan makanan yang ingin dia santap. Zulla juga tidak protes, mau apa nanti yang dipesan Lingga, dia juga akan memakannya. Tanpa disangka, mereka memiliki selera makan yang hampir sama. Walau tidak semua sama, tapi sebagian besar sama. Melihat banyaknya kado yang akan dia bawa pulang nanti dibungkus menggunakan sesuatu yang berwarna merah muda, membuat Zulla tersenyum getir. Lamunannya tiba-tiba dibuyarkan oleh kembalinya Lingga. Lelaki itu tersenyum menatap Zulla. "Wah... Lo udah kayak artis aja, dapet kado sebanyak ini." gumam Lingga yang juga tak menyangka akan hari ini. Kata-kata Lingga membuat Zulla terkekeh. Dia hanya menggelengkan kepalanya. Lagi pula, Zulla juga tidak merasa dirinya artis. "Anggep aja ini rezeki." sahutnya santai. Makanan dan minuman pesanan mereka datang.  Ternyata Lingga memesan soto Bandung, Zulla suka dan dia akan memakannya sampai habis tak tersisa. Beberapa sendok sambal sudah masuk ke dalam mangkuk milik Zulla. Dia juga menambahkan kecap sedikit lalu mengaduknya. Namun lagi-lagi ingatan Zulla kembali ke satu nama. "Lo tahu enggak? Dari sekian banyaknya kado itu, hampir sembilan puluh delapan persen warna bungkusnya pink. Jadi bikin gue keinget sama Becca." gumamnya sambil melihat semua kado-kado tadi. "Udah, doa aja semoga Becca baik-baik aja di manapun dia berada. Jangan galau-galauan lah." Zulla mengangguk, dia kembali fokus ke mangkuk sotonya dan mulai menyuapkan satu potong irisan kupat ke mulut. Rasa makanan di kantin memang paling enak. Apa mungkin saja karena dimakan dalam kondisi otak lelah jadi terasa lebih nikmat? Entahlah. Zulla juga tidak tahu pasti apa penyebabnya. "Oh ya, thanks buat kadonya ya. Gue suka." Masih dalam seputaran kado, tapi Zulla mengubah topiknya. Kali ini, dia membahas tentang kado pemberian Lingga kemarin. Temannya itu memberi senar gitar akustik yang harganya cukup mahal. "Gue nabung sampai berbulan-bulan buat beliin tuh senar, ya kali lo enggak suka. Gue ambil balik kalau enggak suka." "Anjir, jadi lo ikhlas enggak ngasihnya?" "Ikhlas, kok." Niat Zulla, dia ingin membuka kado-kado itu di rumah. Tapi sepertinya, dia butuh bantuan. Jadi dia akan meminta Lingga membantunya membuka di mobil nanti. "Kado gue pasti yang paling spesial deh." bangga Lingga karena mendengar Zulla menyukainya. "Dibilang paling spesial sih enggak juga. Tapi cukup spesial." angguknya. Bibir Lingga terbuka setelah sok-sokan kaget akan jawaban Zulla. Padahal, dia sudah mengira kalau Zulla akan menjawab seperti itu. "Pasti kado paling spesial, dari Om yang semalem itu 'kan? Iya 'kan?" tebak Lingga. Panas seketika d**a Zulla saat dia tersedak makanannya yang super pedas usai mendengar apa yang Lingga tanyakan. Satu botol air mineral dihabiskan oleh Zulla dalam sekali minum. "Wah... Tebakan gue bener berarti." Sebuah tepuk tangan Lingga berikan untuk Zulla. Sedikit tidak menyangka kalau selera Zulla adalah laki-laki dewasa yang benar-benar matang. "Ish... Kalau udah tahu, diem aja. Jangan aneh-aneh deh." "Kenapa? Lo takut gue cepuin ya ke Yudha atau ke yang lain?" suka sekali Lingga menggoda Zulla seperti ini. "Awas aja lo kalo berani cepuin ke Yudha atau ke siapa pun. Ke Tara juga jangan. Nanti kalau sampai gue denger ada yang tahu selain lo, berarti lo biang keroknya." Sebuah garpu ditodongkan ke arah Lingga, dijadikan senjata untuk Zulla. Sementara lelaki itu hanya terkekeh. "Kalau emang lo suka sama Om itu, gue rela. Berarti gue harus mulai buka hati buat cewek lain." desahnya sok-sokan memasang wajah sedih. Barulah sekarang Zulla melunak. Dia nyengir ke arah Lingga memperlihatkan gigi rapinya. Hanya dua jari yang Zulla berikan untuk Lingga sekarang. "Tapi ngomong-ngomong, kenapa lo suka sama gue? Apa yang lo suka dari gue?" herannya tak paham kenapa Lingga bisa suka juga padanya. Tak dilupakan, selain Lingga juga masih ada Vanko yang dulu juga menyukai Zulla. Hal itu sampai membuat Zulla bertanya-tanya, sebenarnya apa yang spesial darinya? "Lo anaknya dokter kaya, Bunda lo juga arsitek ternama, lo calon dokter yang jelas-jelas bakal bergelimang harta. Bisa jadi guru di tempat les musik juga. Terus apa lagi yang lo bisa buat ngasilin duit?" pikir Lingga mencari-cari apa sekiranya yang bisa Zulla lakukan. Tak! "Arhk...!" pekik Lingga ketika ubun-ubunnya dipukul oleh Zulla menggunakan sendok bersih yang diambil dari tempat sendok di atas meja. "Matre lo udah sampe ke urat nadi. Otak lo isinya cuan semua." cibir Zulla. Meski meringis kesakitan, Lingga akhirnya tertawa mendengar respons yang dikatakan Zulla. "Kidding gue." tawanya makin membahana.   ***   "Oma!" pekik Zulla ketika sampai di rumah, dia melihat ada Erika duduk di sofa ruang keluarga sambil bercanda dengan kedua adiknya ditemani oleh Alexa. Seketika, Zulla berlari ke arah omanya yang entah datang jam berapa. Dia memeluk Erika seerat mungkin setelah meletakkan beberapa kado yang tidak muat dimasukkan ke tasnya. Rasa rindunya begitu membuncah. Berada jauh dengan Erika, membuat Zulla kadang sering terserang rindu namun belum bisa menjenguk oma dan opanya di Paris. "Cucu Oma yang paling gede, kangen banget Oma sama kamu." tak beda jauh, Erika pun turut membalas pelukan Zulla sama-sama eratnya. Keduanya saling melepas rindu, bercerita ini dan itu. Bahkan Zulla sampai enggan ke kamar terlebih dahulu karena begitu merindukan Erika. Sementara Hans, lelaki paruh baya yang masih tampak prima itu tidak ikut pulang. "Happy birthday, cucu kesayangan Oma." kata Erika sambil terus menciumi wajah Zulla. Selalu begitu, Erika selalu menyebut semua cucunya dengan sebutan cucu kesayangan. Bukan hanya ke Zulla saja. "Ini kado ulang tahunnya. Oma bawa langsung dari Paris." Erika memberikan sebuah paper bag pada Zulla. Saat akan dibuka, Erika melarangnya dan meminta Zulla membukanya di kamar saja. Meski penasaran, tapi mereka menghargai permintaan Erika. Hari ini, Zulla benar-benar pesta kado meski ulang tahunnya sudah kemarin. "Kata Opa, kalau mau kado, datang aja ke Paris. Nanti Opa beliin semua yang kamu mau." Erika menyampaikan pesan dari Hans buat cucu mereka. "Ish... Opa nih, udah tahu kalau aku sibuk kuliah biar bisa seperti Ayah." desahnya. Tertawa saja Erika mendengar desahan Zulla. Diusapnya kening Zulla beberapa kali sebagai tanda sayangnya. "Oma... Lihat mainanku." Khael menyela sambil memperlihatkan sebuah mainan kereta yang berhasil dia rangkai sendiri. "Wah... Hebat cucu Oma. Pinter kayak Bunda sama Ayahnya." pujinya pada Khael yang tampak puas akan pujian dari Erika. Tak mau ketinggalan, Zalle ikut memperlihatkan slime berwarna pelangi yang dia buat bersama Alexa. Rasa lelah dalam diri Erika selama perjalanan, membuatnya jadi tidak terasa usai melihat ketiga cucunya bersamanya. Sementara Yudha, lelaki itu tadi bilang ingin bergabung tapi dia memiliki tugas sekolah yang menumpuk jadi Erika meminta agar Yudha menuntaskan tugas sekolahnya terlebih dahulu. Cklek! "Aku pulang." sebuah suara menghentikan tawa Erika secara perlahan. Tak lama, tampak seorang perempuan sambil menggendong tas ransel berwarna hitam yang tampaknya lumayan berat. Bahkan di tangannya juga ada tiga buku setebal lima jari. Melihat ada kerumunan di depan televisi, Gladys menghampirinya terlebih dahulu. Ini pertama kalinya dia melihat Erika, karena di pernikahannya beberapa bulan lalu, Erika dan Hans tidak bisa pulang. "Gladys, ini Omanya Yudha yang baru sampai dari Paris siang tadi. Ayo disapa." Alexa memperkenalkan Erika pada menantu pertamanya. "Selamat malam." sapanya sopan sambil menyalami tangan Erika setelah dia membuka resleting jaketnya yang sedikit terasa sesak dan membuatnya tidak nyaman saat dalam kondisi duduk. "Panggil saya Oma juga, kamu juga sudah menjadi cucuku." titah Erika ramah. "Iya, Oma." walau sedikit canggung, tapi Gladys berhasil melakukannya. Pandangan Erika tertuju ke perut Gladys yang sudah sedikit tampak meski wanita mengenakan pakaian longgar. Kata Alexa, kehamilannya sudah menginjak usia enam bulan. Tanpa terasa, tiga bulan lagi Erika akan memiliki cicit. "Yudha!" panggil Erika kencang dan berharap cucu lelakinya akan segera datang. Tak salah lagi, Yudha langsung berlari dari atas. Panggilan Erika adalah sebuah kebahagiaan bagi Yudha setelah sekian lama tidak bersama. Lelaki itu pikir kalau Erika sudah membiarkannya bercengkerama dengan Erika dan yang lain. "Iya, Oma." sahutnya girang. "Itu, bantuin istrimu bawa barang-barangnya ke kamar." titahnya sambil menunjuk tas dan beberapa buku tebal yang tadi sempat diletakkan di lantai ketika akan menyalami Erika. "Aku bisa bawa sendiri ke kamar kok, Oma." tolaknya. "Enggak, enggak. Kamu lagi hamil begitu, jangan bawa yang berat-berat. Lagi pula, kamu hamil juga karena Yudha 'kan." Erika menggelengkan kepalanya, tidak membiarkan Gladys membawanya sendiri. Wajah bahagia Yudha berubah jadi suram. Dia paling tidak suka ketika waktu berharganya harus terganggu karena Gladys. Contohnya seperti sekarang ini. Dia bahkan enggan mengambil barang bawaan Gladys meski sudah diminta oleh omanya sendiri. Tapi tak lama, Yudha melihat Zulla menggerakkan bibirnya agar dia segera mengambil alih apa yang Gladys bawa sebelum Erika marah. "Iya, aku bawain." desahnya lemas sambil mengambil tas dan ketiga buku Gladys meski awalnya ditolak tapi Yudha memaksa. Mereka berdua pamit ke lantai dua terlebih dahulu. Kini tersisa Erika, Alexa dan Zulla saja. Sementara Khael dan Zalle, keduanya sudah pergi ke kamar bersama asisten rumah tangga di rumah. "Itu yang dulunya temen kamu di tempat les yang suka merundung kamu sama Yudha?" tanya Erika pada Zulla. Zulla mengangguk mengiyakan. Tapi Zulla juga bercerita kalau Gladys tidak pernah lagi merundungnya setelah Zulla berusia tujuh belas tahun usia kejadian di tempat kamping dulu. Alexa pun bercerita bahwa awal-awal Gladys ikut tinggal di rumah ini pun sikapnya lebih arogan, dingin dan seenaknya sendiri. Namun karena Alexa memperlakukan Gladys dengan baik, sehingga membuat Gladys jadi berubah perlahan-lahan dengan sendirinya. Alexa melakukan itu karena dia pernah mengalami hal buruk sewaktu awal menikah dengan Marsel dan Alexa tidak mau menantunya mengalami hal yang sama sepertinya, karena bagaimanapun juga Gladys tetaplah wanita. Pasalnya, Alexa juga tidak mau kalau anak-anak perempuannya mendapatkan perlakuan tidak baik dari mertua mereka nantinya. Alexa memegang teguh, kalau ingin diperlakukan secara baik maka harus memperlakukan orang lain secara baik. Dan hal itu diikuti oleh Zulla, walau dia belum sepandai Alexa. "Kamu enggak ada niatan buat melanjutkan studi di Paris nantinya? Sekalian nemenin Oma sama Opa di sana?" tawar Erika. Zulla tampak berpikir sejenak, tapi pada akhirnya dia menggelengkan kepala sambil tertawa. "Aku enggak mau jauh-jauh dari Bunda. Aku pengen makan telur ceplok buatan Bunda setiap hari." tawanya sambil memeluk Alexa dari samping. Itu salah satu alasan Zulla. Dan alasan yang lain, karena dia tidak mau menggagalkan rencananya buat mendekati Alfa saat koas nanti. Pertemuan mereka, obrolan mereka dan kebersamaan mereka malam hari ini dihiasi akan tawa. Banyak sekali yang mereka perbincangkan. Sementara itu, di sela-sela canda tawa ketiga perempuan di lantai satu, ada Gladys yang tampak iri pada mereka. Dia ingin juga merasakan bercanda bersama keluarga seperti yang dilakukan Zulla sekarang. Dia ingin berada di antara mereka, ikut berbincang dan tertawa tapi Gladys terlalu malu untuk ikut bergabung. Dia tadi tidak sengaja mendengar pertanyaan Erika tentang dirinya yang dulu sering merundung Zulla dan Yudha di tempat les. Setiap kali mengingat hal itu, dia serasa tidak punya muka untuk ditunjukkan pada anggota keluarga ini. Terlebih lagi, Gladys bisa merasakan kebaikan Marsel dan Alexa secara tulus. Yudha keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut basahnya. Dia sedikit merasa bersalah, karena tadi dia berdebat dan berebut kamar mandi dengan Gladys padahal dia sudah di rumah dari sore tapi malah baru akan mandi setelah Gladys pulang tadi. "Gue mau pesen chicken katsu, lo mau enggak?" tawarnya sambil berdeham tanpa menyebut nama atau menatap Gladys "Gue udah makan." sahut Gladys sewot sembari membawa handuknya ke kamar mandi tanpa menghiraukan Yudha. “Awas kalau lo ntar minta makanan gue.” “Gue enggak pernah minta makanan lo!” balas Gladys lagi dari dalam kamar mandi dan sedikit berteriak karena kesal pada Yudha yang sudah membuatnya mandi lebih malam. *** Next...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD