four : home alone

1963 Words
"Lusa Papi harus berangkat ke Semarang selama seminggu. Kalian mau nginep di rumah Om Harlan atau mau Oma nemenin kalian disini?" Pertanyaan itu diajukan Hamdan kepada kedua anaknya di tengah makan malam mereka. Jala dan Lara pun menghentikan kegiatan makan mereka sejenak guna memberi perhatian pada sang papi. "Nggak dua-duanya, Pi," jawab Jala. "Nginep ke rumah Om Harlan seru sih, bisa dimasakin Tante Gema, terus main sama Apollo. Tapi aku males packing banyak barang buat kebutuhan sekolah selama seminggu. Terus, kalau Oma nginep disini juga nggak deh, nanti setiap hari diomelin. Aku udah lelah diomelin Oma lewat telepon gara-gara kecelakaan aku, nggak ada niatan buat diomelin secara langsung," jelasnya panjang. "Itu kan salah kamu sendiri. Udah Papi bilangin jangan naik motor, kamu belum punya SIM, belum cukup umur, tapi masih aja. Untung kaki kamu cuma luka dan lecet, nggak sampai patah tulang. Kalau sampai cedera parah dan kamu nggak bisa jalan lagi gimana?" "Aaaaa, Papiii, jangan ngomel dong," rengek Jala. "Aku beneran udah capek diomelin semingguan ini." Memang benar, ulah Jala yang kecelakaan motor minggu lalu karena ugal-ugalan mengendarai motor milik temannya membuat mendapat omelan nyaris setiap hari baik secara langsung maupun secara virtual dari sang papi serta omanya. Bukan bermaksud kurang ajar, tapi Jala betulan sudah lelah kena omel hal yang sama. Padahal kan, Jala sudah tahu kalau dirinya salah, dan paham juga kalau tak seharusnya ia membahayakan dirinya sendiri. Tapi kalau diomeli terus begini, bukannya mau semakin menurut, Jala justru berkeinginan untuk mencoba naik motor lagi dan membuktikan kepada papi dan omanya kalau ia tidak akan kecelakaan lagi. Tapi tentu saja Jala tidak mengutarakan niatnya itu dan hanya mencebikkan bibir. Lara yang sedari tadi tetap tenang pun ikut bersuara. "Iya, Pi, aku setuju sama Aa. Kita di rumah aja karena ribet kalau mau nginep-nginep. Terus ngerepotin Oma juga." "Sok-sokan bilang nggak mau ngerepotin Oma, padahal aslinya juga nggak mau kena omel," sindir Jala. Lara hanya mendelik padanya. "Maksudnya kalian di rumah berdua aja gitu?" tanya Hamdan tidak yakin. Jala dan Lara mengangguk. "Papi nggak yakin." "Duhh, Papiiii, kita ini udah gede. Kita juga mau belajar mandiri dong. Kalau Papi nggak pernah kasih kita tinggal berdua, kapan kita mau mandirinya?" Jala beralasan, lalu menusuk ayam goreng di piringnya dengan garpu dan menggigitnya. "Papi tau kalian bisa mandiri, yang Papi takutin itu kalian bikin ulah selama Papi pergi. Terutama kamu, Jala." "Papi suudzon banget sama akuuuu," protes Jala. "Aku bisa mikir lah, Piiii, nggak akan aneh-aneh." "Kata orang yang seminggu ini pincang karena kecelakaan dan nggak nurut kata Papi." Lara meledek. "Yang membuka semester baru dengan masuk BK mending diem." Lara melotot pada Jala, sementara Jala menjulurkan lidah jahil padanya. "Udah, nggak usah berantem." Hamdan memperingati sebelum perdebatan terjadi di antara kedua anaknya. "Kalau kalian nggak mau ribet nginep berarti Oma aja yang kesini." "Enggak, Pi!!! Kita berdua aja di rumah!" Jala dan Lara kompak menjawab. "Papi tenang aja, kita nggak bakal kenapa-napa kok, lagian juga kan ada Bibi." Lara meyakinkan. "Terus, nanti aku bakal jagain Jala. Aku langsung lapor ke Papi kalau dia aneh-aneh. Jadi Papi tenang aja ya ya ya??? Kita nggak akan kenapa-napa kok berdua di rumah selama seminggu. I swear!" Jujur, Hamdan masih merasa tidak yakin. Sebelum ini, ia sama sekali tidak pernah meninggalkan anak-anaknya hanya berdua di rumah jika ia sedang memiliki pekerjaan yang mengharuskannya untuk pergi ke luar kota selama beberapa hari. Sebelum ini, Hamdan selalu menitipkan mereka berdua di rumah Harlan, atau meminta ibunya untuk menginap disini menemani mereka. Ia merasa ragu meninggalkan mereka berdua karena takut terjadi sesuatu yang membahayakan pada mereka. Tapi yang dikatakan oleh Jala dan Lara ada benarnya juga. Mereka sudah mulai beranjak dewasa dan tidak bisa dikatakan sebagai anak kecil lagi. Sudah seharusnya mereka belajar untuk mandiri, termasuk membiasakan diri tinggal di rumah sendiri tanpa pengawasan orangtua. Dengan begitu, mereka bisa terbiasa untuk mengurus diri sendiri sekaligus belajar bertanggung jawab. Hamdan pun menghela napas. Selama seminggu ini banyak yang sudah terjadi, termasuk kasus pertengkaran Lara dan Anette, serta kecelakaan Jala. Bahkan bekas luka Jala pun belum sepenuhnya kering. Karena itu Hamdan masih meragu untuk meninggalkan mereka. Namun di sisi lain, Hamdan juga harus belajar memberi kepercayaan. Jadi, dengan berat hati ia menganggukkan kepala, menyetujui permintaan anak-anaknya. "Yaudah kalau gitu, kalian boleh tinggal berdua disini," ujarnya. "Tapi janji sama Papi, kalian harus selalu laporan tiap ada apa-apa dan nggak boleh melanggar peraturan yang Papi buat. Oke?" Senyum Lara dan Jala merekah. Kompak mereka menjawab, "OKE!" Entah kenapa perasaan Hamdan jadi tidak enak setelah anak-anaknya memberikan jawaban yang penuh semangat. Namun ia berusaha menepisnya dan berdoa semoga saja ini keputusan tepat dan ia tidak akan menyesalinya nanti. *** Sudah beberapa hari ditinggal oleh papi mereka ke Semarang, Jala dan Lara membuktikan kalau mereka sudah mampu ditinggal di rumah berdua tanpa pengawasan orangtua. Mereka sudah SMA, pikiran mereka sudah lebih dewasa, dan mereka sudah bukan anak kecil lagi sehingga sudah bisa mandiri dan mengurus diri sendiri. Yah, walau selama papi mereka pergi, Jala dan Lara selalu ditelepon setiap hari, bahkan tepatnya beberapa jam sekali dalam sehari. Hamdan terlalu khawatir pada anak-anaknya sehingga ia mau terus memantau mereka di waktu luang yang dia punya selama bekerja. Contohnya seperti sekarang. Jala dan Lara di-video call oleh Hamdan tepat setelah keduanya tiba di rumah. Hamdan tentu sudah hapal jadwal pulang sekolah anak-anaknya sehingga ia ingin memastikan kalau keduanya sudah tiba di rumah. "Aa kamu dimana, Lara? Dia udah pulang kan?" Setelah menyapa Lara, Hamdan langsung menanyakan itu karena ia tidak melihat Jala ada di dekat Lara lewa video call ini. "Dia masih di kamarnya, Pi, lagi sibuk teleponan tadi. Ini aku baru aja turun mau makan siang." "Ajakin juga Aa kamu makan ya, kalau nggak diingetin dia suka nge-skip makan siang. Papi nggak mau maagnya sampai kambuh selama Papi pergi." "Iya, Papi." "Jadinya kalian makan apa? Pesen makan?" "Enggak, Pi, tadi aku minta Bibi buat masak," jawab Lara. Kebetulan ia sudah tiba di ruang makan, jadi ia membuka tudung saji yang ada di atas meja makan dan menunjukkan isinya kepada Hamdan lewat video call sehingga Hamdan bisa melihat berbagai hidangan yang ada. "Nih, Bibi masak sayur lodeh, iga bakar, sama sambal tahu." "Wahhh, kelihatannya enak." Lara nyengir. "Papi sendiri gimana? Udah makan belum?" "Belum nih, Papi masih harus meeting sama klien, nanti kalau udah keluar baru Papi makan." "Ihh, Papi gimana sih. Masa Papi nyuruh kita-kita makan tapi malah Papi sendiri belum makan?" omel Lara. Hamdan hanya terkekeh. Kemudian, suara gaduh terdengar karena Jala muncul dan ikut bergabung di video call. Ia memepet Lara agar wajahnya terlihat pada layar ponsel. "Halooo, Papiiii, Jala's already in the house! Nggak perlu curiga lagi nih Papi, aku nggak ngelanggar peraturan!!!" Hamdan mengacungkan ibu jarinya. "Iya, bagus." Jala menunjukkan cengiran lebarnya, ia senang karena diapresiasi. Selama Hamdan pergi, sebelumnya ia memang telah menetapkan beberapa peraturan kepada anak-anaknya. Mulai dari aturan jam malam, makan harus tepat waktu, tidak boleh membawa teman lawan jenis ke rumah jika sedang sendirian, dan khusus untuk Jala harus langsung pulang ke rumah setelah sekolah karena Jala masih dihukum akibat kecelakaannya waktu itu sehingga ia tidak diizinkan untuk nongkrong sepulang sekolah apalagi sampai naik motor. Sejauh ini Hamdan bisa bernapas lega karena anak-anaknya menaati peraturan tersebut. Setidaknya yang Hamdan tahu begitu lewat laporan anak-anaknya serta lewat cctv rumah yang selama ini selalu Hamdan pantau meski ia sedang berada jauh di kota lain. "Papi, aku mau izin dong. Malam ini teman aku ada yang mau ngerayain ulang tahunnya. Can I go there?" ini Jala yang meminta izin. Kini dia sudah menguasai ponsel Lara sehingga wajahnya secara penuh memenuhi layar. "Teman kamu yang mana? Acaranya dimana? Dari jam berapa sampai jam berapa? Kesana sama siapa saja?" tanya Hamdan. "Itu loh, Pi, si Albert salah satu anak tongkrongan aku. Acaranya di rumah dia, mulainya jam delapan sampai nggak tau jam berapa. Kemungkinan aku bakal pulang agak maleman, nggak apa-apa ya? Pleaseeee?" Jala memasang wajah memelas guna merayu sang papi. Sementara Lara yang tahu sesuatu melotot pada saudara kembarnya tanpa sepengetahuan Hamdan. "Terus Lara gimana? Masa kamu mau ninggalin dia sendirian malem-malem? Kamu kan tau sendiri kalau Lara suka takut kalau sendirian di rumah malem-malem gitu." Jala langsung menoleh kepada Lara. "Lo nggak apa-apa kan, Ra, di rumah sendirian? Gue nggak enak ini kalau nggak dateng. Tau sendiri kalau Albert sohib gue." Tanpa suara dan hanya dengan gerakan bibir, Lara menjawab, "Lo gila mau dateng ke acara ulang tahun Albert?!" Jala hanya menjawabnya dengan anggukan samar. "Lara? Gimana?" "Hah...iya, Pi???" Lara kelabakan karena Hamdan menanyakan kejelasannya. "Emang kamu nggak apa-apa kalau sendirian di rumah?" Masalahnya bukan itu. Lara sih tidak masalah kalau sendirian di rumah, tapi ia tahu sesuatu mengenai pesta ulang tahun Albert, namun ia tidak bisa memberitahu papinya karena tahu kalau Jala pasti akan marah besar jika Lara sampai membeberkannya. Akhirnya Lara menjawab, "Ya...aku nggak apa-apa sih, Pi...paling nanti aku tidur cepet." "Yaudah kalau begitu. Jam sebelas sudah harus pulang ke rumah ya, Jala." Jala mengacungkan ibu jarinya. "Siap, Bos!" Setelah itu Hamdan pamit kepada anak-anaknya karena harus kembali menghadiri meeting. Seperti biasa, sebelum mengakhiri panggilan, ia terlebih dahulu berpesan kepada anak-anaknya untuk selalu berhati-hati dan jaga diri. Tepat setelah video call tersebut benar-benar berakhir, Lara langsung berkacak pinggang dan menatap Jala galak. "Tell me, you are not going to Albert's birthday party for real?!" tembaknya. Jala menjulurkan lidah pada saudara kembarnya dengan cara yang sangat menyebalkan. "I'm going, wle. Lagian udah dikasih izin sama Papi." "Itu karena lo udah bohong! Papi mana tau kalau ulang tahunnya Albert di night club!" Iya, semua orang di sekolah termasuk Lara tahu kalau pesta ulang tahun Albert akan diadakan di sebuah night club. Albert ini merupakan kakak kelas mereka dan salah satu teman tongkrongan Jala yang cukup akrab dengannya. Berhubung Albert akan merayakan ulang tahunnya yang ke-17, jadi ia ingin mengadakannya di sebuah night club dan semua orang yang dia kenal boleh datang ke acara itu. "Yaudah, Papi kan nggak akan tau kalau nggak dikasih tau. Makanya, lo harus bantu gue dan jangan bilang-bilang Papi," ujar Jala santai. "Jala!!!" "Heh, panggil gue Aa. Kebiasaan banget." "Ogahhhh." Jala hanya mengedikkan bahu, lalu berjalan begitu saja melewati untuk mengambil piring dan nasi, kemudian menarik salah satu kursi dan duduk di depan meja makan. Ia sama sekali tidak mengindahkan Lara yang masih mengikuti gerak-geriknya dengan tatapan galak. "Lo tau nggak sih kalau lo nggak cukup umur untuk pergi ke night club? Kalau Albert sih iya karena dia udah dapet KTP. Lah, lo gimana?" "Tenang aja, Albert punya orang dalem disana. Lagian, gue tuh cuma penasaran aja, Ra, sama isi night club. Gue nggak akan aneh-aneh." "But still you're underage!" Jala tidak menanggapi omongan Lara dan malah dengan santainya mulai makan. Melihat saudara kembarnya seperti itu, Lara jadi kesal sendiri sehingga ia pun memberikan ultimatum. "Lo nggak boleh pergi! Kalau lo pergi, gue bakal bilang Papi." "Seriously, Lara?!" Jala langsung melotot. "Jangan jadi party pooper dong. Sekali ini aja bantuin gue!" "Enggak!" "Laraina!" "Enggak, Aa Jala!' "Gue beneran nggak akan ngapa-ngapain disana sumpah! Minum pun nggak akan!" Lara tertawa sinis. "Nggak ada yang bisa jamin. Temen-temen lo pasti bakalan ngajakin lo buat minum dan nggak akan ada yang jamin lo bisa teguh sama pendirian lo sendiri." Jala mendengus. "Yaudah, kalau gitu lo ikut. Awasin gue dan liat sendiri kalau gue nggak akan ngapa-ngapain!" "What?! No thanks! Pokoknya kalau lo nekat pergi, gue beneran bilang Papi." "Oh yaudah kalau gitu bilang aja. Gue juga bakal bilang kalau lo kemarin bawa Sean ke rumah di saat lo lagi sendirian." Pernyataan dari Jala itu membuat Lara spontan menganga tidak terima. "Lo jangan bikin gosip sembarangan ya! Gue sama Sean kemarin kerja kelompok!" "Tetap aja, lo melanggar aturan Papi." "Jalaaaa!" Jala bersiul-siul santai. "Now choose, go with me or let me go alone~" Sial, Lara terjebak kelicikan saudara kembarnya sendiri. Kalau sudah begini, ia tidak punya pilihan lain lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD