Chapter 12

1314 Words
Ke esokan harinya, Emily terpaksa datang ke perusahaan di pagi hari untuk menghapus artikel tentang Raffael, meski tak tau apa yang Raffael katakan mengenai perempuan di foto itu adiknya atau bukan, setidaknya uang yang lelaki itu berikan cukup banyak, tadi pagi Emily sudah mendapat notifikasi pengiriman dana dari Raffael secara penuh. Untuk menepati janjinya sendiri, kini Emily sudah duduk di depan layar komputer membuat surat pernyataan pengunduran diri lebih dulu sebelum menghapus artikel tentang Raffael yang ia buat beberapa hari lalu. Emily merogoh tasnya mengeluarkan ponsel yang berdering, nama Raffael terlihat di layar, menghembuskan nafas kasar sekali sebelum Emily menerima panggilan tersebut. “Ha—,” baru saja Emily akan menyapa, suara Raffael langsung menyela kalimatnya. “Aku masih melihat artikel itu belum kau hapus, ingat Emily, aku masih mengantungi dana transfer tadi pagi, jika kau belum juga menghapus artikel itu, aku akan melaporkanku ke polisi dalam kasus penipuan.” “Hei, bisakah kau tenang dulu. Sepagi ini aku sudah ada di kantor untuk menghapus artikelmu itu, tapi sebelum itu aku harus membuat surat pengunduran diri lebih dulu, kau ini sangat tidak sabaran, kau pikir aku akan menipumu hanya dengan uang seratus ribumu itu!” labrak Emily balik. Di seberang panggilan Raffael menjauhkan ponsel dari telinganya. Di sini yang bersalah siapa tapi yang marah siapa, Raffael akan menekan tombol merah namun Emily kembali bersuara. “Tenanglah tuan Kingston, paling lambat satu jam lagi kau tidak akan melihat artikel itu bertebaran di manapun, aku janji.” dan Emily mematikan panggilan sepihak, “dasar tidak sabaran.” gerutunya. Raffael melihat layar ponselnya yang perlahan mulai meredup, “Kenapa dia yang marah? Bukankah aku yang seharusnya memarahinya karena tak segera menghapus artikel itu?” Raffael menggelengkan kepalanya pelan tak habis pikir dengan Emily. Sementara Emily sendiri masih membuat surat pengunduran dirinya, kemudian mulai menghapus satu persatu artikel yang ia buat secara permanen, bahkan jika ada orang yang sudah membagikannya ke laman lain, itu juga akan ikut terhapus secara otomatis. Satu setengah jam kemudian kantor mulai ramai, Emily segera pergi ke ruangan boss untuk menyerahkan surat pengunduran dirinya, ia tak bisa berlama-lama di kantor itu, Emily adalah orang yang sangat memegang janji, jadi ia akan keluar dari perusahaan itu seperti janjinya dengan Raffael kemarin. Padahal jika di pikir, tanpa di bayar oleh Raffael, Emily bisa mendapatkan uang seratus ribunya dengan mudah jika artikel itu terus menjadi trending topik selama dua minggu berturut-turut. “Kamu mau kemana?” Carla menatap Emily yang mengemasi barang-barang di meja kerja yang biasa Emily pakai. “Aku mengundurkan diri.” jawab Emily dengan santai. “Apa? Kenapa tiba-tiba? Kau tidak nyaman bekerja di sini karena aku menjadi rekan kerjamu?” Emily tersenyum, “Tidak Carla, justru karena kau menjadi teman kerjaku aku bertahan di perusahaan ini, tapi hari ini sudah cukup, aku resign tapi bukan berarti kita tak bisa terus berteman kan?” “Tapi kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya? Apa kau ada dalam masalah? Katakan padaku, aku mungkin bisa membantu.” Emily menggeleng, “Ini pilihanku, aku ingin mengistirahatkan diri, atau mungkin melanjutkan karyaku, kau tau kan kalau aku ini sangat suka menulis.” “Tapi—,” “Tak apa, ini pilihanku, kau dan Romi bertemanlah baik selama aku tidak bekerja di sini lagi.” Emily membawa box yang tak terlalu besar berisi barang miliknya, pukul sembilan Emily angkat kaki dari perusahaan tersebut. Barang miliknya di letakkan di samping kursi kemudi, hembusan nafas di hela oleh Emili, sabuk pengaman lantas ia pakai sebelum ponselnya kembali berdering, lagi-lagi nama Raffael di layar ponselnya, sehari ini sudah dua kali lelaki itu menghubunginya. “Apa kau tidak bisa melihat sendiri di internet! Aku sudah menghapusnya dan aku juga sudah mengundurkan diri, apalagi yang ingin kau pastikan!” ujar Emily. “Hei! Aku membayarmu bukan untuk marah.” “Lalu apa? Aku sengaja datang pagi sekali ke kantor sebelum Mrs.White melihatku menghapus artikel itu. Sekarang sudah lunas, kau membayarku dan aku menghapus artikel tentangmu, jadi apa yang membuatmu menghubungiku lagi?” “Kau sangat pemarah, aku bahkan belum mengatakan apapun.” “Jadi apa yang ingin kau katakan.” sahut Emliy. “Jangan pernah mengusikku, apalagi membuat artikel tentangku, dan jangan menampakkan wajahmu di depanku.” ucap Raffael menegaskan. “Hei, untuk apa pula aku menampakkan wajah di depanmu? Kau sendiri yang datang ke apartemenku tanpa aku undang.” ujar Emily dan untuk kedua kalinya ia mematikan panggilan secara sepihak. “Dasar pria aneh.” gumamnya. Emily pulang, di sambut pemandangan saat Max sedang memakai celemek namun tangannya memagangi alat penghilang debu. Emily meletakkan barang bawaannya ke meja. “Kau sangat rajin sekali.” puji Emily. “Kau sudah pulang?” Max balik bertanya. Emily mengangguk singkat. “Aku akan berada di rumah selama beberapa hari, mungkin membuat judul cerita baru, atau mungkin belajar memasak, apa kau bisa mengajariku memasak? Bakatmu dalam meracik makanan perlu aku akui, ia sangat mengagumkan.” “Terima kasih.” jawab Max datar, Emily berdecih pelan. Emily mengambil alat pembersih debu yang Max pegang, “Biar aku membantumu.” katanya. Max tak menjawab, lebih ke membiarkan apa saja yang akan Emily lakukan. “Kau masih ingat dengan janjiku?” “Yang mana?” Max balik bertanya sementara dirinya menjauh dari Emily untuk melepaskan celemek. “Karena masakanmu enak dan kau memasak untukku selama tinggal disini, aku ingin mengajakmu keluar, anggap saja tanda terima kasihku karena berkat masakanmu, aku bisa melupakan mantan kekasihku, ah kau juga bahkan pernah membantuku membalas dendam dengan cara memukulnya, aku puas sekali, sampai sekarang dia tak pernah menggangguku lagi.” Emily menatap Max. “Bagaimana? Kau mau malam ini keluar bersamaku?” tanya nya, tapi Emily segera menambahkan. “Jangan salah paham, aku melakukan ini hanya sebagai tanda terima kasih.” Max terdiam seolah berpikir menerima tawaran Emily atau tidak. Namun, Max terdiam karena menunggu persetujuan dari sistem yang Diana kendalikan. Selama sistem masih dalam kendali Diana, Max belum bisa melakukan apapun secara bebas, ia butuh kontrol otomatis, namun itu butuh waktu, terlebih ia adalah robot pertama ciptaan Diana yang sementara di uji coba. “Diana! Ada pesan dari Max yang harus kau lihat!” seru profesor. Diana yang baru saja akan menikmati sarapan yang tertunda harus buru-buru berlari ke arah komputer, melihat pesan apa yang Max kirimkan, Diana tersenyum geli dan tanpa pikir dua kali ia menyetujui pesan yang Max kirimkan sebagai ijin agar Max bisa keluar dengan Emily. “Sepertinya perlahan Emily mulai menyukai Max, baguslah, itu artinya Emily bisa cepat melupakan Hans.” Max mengolah kembali pesan persetujuan yang di berikan Diana, kepalanya menoleh melihat Emily yang menanti jawaban dari Max. “Baik, nanti malam pukul berapa?” tanya nya. “Mungkin pukul tujuh, bagaimana?” saran Emily, Max mengangguk dua kali sebelum berjalan ke arah sofa, duduk di sana dengan tenang. Emily tersenyum, tak terasa sudah sepuluh hari Max berada di rumahnya, tak ada hal aneh yang Max lakukan selain sifat dingin yang kadang lelaki itu lakukan, tak pernah ada keramah tamahan yang coba Max lakukan, tak ada pula tindakan jahat yang berusaha Max pikirkan untuk mengganggu Emily. Keberadaan Max justru membuat Emily merasa terlindungi, anehnya Emily tidak merasa canggung berkepanjangan dengan Max, ia mudah menerima Max seolah Max adalah seekor kucing yang tinggal di rumahnya. Padahal sebelumnya Emily sangat sulit dekat dengan pria lain, berhubungan dengan Hans dulu adalah hal paling sulit yang Emily lakukan, dan setelah hubungannya dengan Hans selesai, ia malah begitu mudahnya dekat dengan Max, sampai membiarkan Max tinggal di rumahnya, walaupun asal usul Max tak jelas, setidaknya lelaki itu bisa menjadi teman yang baik bagi Emily. Berkat Max juga sekarang Emily tak lagi di ganggu oleh Hans, meskipun Max lebih banyak diam, namun perlahan ia mulai menyukai lelaki itu. Emily segera tersadar dan membulatkan matanya, melihat kanan dan kiri. Tak ada yang bisa membaca pikirannya kan? Astaga, kenapa tiba-tiba isi kepalanya mengatakan jika ia menyukai Max, ini gila, ia baru kenal Max selama sepuluh hari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD