Chapter 14

1207 Words
Dua jam Emily dan Max berjalan di luar ruangan menikmati udara malam hari, angin berhembus terasa mulai dingin, sesekali Emily menoleh ke arah Max yang duduk di sampingnya, lelaki itu dengan santai menatap lurus ke depan, tak ada percakapan panjang di antara Emily dan Max, hal itu membuat Emily merasa jenuh, seolah ia duduk berdampingan dengan robot. Sekarang saja perutnya mulai lapar, namun Max sama sekali tidak bertanya mengenai keadaan itu. “Apa kau tidak lapar?” tanya Emily lebih dulu, Emily rasa jika ia menunggu Max yang bertanya lebih dulu mungkin ia butuh waktu sampai besok atau mungkin lebih lama lagi. “Tidak.” jawab Max, lagi pula bagaimana robot bisa merasakan lapar? Jawaban Max barusan seperti mematikan percakapan di antara mereka, Emily menghembuskan nafas sebentar. “Tapi aku lapar, ayo kita cari restauran terdekat di sekitar sini.” ajaknya. “Baiklah.” Max berdiri lebih dulu, menoleh ke arah Emily menunggu perempuan itu juga berdiri sebelum mereka mencari restauran yang di maksud oleh Emily. Lima belas menit berjalan, Emily akhirnya menemukan restauran yang ia cari, segera Emily mencari tempat untuk duduk sampai seorang waiter datang menawarkan menu yang tersedia. “Max, kau ingin makan apa?” tanya Emili sembari membaca buku menu. “Aku tidak lapar.” “Tapi sejak tadi siang kau tidak makan, tidak perlu khawatirkan mengenai billnya, kau pesan saja sesuai seleramu, aku akan membayarnya.” ucap Emily, tapi Max tidak menjawab dan berakhir Emily memesankan makanan tanp meminta persetujuan Max lagi. “Berapa kali kau makan dalam sehari?” tanya Emily, karena ia mulai penasaran, selama mengenal Max, Emily belum pernah melihat Max makan atau bahkan minum. “Dua kali terkadang.” jawab Max, dan yang ia maksud dua kali ini adalah pengisian daya dalam tubuhnya sebelum baterai itu tertanam dalam dirinya sampai jangka waktu sekitar enam puluh hari, atau mungkin bisa kurang dari waktu itu. Emily hanya mengangguk, pelayanan datang membawakan pesanan, Emily memberikan pesanan yang ia pilih untuk Max, sementara Emily menerima pesanan untuknya juga, tersenyum saat melohat makanan sudah tersaji di meja. “Silahkan makan, anggap saja ini ucapan terima kasihku karena kamu sudah memasak untukku selama beberapa hari ini dan juga membantuku membersihkan apartemen.” Max bukannya menjawab justru memperhatikan makanan di depannya, sensor dalam matanya melihat olahan apa saja yang tersaji di meja, dari beberapa menu yang Emily pilih, Max menarik satu dari sekian menu yang Emily pesan sambil berkata. “Jangan di makan.” Alat makan yang sementara Emily pegang berhenti di atas piring, kedua bola mata Emily menatap Max heran. “Kenapa?” tanya nya. “Kandungan gelatin terlalu tinggi untuk kamu konsumsi.” “Bukankah itu bagus? Kau tidak suka makanan yang mengandung gelatin?” Max menatap Emily sembari menggeleng, sensor biru yang hanya bisa Max lihat mendeteksi aliran darah Emily. “Kau akan mengalami alergi.” “Apa? Bagaimana kau tau aku alergi gelatin?” Max menyingkirkan jenis makanan itu menjauh dari Emily. “Harusnya kamu tidak memesan makanan yang bisa berbahaya untuk kondisi tubuhmu,” “Aku memesan itu untukmu.” ucap Emily, Max menggeleng dan ia menyodorkan menu lain untuk Emily. “Makanan ini lebih cocok di konsumsi olehmu.” katanya. Emily masih menatap Max heran. “Kau tidak makan?” “Setelah kamu menghabiskan semua makanan yang ada di meja ini.” jawab Max. Emily tidak mau berdebat mengenai makanan, ia terlalu lapar untuk mengatakan hal lain dengan Max, mungkin Max tau mengenai alerginya dari Diana, dalam hati Emily menggerutu, entah sudah berapa banyak yang sudah Diana katakan pada Max tentang dirinya. Max hanya memperhatikan Emily makan. Sejujurnya Emily tidak nyaman di tatap seperti itu saat sedang makan, tapi ia terlalu malas untuk menegur Max di saat perutnya masih kelaparan. Setelah di rasa cukup kenyang, Emily meneguk jus tak lupa membersihka bibirnya kemudian sebelum menatap Max. “Aku ke toilet sebentar.” pamit Emily, Max hanya mengangguk, Tempat makan yang sudah tak di pakai segera di bereskan oleh pelayan sehingga saat Emily kembali tempat itu sudah rapih kembali. Sementara di toilet, Emily menatap pantulan dirinya di cermin. “Laki-laki macam apa yang tidak peka seperti itu, dan apa dia juga tidak bisa merasa lapar? Atau dia malu jika makan di depanku? Ternyata masih ada ego seperti itu, dia rela menahan lapar agar tidak ada yang tau saat dia makan, benar-benar pria yang aneh.” ucap Emily pada pantulan dirinya di depan cermin. Sedikit polesan lipstik di permukaan bibir sebelum Emily keluar dari toilet menghampiri Max, di sana meja sudah bersih, hanya tersisa setangkai bunga mawar merah dalam vas kaca. “Kau sudah makan?” tanya Emily. “Sudah, setelah ini apa lagi yang akan kita lakukan?” tanya Max balik. Emily lantas mengangguk pelan dan kembali berdiri untuk membayar tapi Max segera menyela. “Aku sudah membayarnya.” “Sungguh? Kapan?” sahut Emily. Max mengeluarkan kartu yang ia miliki, kartu itu pemberian dari Diana, tapi Emily tidak akan tau hal itu. “Sudah berapa hari kamu tinggal di rumahku?” tanya Emily kemudian setelah ada jeda keheningan selama beberapa menit di antara mereka berdua. Max mengedipkan matanya, sedikit menunduk sebelum menjawab. “Sebelas hari dan akan menjadi hari kedua belas besok.” “Aku pikir kamu lupa, itu berarti kamu punya waktu sembilan belas hari lagi tinggal di rumahku, selama itu hal apa yang ingin kamu lakukan? Tapi sebelum itu, apa kau bisa mengajariku memasak? Aku sungguh ingin mempelajari teknik memasakmu yang luar biasa itu, aku akui jika masakanmu tidak mengecewakan sama sekali.” Max mengulurkan tangannya di atas meja, sebelah alis Emily terangkat sebelah karena tak paham dengan apa yang Max lakukan. “Berikan tanganmu.” katanya, dan Emily meletakkan tangannya di atas telapak tangan Max yang dingin, satu tangan Max terangkat dan menopang renggang di atas tangan Emily. “tanganmu akan terluka jika bermain dengan alat dapur, pisau juga bisa membahayakanmu, benda itu akan melukai kulitmu yang bagaikan kapas ini.” ucap Max, Emily langsung menarik tangannya dari Max. Debaran tak wajar menjalari urat nadi Emily, kalimat Max barusan akan membuat siapapun salah paham dengan maksud dan tindakan Max berkata demikian. Terlebih Max mengatakan dengan nada yang lembut, seolah Max benar-benar menghawatirkan Emily akan terluka. Namun sebenarnya bukan itu maksud Max, Max memegang tangan Emily dan mengatakan kalimatnya barusan dalam artian tangan Emily sangat rentan karena Emily adalah manusia, sementara ia adalah robot yang tidak akan mudah terluka hanya dengan pisau dapur. Tapi maksud dan tujuan dari sikap yang salah dapat menimbulkan kesalahpahaman, terlebih Emily, seorang wanita single yang baru saja terbebas dari seorang lelaki toxic seperti mantan kekasihnya. “Detak jantungmu meningkat dua persen, kau baik-baik saja?” tanya Max. Emily segera menggeleng, darimana Max tau detak jantungnya meningkat? Apa Max bisa mendengar detak jantungnya? Mustahil, di tempat yang ia kunjungi sekarang cukup ramai dan tidak memungkinkan seseorang dapat mendengar detak jantung lawan bicara, kecuali orang tersebut punya keahlian khusus. “A.aku rasa kau benar, lebih baik aku tidak perlu belajar memasak denganmu.” Emily memalingkan wajah menahan kegugupan yang entah kenapa merayapi rongga dadanya. Tangan Max terangkat menepuk begitu pelan puncak kepala Emily. “Anak yang pintar adalah anak yang penurut.” katanya, wajah Emily bersemu. Sialan kau Max, untuk apa mengatakan kalimat seperti itu di depan seorang perempuan sepertiku. Maki Emily dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD