Chapter 13

1109 Words
Sesuai janji, Emily menunggu Max di ruang tamu di saat Max sendiri tengah bersiap di dalam kamar. Sesekali Emily melihat jam yang melingkari tangannya tapi sudah cukup lama Max di kamar hanya untuk bersiap. “Tidak biasanya laki-laki menghabiskan waktu selama ini hanya untuk bersiap-siap, aku bahkan sudah selesai lima belas menit yang lalu.” Emily melihat pintu kamar yang tertutup, kakinya mengetuk lantai dan jemari tangan bergerak seolah sedang menghitung detik jarum jam yang berputar “Dia lama sekali.” akhirnya setelah tak sabar menunggu, Emily melangkah mendekati pintu kamar, mengetuk pintu kayu itu beberapa kali. “MAX! APA KAU BUTUH BANTUAN?!” serunya dari luar, namun Max tak menjawab. “Jangan salahkan aku jika masuk tiba-tiba.” ujar Emily dan ia pun membuka pintu yang tak terkunci itu. Sesaat Emily takut, jangan sampai saat ia masuk dan Max sementara memakai pakaian, dan ternyata Max hanya berdiri di depan cermin, pakaiannya sudah ganti, Emily menghela nafas rendah. “Kenapa kau lama sekali.” protes Emily. Max berbalik, “Bagaimana caranya memakai dasi?” “Untuk apa memakai dasi? Kita keluar untuk bersantai, bukan untuk bekerja.” Emily mengambil dasi yang di pegang oleh Max, menyimpannya asal di atas tempat tidur, lantas Emily menarik robot itu keluar. Jadi selama ini Max di kamar hanya untuk belajar memakai dasi? “Kau bilang aku akan bekerja, aku perlu berlatih memakai dasi sebagai bentuk formalitas di kantor.” ucap Max. Emily menatap Max antara kesal dan lucu. “Max, kita keluar bukan untuk bekerja. Lagi pula jika kau ingin belajar memakai dasi, kenapa tidak kau katakan padaku? Mungkin aku bisa membantumu.” Max nyengir, memamerkan deretan giginya yang rapih, Emily menggelengkan kepalanya pelan, setelah memakai tas selempang, ia dan Max keluar dari apartemen. Selain Hans, Emily baru kali ini pergi keluar bersama dengan lelaki lain. Keduanya sengaja tidak mengendarai mobil, udara malam ini cukup hangat dan sangat cocok untuk jalan-jalan, ramainya kota menambah keseruan perjalanan mereka, hanya saja Emily tak punya tujuan khusus, sementara Max sendiri pasti tak paham dengan kota tersebut mengingat Max bukan berasal dari sana. “Jadi ... sudah sampai mana kau mengurus dokumenmu dengan Diana?” tanya nya membuka obrolan. “Belum ada sama sekali.” jawabnya. “Bagaimana bisa? Bukankah dokumen akan mudah di buat jika kau mengurusnya ke pihak yang bersangkutan, di sini ada tempat yang dekat jika kau ingin mengurus paspor baru. Ingin aku mengantarmu besok? Kebetulan aku sudah tidak bekerja, yah setidaknya sampai beberapa hari ke depan.” “Tidak perlu, ini tak semudah yang kamu pikirkan. Oh, kita mau pergi kemana?” Max mengedarkan pandangannya, Emily pun sama tapi ia memang tak punya tujuan akan pergi kemana, jika ingin pergi makan, masakan Max jauh lebih enak dari restauran manapun. “Aku tidak punya rekomendasi, bagaimana denganmu? Apa kau punya tempat yang ingin kamu kunjungi?” tanya Emily. Max mengangguk sekilas, berjalan lebih dulu di depan Emily sampai perempuan itu harus mengejar Max agar langkahnya setara dengan lelaki itu. Dari sekian banyak orang yang keluar dari rumah malam ini, tak satupun dari mereka yang Emily kenal, atau memang Emily yang tidak begitu memperhatikan. Ia terus mengejar langkah Max, lelaki itu kenapa tidak peka sama sekali, langkahnya jelas tidak bisa setara dengan langkah Max, tapi lelaki itu terus berjalan tanpa menoleh, Emily menggerutu dalam hati. Ia justru seperti sedang olahraga dari pada menikmati pemandangan kota malam hari. Brukk..! Emily nyaris jatuh terjengkang ke belakang, kepalanya terantuk dengan tubuh seseorang hingga ia sedikit terpental. Tanpa melihat siapa yang ia tabrak, Emily langsung menundukkan kepalanya. “Maaf, aku tidak sengaja.” setelah mengatakan kalimat tersebut Emily kembali mencari Max yang sudah cukup jauh melangkah. “Tungu, bukankah itu perempuan yang kemarin.” batin orang yang baru saja Emily tabrak beberapa saat lalu. Emily merasa cukup lelah mengejar langkah Max, tapi lelaki itu akhirnya berhenti juga, Max berhenti di tepi sungai di kota itu, pemandangan malam di pinggir sungai memang cukup sejuk, terlihat beberapa orang pasangan duduk bersantai di beberapa kursi yang di sediakan. Hanya saja langit tidak terlihat cerah, udara juga sedikit berangin, mungkin akan turun hujan beberapa jam lagi. “Apa yang kamu sukai?” “Yang aku sukai? Maksudmu yang aku sukai dalam hal apa?” tanya Max balik untuk memastikan, sensor dalam kepalanya tak bisa menebak sehingga ia hanya bisa mendapat kalimat pasti. Emily sedikit gugup, “Maksudku makanan apa yang kamu suka dan tempat apa yang sangat ingin kamu datangi.” katanya memperbaiki kelimatnya tadi. Max menatap Emily tak berkedip, sementara yang di tatap terlihat semakin gugup sekaligus panik. “Aku suka ...,” Max menggantung kalimatnya saat di dalam mata Max terdapat kalimat ‘sensor detected’ yang tidak membolehkan Max menjawab pertanyaan Emily barusan. Sebagai robot, jelas konsumsi yang Max butuhkan adalah daya listrik, sementara tempat yang sangat ingin Max datangi tidak ada. Sebagai robot, ia tak punya tempat khusus sebagai tujuan saat berpergian, Max bukan manusia, ia hanya sebongkah mesin yang di rakit membentuk manusia. Sementara di tempat Diana, pencipta Max itu tak henti-hentinya memarahi Emily sampai profesor di belakangnya hanya bisa menghembuskan nafas. “Dasar Emily, bisakah kau tidak bertanya macam-macam pada Max, jangan sampai pertanyaanmu membuat humanoidku menjadi error, kau pikir biaya membuat humanoid itu murah!” “Berhenti memarahi sepupumu, dia tidak salah, Emily tidak tau jika orang yang ada di depannya saat ini bukan manusia. Aku rasa, kau harus segera memprogram bagian sistem otomatis dalam diri Max agar robot itu bisa menjawab pertanyaan apapun yang orang lain berikan padanya.” “Tapi processornya saat ini punya batas penyimpanan, sementara paket dari Rusia tak kunjung tiba.” Diana berbalik meninggalkan layar komputer, mengambil segelas air mineral dan ia teguk langsung sampai habis. Diana meletakkan gelas ke meja dengan kasar, sebelah tangan berkacak pinggang sementara tangan satunya mengusap bibir yang sedikit basah akibat sisa ia minum barusan. “Baiklah, minggu ini apapun yang terjadi, Max harus mendapatkan update terbaru, dia akan menjadi humanoid terbaik yang pernah ada dan aku akan menjadi orang terkenal setelahnya.” Diana membakar semangatnya sendiri, tanpa melihat ke kanan dan ke kiri, Diana segera meraih ponsel, menanyakan sudah sampai mana paketnya tiba. Setelah memastikan paket itu sudah hampir tiba, Diana langsung menyiapkan alat-alat yang akan Max butuhkan saat program terbaru di sematkan. Dalam satu minggu Diana akan berusaha agar Max sudah bisa mendapatkan kendali otomatis, dengan begitu Diana tak perlu mengontrol Max dua puluh empat jam, dan orang yang memberi Max pertanyaan akan mudah di jawab oleh Humanoid itu. Lantas Diana tak perlu menghawatirkan Max, kendali otomatis akan membuat humanoid itu bisa memantau segala hal yang terjadi di sekitarnya, selain bisa melindungi diri, Max juga bisa melindungi orang di sekitarnya, semoga saja harapan Diana terwujud.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD