three : what's wrong with today?

2802 Words
Akibat nyaris datang terlambat pagi ini, suasana hati Lara jadi tidak terlalu bagus. Ia yang biasanya selalu ceria ketika berada di sekolah malah lebih banyak merengut. Sampai-sampai beberapa temannya bertanya mengapa Lara tidak seceria biasanya. Lara sendiri tidak paham kenapa ia bisa se-bad mood itu perkara hampir terlambat ke sekolah. Tapi kalau kata Sean, teman sebangku Lara sejak semester kemarin, Lara itu sedang sensitif karena sekarang hampir mendekati tanggal datang bulannya. "Nih, gue beliin cokelat di kantin. Makan sana biar tuh muka nggak kusut lagi." Di jam istirahat, Sean yang baru kembali dari kantin memberikan Lara sebatang cokelat kesukaannya. Lara yang sebelumnya sedang sibuk mengerjakan soal Kimia pun menoleh pada Sean. "Makasih." "Iye, princess." Lara mendengus, tahu kalau Sean meledeknya dengan sebutan princess itu. Semua teman-teman Lara tahu kalau ia dipanggil princess oleh papinya. Walau masih menduduki kelas sepuluh, namun Lara dan Jala memang cukup beken di sekolah ini. Alasannya tentu saja karena mereka adalah anak Hamdan Septian Erlangga yang namanya cukup dikenal sebagai pengusaha muda sukses, sekaligus kakak dari Harlan Jagat Erlangga, artis papan atas yang wajahnya sedang sering wara-wiri di berbagai film dan series terkenal. Karena cokelat dari Sean, suasana hati Lara sudah hampir membaik. Iya, hampir. Sayangnya, tidak lama kemudian ia justru dibuat lebih bad mood lagi karena ulah musuh bebuyutannya yang bernama Anette yang tiba-tiba saja datang menghampiri meja Lara dan Sean. Lara langsung memutar bola mata melihat Anette yang datang sambil memainkan rambut ikalnya dan tersenyum menyebalkan. Jika sudah menghampiri Lara seperti ini, biasanya Anette mau mencari masalah. Maklum lah, Anette ini selalu iri dengan Lara dan menganggapnya sebagai saingan karena latar belakang Lara serta kepopuleran yang secara effortlessly didapatkannya. Selain itu, Anette juga diam-diam naksir Sean. Jadilah sedari awal berada di kelas yang sama, mereka tidak pernah akur. Sepertinya, sekarang Anette datang menghampiri Lara karena tidak senang melihat Sean memberi Lara cokelat. "Lara, gue mau tanya sesuatu boleh nggak?" Anette bertanya pada Lara dengan suaranya yang dibuat sok manis. "Enggak, Net, sorry. Gue lagi nggak mood," balas Lara cuek. Bukannya tahu diri dan pergi, Anette justru mengambil ponselnya kemudian menunjukkan sesuatu yang ada disana. Sebuah tangkapan layar dari forum gosip online. "Ada yang nge-post di forum ini nih, Ra. Katanya Om kamu nikah cuma gimmick doang dan nikahnya juga nikah kontrak setahun buat nutupin skandalnya yang kemarin itu loh. Bener nggak?" "Hah? Apaan deh, orang om sama tante gue juga mesra-mesra aja. Masa lo percaya sih sama gosip nggak jelas gitu?" "Ya...gimana ya, Ra. Maunya sih nggak percaya, tapi biasanya gosip-gosip disini tuh asalnya dari orang terpercaya gitu." Lara membuang napas, mulai merasa sebal dengan Anette. Sean yang masih berada di sebelah Lara pun mengusap-usap bahunya, menyuruh Lara untuk tetap sabar. Sean tidak sadar saja kalau yang dilakukannya justru kian membuat Anette merasa iri. "Gue bisa jamin kalau gosip itu nggak benar." "Oh ya? Tapi kan lo nggak dua puluh empat jam sama om dan tante lo. So, you probably don't know everything." "Lo yang lebih nggak tau apa-apa, Anette. Better keep your mouth shut." Anette terkekeh. "Okay, okay, chill," ujarnya. "Kalau pun gosipnya bener juga nggak heran lagi, ya nggak sih? Keluarga lo kan emang problematic. Bokap lo aja bisa punya anak di luar nikah, om lo yang cuma nikah pura-pura sih nggak ada apa-apanya, ya kan?" "Anette, ngomong lo udah keterlaluan." Sean menegur Anette dan memberinya tatapan memperingati. Anette diam saja dan hanya tersenyum manis pada Sean. Lantas, sembari mengibaskan rambutnya, perempuan itu berbalik dan siap pergi. Sudah puas karena berhasil mengganggu Lara hingga perempuan itu terdiam akibat menahan kesal. Namun, Anette salah mengira kalau Lara akan diam saja. Sudah dibilang kan, mood Lara sedang tidak bagus hari ini. Ditambah lagi, selama ini ia selalu mencoba sabar menghadapi Anette yang kerap mengejeknya ini dan itu. Lara mungkin bisa menahan emosi kalau yang diejek hanya dirinya, tapi kalau sudah menyangkut keluarganya, apalagi papinya, ia jelas tidak bisa diam. Suara terkesiap teman-teman sekelasnya terdengar ketika tiba-tiba dan dengan gerakan cepat, Lara menjambak kencang rambut Anette yang terurai hingga kepala perempuan itu tertarik ke belakang. Anette memekik kesakitan, namun Lara belum berniat untuk melepaskan jambakannya. "Salah lo yang cari gara-gara duluan sama gue ya, Anastasia Permata Lazuardi," ujar Lara santai. Sedetik setelahnya, terjadi pertarungan sengit di antara mereka berdua. *** Hamdan benar-benar tidak bisa menahan keterkejutannya begitu ia sampai di ruangan bimbingan konseling sekolah anak-anaknya dan melihat ada Lara disana, duduk di depan seorang guru, dan di sebelahnya ada perempuan yang berseragam sama dengan Lara. Bukan kenyataan kalau Lara baru saja mengukir sejarah buku hitamnya sekarang lah yang membuat Hamdan terkejut, melainkan karena kondisi anak perempuannya itu. Rambut Lara berantakan, seragamnya juga, lalu ada luka baret seperti bekas cakaran di lengan dan pipinya. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada perempuan yang duduk di sebelah Lara. "Papi..." Lara langsung memanggil begitu melihat Hamdan masuk ke ruangan itu. Hamdan berjalan mendekat, langsung menangkup wajah putrinya karena diliputi oleh khawatir melihat luka-luka tersebut. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Hamdan. Lara hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. Lantas ia melirik perempuan di sebelah Lara yang dikenalinya sebagai Anette. Lara sering bercerita kalau dirinya dan Anette selama ini sudah seperti musuh dan selalu bersaing dalam hal apapun. Tidak Hamdan sangka bahwa mereka akan bertengkar sampai seperti ini. Keadaan Anette pun tidak jauh berbeda dari Lara, bahkan mungkin bisa dikatakan sedikit lebih parah. Sadar diperhatikan oleh papinya Lara, Anette pun menundukkan kepala dalam. "Maafin aku, Pi..." gumam Lara. Ia benar-benar terdengar merasa bersalah karena untuk yang pertama kalinya membuat masalah seperti ini. Hamdan mengangguk dan menyunggingkan senyum untuk menenangkannya, lalu mengusap kepala Lara lembut. "It's okay." Suara dehaman dari guru yang ada di depan mereka membuat Hamdan akhirnya menoleh dan mengalihkan fokusnya yang semula hanya tertuju pada Lara. Ia pun langsung berhadapan dengan seorang guru yang masih terbilang muda. Sepertinya guru baru disini, karena dari yang tHamdan ingat, guru bimbingan konseling di sekolah ini yang ditemuinya terakhir kali ketika Jala membuat masalah, berbeda dengan guru yang sekarang. "Pak Hamdan, terima kasih banyak sudah datang," ujar guru muda tersebut diiringi dengan senyuman sopan. Ia mengulurkan tangan pada Hamdan. "Saya Semira Padmarini, guru bimbingan konseling yang baru di sekolah ini, Pak." Hamdan menerima uluran tangan tersebut dan menjabatnya. "Silahkan duduk, Pak." Semira kemudian mempersilahkan Hamdan untuk duduk di kursi kosong yang ada di sebelah Lara. Hamdan pun langsung menarik kursi tersebut dan duduk disana. "Jadi, boleh saya tau Bu, apa yang baru aja terjadi sama mereka?" Semira kembali tersenyum menanggapi pertanyaan Hamdan itu. "Nanti akan saya jelaskan detailnya berdasarkan penjelasan mereka berdua, juga berdasarkan saksi dari teman-teman sekelas mereka. Sekarang kita tunggu wali dari pihak Anette dulu ya, Pak." Hamdan mengangguk mengerti. Tidak lama setelah itu, terdengar ketukan di pintu ruangan bimbingan konseling ini sehingga tatapan semua orang pun langsung tertuju ke pintu yang tidak lama kemudian terbuka. Seorang wanita dengan setelan semi formal masuk ke dalam ruangan. Perempuan itu mengenakan skinny jeans hitam, atasan berupa warna senada, dan dilengkapi dengan luaran blazer yang berwarna cokelat muda. Rambutnya panjang dan lurus, berwarna sedikit kecokelatan ketika terkena cahaya lampu ruangan. Semua orang yang baru pertama kali melihat perempuan itu pasti setuju kalau ia memberikan kesan dingin karena tatapan matanya yang serupa tatapan tajam mata kucing. "Kok malah Tante yang kesini sih?! Mama mana?!" suara protes Anette adalah yang pertama memecah keheningan sejak perempuan itu masuk ke ruangan. Tatapan perempuan itu pun langsung berpindah pada Anette yang kelihatannya tidak senang sama sekali dengan kehadirannya "Mama kamu lagi sibuk karena ada meeting mendadak. She told me to come, so just accept it, sweety." Sebelah alis Hamdan terangkat mendengar bagaimana perempuan itu bicara pada Anette. Walau menggunakan panggilan manis di akhir kalimat, namun jelas sekali jika ia bicara dengan tegas pada Anette yang diasumsikan Hamdan sebagai keponakannya. Lantas perempuan itu pun berjalan mendekat. Ia terlebih dahulu mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Semira. "Saya Ambar Kusumaputri, panggil aja Ambar, tantenya Anette. Saya mewakilkan orangtuanya kesini karena mereka nggak bisa datang. Maaf kalau datangnya agak telat." Perempuan bernama Ambar itu menjelaskan. Kemudian ia beralih untuk berjabat tangan dengan Hamdan. "Ambar, tantenya Anette," ia memperkenalkan diri sekali lagi. Hamdan mengangguk sopan. "Hamdan, papinya Lara." "Silahkan duduk, Bu Ambar." Semira mempersilahkan Ambar untuk duduk di kursi kosong yang ada di sebelah Anette, dan Ambar pun langsung melakukannya. Kehadiran sang tante membuat Anette secara terang-terangan berdecak dan langsung melipat kedua lengan di depan d**a. "Padahal saya mengekspektasikan orangtua Anette yang datang berhubung mamanya Anette tadi menelepon saya karena mau menyelesaikan masalah ini dengan masing-masing orangtua hadir kesini, tapi ternyata mamanya Anette berhalangan ya?" Ambar tersenyum tidak enak, yang mana senyuman itu seketika langsung melunturkan aura dinginnya. "Mohon dimaklumi ya, Bu. Saya yakin kalau kakak saya cuma mau menuruti kemauan anak manjanya ini. Padahal, dia juga sibuk banget dan Anette sendiri pasti tau itu. Tapi dia justru cari gara-gara begini. On behalf of her, I apologize." "Tante!" Anette protes karena disalahkan oleh tantenya sendiri. "Kenapa malah nyalahin aku sih?" Ambar tidak menjawab dan beralih pada Semira. "Jadi, bisa kita mulai bahas permasalahannya, Bu?" "Oke." Semira tersenyum dan mengangguk. "Pertama-tama saya mau berterima kasih dulu sama Pak Hamdan dan Bu Ambar yang sudah menyempatkan diri untuk datang membahas masalah yang terjadi antara Lara dan Anette. Saya yakin kalau Bapak dan Ibu pasti memiliki kesibukan masing-masing." Hamdan dan Ambar mengangguk, sementara dua anak SMA yang diapit oleh mereka hanya menundukkan kepala. "Jadi, saat jam istirahat tadi Lara dan Anette bertengkar. Dari hasil keterangan teman sekelasnya, mereka berdua jambak-jambakan dan cakar-cakaran sampai mereka saling luka begini," jelas Semira dengan tenang dan jelas. "Tadi saya udah tanya ke mereka berdua, apa masalahnya. Lara bilang, Anette yang memprovokasi dia duluan dengan omongan-omongan yang nggak bagus. Sedangkan Anette bilang kalau Lara yang mengajak adu fisik duluan dengan menjambak rambutnya. Keterangan mereka sudah saya crosscheck dengan teman-teman sekelas mereka, dan memang benar kalau Anette sempat memprovokasi Lara, juga benar kalau Lara yang duluan menjambak Anette. Dan menurut saya, dua-duanya salah. Dua-duanya harus saling minta maaf." "Enggak, Bu! Dia yang salah!" Lara dan Anette protes secara bersamaan. "Dia duluan yang jambak rambut saya sampai saya hampir kejengkang ke belakang, Bu!" ujar Anette menggebu-gebu. "Eh, sadar diri dong! Gue nggak akan mulai kalau lo nggak cari gara-gara duluan! You said bad things about my family, especially my father! Sean saksinya kalau lo ngomongin keluarga gue problematic! Gue bisa sabar kalau lo cuma ngatain gue, tapi gue jelas nggak bisa diam aja kalau lo ngatain keluarga gue!" Anette terdiam dan kembali menundukkan kepala, sedikit merasa takut karena Lara menyatakan itu di depan Hamdan secara langsung. Hamdan sendiri langsung merangkul Lara guna menenangkannya karena emosi sang putri yang kembali menggebu-gebu sekarang. Sementara Ambar yang mendengar itu pun langsung memijat pelipisnya. "Kalau begini sudah jelas ya, Bu, siapa yang salah duluan. Atas nama Anette, saya betul-betul minta maaf. Saya harap Lara dan Pak Hamdan juga mau memaafkan Anette dan nggak memperpanjang masalah ini. Saya janji, ke depannya saya bakal berusaha untuk bantu mendidik Anette supaya jadi lebih baik lagi." "Tante! Kenapa daritadi nyalahin aku terus?!" Anette kembali protes. "Tante itu sebenernya tante aku apa tantenya Lara sih?" Ambar berdecak. "Kamu sadar nggak kalau kamu memang salah? Makanya Tante nyalahin kamu. Walau kamu keponakan Tante, tapi Tante tetap menilai kamu secara objektif." "Tapi dia juga salah! Dia jambak aku duluan!" "Nggak akan ada asap kalau nggak ada api. Kamu yang cari gara-gara duluan. Jadi, sekarang kamu minta maaf sama Lara dan papinya." "Nggak mau!" "Anette!" "Maaf." Hamdan menyela perdebatan antara Ambar dan Anette hingga semua pandangan kini jadi tertuju padanya. "Saya rasa yang dikatakan oleh Bu Semira tadi benar kalau dua-duanya bersalah, bukan cuma Anette. Lara juga salah karena sudah menjambak dan menyakiti Anette secara fisik duluan." "Pi..." Lara menyentuh lengan Hamdan, tidak merasa setuju dengan pernyataan tersebut. "Mau bagaimana pun, kamu tetap salah karena udah memulai main fisik sama Anette. Papi setuju sama Bu Semira, kamu juga harus minta maaf. Kalian berdua harus maaf-maafan." "Tuh, Lara, Anette, dengar apa kata wali kalian," ujar Semira pada dua muridnya itu. Lara dan Anette saling mendengus. Dengan sangat terpaksa, mereka pun berjabat tangan dan menggumamkan maaf yang tentu saja tidak diucapkan sepenuh hati. "Ibu harap nggak akan ada lagi kejadian seperti ini. Kalian berdua kan teman sekelas, seharusnya berteman, bukannya malah bertengkar." Semira menasehati. "Ke depannya, kalian harus saling akur. Sekarang mungkin kalian menganggap diri kalian sebagai musuh, tapi siapa tau ke depannya kalian malah saling butuh?" Lara menggerutu dalam hati dan merasa yakin kalau ia tidak akan pernah membutuhkan Anette dalam hidupnya, begitupun sebaliknya. "Iya, Bu. Sekarang udah, kan? Boleh saya balik ke kelas?" tanya Anette. Semira menganggukkan kepala. Ia belum sempat mengatakan hal lain lagi, namun Anette sudah berdiri dan berjalan meninggalkan ruangan. Bahkan Ambar pun tidak bisa menahannya. Usai kepergian Anette, Ambar segera menundukkan kepala berkali-kali dan meminta maaf kepada Hamdan, Semira, juga Lara. "Tolong maafin sikap Anette ya. Dia itu terlalu dimanja sama orangtuanya sampai jadi sekeras itu. Sekali lagi, tolong maafin Anette." "Saya harap nanti bisa bertemu dengan orangtuanya Anette secara langsung ya, Bu, supaya bisa membahas perihal sikap Anette yang begitu," ujar Semira. Ambar mengangguk. "Nanti akan saya sampaikan." Lalu ia kembali beralih pada Hamdan. "Sekali lagi maafin keponakan saya ya, Pak Hamdan. Lara juga, maafin Anette. Kalau nanti dia ganggu kamu lagi, langsung lapor sama Bu Semira aja biar dia bisa langsung ditindak." Lara hanya mengangguk sementara Hamdan tersenyum. "Nggak apa-apa, Bu Ambar. Mereka sama-sama salah kok dan saya juga sudah maafin. Sekarang, boleh saya permisi?" Dua perempuan itu mempersilahkan Hamdan keluar bersama dengan Lara yang ada dalam gandengannya. Begitu pasangan bapak dan anak itu keluar dari ruang bimbingan konseling, Lara langsung memeluk Hamdan dan menangis dalam pelukannya. Lara masih kesal, sedih, merasa bersalah, sekaligus takut papinya marah. Padahal, Hamdan sama sekali tidak marah. Ia justru balas memeluk putrinya itu dengan erat, mengusap-usap punggungnya lembut dan bergumam, "Nggak apa-apa, Sayang. Nggak apa-apa." *** Tebakan Sean ternyata benar, Lara memang sedang sensitif karena mau datang bulan. Setelah masalah di ruang BK bersama Anette tadi, Lara izin pulang duluan bersama papinya karena ia tidak sampai hati lagi untuk tinggal di sekolah karena suasana hatinya yang terlalu buruk. Untungnya hari ini adalah hari pertama sekolah sehingga ia diperbolehkan untuk pulang cepat. Begitu sampai di rumah, barulah Lara kedatangan tamu bulanannya. Ia bahkan mengalami sakit perut di perjalanan pulang. Sekarang dirinya dan sang papi sudah ada di rumah, sementara Jala belum pulang karena memilih untuk pulang bersama teman-temannya. "Papi beliin es krim mau?" tawar Hamdan pada Lara yang kini sedang berbaring di kamarnya karena sakit perut. Ia sudah berganti pakaian dan tidak lagi mengenakan seragam sekolah. Lara menggelengkan kepala. "Aku mau tidur aja, Pi. Papi kalau mau balik ke kantor nggak apa-apa." "Nanti aja Papi balik ke kantor, tunggu Jala udah pulang." "Dia pasti lama pulangnya, Pi. Pasti mau nongkrong dulu saman temen-temennya. Papi ke kantor aja, nggak apa-apa kok. Lagian kan di rumah masih ada Bibi." Hamdan memandang Lara ragu. Ia paling tidak bisa meninggalkan Lara jika putrinya itu sedang mengalami sakit di hari pertama datang bulan seperti ini. Hamdan trauma karena dulu Lara pernah sakit sampai pingsan di hari pertama datang bulannya. Selain itu, Lara juga jadi super sensitif. Tadi saja dia banyak menangis karena merasa bersalah pada Hamdan akibat pertengkarannya dengan Anette di sekolah. Padahal Hamdan sendiri sudah menjelaskan berkali-kali kalau ia sama sekali tidak marah maupun kecewa, dan sudah memaafkan Lara. Hamdan tidak tega jika harus meninggalkan Lara, terlebih jika nantinya Lara malah sedih sendirian. Tapi, ia juga tidak bisa tinggal lama di rumah dan harus segera kembali ke kantor karena ada pekerjaan yang harus dilakukan. "Papiiii, aku nggak apa-apa. Beneran deh." Lara meyakinkan Hamdan. "Papi kalau nggak balik ke kantor entar dimarahin Om Jendra loh." Hamdan menghela napas. Ia pun mendekat untuk memberikan sebuah kecupan di puncak kepala Lara. "Yaudah, Papi ke kantor ya?" Lara mengangguk. "Pulangnya mau dibawain apa?" "Cheesecake." "Okay, princess. Noted. Kamu langsung istirahat ya." "Iya, Papi." "I love you." "I love you too, Pi." Hamdan pun keluar dari kamar Lara, tidak lupa menutup pintunya, dan bersiap untu pergi ke kantor. Padahal ini masih siang, tapi rasanya Hamdan seperti sudah melewati hari yang sangat panjang. Hari pertama sekolah anak-anaknya benar-benar heboh dan itu cukup memusingkan. Tapi untungnya, Hamdan bisa melewati itu semua dengan baik. Ia hanya bisa berharap semoga saja tidak ada masalah lain yang muncul. Sayangnya, harapan Hamdan itu langsung pupus. Ketika ia baru saja keluar rumah dan hendak masuk mobil untuk kembali ke kantor, ia justru dikejutkan dengan kedatangan beberapa anak berseragam sekolah yang ia kenali sebagai teman-temannya Jala. Mereka semua terlihat panik ketika berjalan masuk melewati pagar rumah Hamdan. Dan Hamdan pun ikut panik ketika dilihatnya, dua di antara mereka sedang memapah Jala yang kakinya pincang dan berdarah-darah. "PAPIIII!" rengekan Jala langsung memenuhi indera pendengaran Hamdan. "AKU ABIS JATUH DARI MOTOR PIIIII HUHUHU SAKITTTT, KAKI AKU GIMANA??? INI NGGAK HARUS DIAMPUTASI KAN?" Tubuh Hamdan rasanya melemas. Seriously...pikirnya, what's wrong with today?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD