Gadis sudah tidur nyenyak selama dua jam lamanya tanpa merisaukan apapun. Berbeda halnya dengan Abra yang nampak gelisah sekali. Ia tak bisa tidur, selain AC kamar hotel yang cukup dingin, juga ia tak berhenti memandang ke arah Gadis dan memikirkan bagaimana mereka berakhir hari ini di kamar yang sama. Kurang dari dua puluh empat jam sebelumnya mereka tak mengenal satu sama lain.
Abra kembali berusaha terpejam. Ia memilih mengingat kembali rentetan peristiwa hari ini yang baginya sangat konyol. Ia tersenyum sendiri saat mengingat bagaimana Gadis dengan sangat ringan masuk ke dalam kehidupannya dan membuatnya nyaman.
Ponsel Abra berdenting, sebuah pesan masuk dari Clara.
Apa tidak ada cara bagi kita untuk kembali bersama?
Abra membaca pesan singkat itu dan ia teringat bagaimana wajah kekasihnya yang hancur setelah ia memintanya keluar. Jalinan cinta kasihnya dengan Clara dengan sangat cepat tandas begitu saja dan tak pernah Abra pikirkan hal itu sebelumnya. Suara ponselnya kembali berdenting, ia meraihnya dengan sangat malas dan membuka pesan masuk itu dengan dahi berkerut, nyatanya bukan dari Clara pesan itu masuk, melainkan dari Ibunya, Liliana. Abra melirik jam di dinding, hampir pukul tiga pagi, kenapa Ibunya menghubunginya sepagi ini?
Pulanglah esok. Mama sudah mempersiapkan sesuatu untukmu.
Abra mengetik balasan. 'Aku tak butuh hadiah.'
'Aku tak memberimu hadiah. Kau sudah punya semuanya, pemberianku bukan apa-apa ...'
Membaca pesan itu hati Abra sedikit sakit. Bagaimanapun ia seorang anak yang jika Ibunya memberi sesuatu ia akan sangat senang. Tapi Ibunya selalu mengira ia tercukupi.
'Lalu untuk apa menyuruhku pulang?'
'Aku juga ingin dekat dan kenal dengan istrimu, Nak ...'
Hati Abra seketika luluh membaca pesan teks dari Liliana. Lihat saja, dipanggil 'Nak' saja Abra sudah sangat bahagia.
***
Keesokan paginya saat Gadis bangun ia tak mendapati Abra di kamar. Ketika ia menengok keluar pun hanya ada pengawal Abra di sana. Karena penasaran ia pun bertanya di mana Abra.
"Bukankah tuan muda tidur dengan nona?" tanya pengawal itu balik. Alis Gadis saling bertautan karena heran, pasalnya ia benar-benar tak mendapati Abra di dalam kamar.
Apa di kamar mandi?
Gadis segera menutup kembali pintu kamarnya dengan senyum nyengirnya dan kembali mencari Abra di dalam kamar mandi. Ia mengetuk pintu kamar mandi beberapa kali tapi tak ada sahutan, akhirnya ia memberanikan diri memutar kenop pintu kamar mandi dan membukanya. Kamar mandi yang luas dan mewah itu tak menunjukkan adanya tanda-tanda Abra di dalamnya.
Gadis semakin bingung. Di mana Abra sebenarnya? Ia menatap sekeliling kamarnya lagi, dan matanya yang sehat tanpa rabun senja itu tak mendapati Abra sama sekali.
Apa Abra punya kekuatan untuk bersembunyi?
Ah! Bodo Amat!
Palingan pengawal itu kagak tahu kalau Abra sudah keluar kamar hotel.
Gadis memilih tak peduli dengan keberadaan Abra dan memutuskan untuk mandi. Ia mencari bathrobenya tapi tak menemukannya. Lalu ia teringat bahwa ia menggantung bathrobenya di dalam lemari besar yang ada di dekat kasur. Ia pun berjalan ke lemari itu dan membukanya yang seketika membuatnya menjerit keras.
"Abra!" pekiknya heran dan tak percaya mendapati Abra berada di dalam lemari. "Lo ngapain di dalam lemari?" tanyanya. Abra seketika meloncat keluar lemari karena merasa malu pada Gadis. Ia sudah berencana akan bangun subuh tapi karena ia tidur hampir subuh makanya ia tak bisa bangun subuh.
"Gue ... " Abra bingung harus bilang apa.
"Muka lo kenapa merah?" tanya Gadis yang memerhatikan Abra baik-baik. "Sumpah Bra, lo tadi kayak mummy!" kata Gadis. "Jangan main petak umpet lagi, Bra, gak lucu." seloroh Gadis yang mendapat lirikan tajam Abra. Tapi Gadis hanya nyengir. Namun wajah Abra tetap merah padam. Iseng, Gadis meletakkan tangannya di kening Abra dan terkejut mendapati kening Abra panas. "Lo demam!" pekik Gadis cemas. Abra seketika memeriksa suhu tubuhnya sendiri dan benar kata Gadis, ia demam.
Hawa dingin kamarnya membuatnya menggigil pagi tadi hingga ia memutuskan menyembunyikan diri di dalam lemari dan tertidur si sana. Ia sudah mengira-ngira estimasi ia tidur , tapi tetap saja ia luput dari estimasinya, tak seperti biasanya. Apakah karena ia merasa pusing dan tak enak badan.
"Ayo ke dokter." ajak Gadis. "Udah gue bilangin semalam itu dingin. Lo sih ngeyel!" omel Gadis kesal seraya masuk ke kamar mandi segera dan keluar dengan baskom kecil berisi air panas dan handuk wajah. Ia kemudian meminta Abra berbaring.
"Gue gak perlu di kompres, bentar lagi juga enakan."
"Gak usah bawel. Di sini gue dokternya. Ayo berebah!" titah Gadis.
"Gue bener-bener gak papa!"
"Bawel amat sih!" seru Gadis seraya meletakkan baskom di atas nakas lalu menarik kedua kaki Abra dan menaikkannya ke atas kasur. Abra tak berkutik sama sekali dan hanya bisa menatap Gadis heran. Gadis benar-benar tak memiliki rasa canggung sama sekali padanya. Padahal mereka baru kenal. Lihat saja aksi Gadis yang merawat Abra, menumpuk bantal agar Abra merasa nyaman bersandar dan menyelimuti tubuhnya lalu mengompres keningnya. Hal itu membuat wajah Abra seketika semakin merah padam. "Demam lo tinggi banget, Bra ..." imbuh Gadis dengan wajah serius. Ia berdiri dan berjalan ke arah tasnya, menuliskan sesuatu di atas kertas lalu menyobeknya dan keluar kamar untuk menemui pengawal Abra. Kebetulan James ada di sana dan ia senang melihat James berdiri di depannya.
"Ada yang bisa saya bantu, nona?" tanya James.
"Tolong belikan obat ini di apotik dan katakan kepada petugas hotel bahwa kami minta sarapan diantar ke kamar." kata Gadis seraya menyerahkan resep itu ke James. James menerimanya dan berlalu segera tanpa pertanyaan sama sekali. Gadis kembali masuk ke kamar dan mendapati Abra menatapnya sangat intens. "James benar-benar tampan. Ia maskulin." ujar Gadis senang tapi Abra hanya menatapnya dingin.
"Lo gak beli obat mata juga?" tanya Abra.
"Mata lo sakit juga?" tanya Gadis kaget seraya berjalan ke arah Abra yang wajahnya sedikit merengut. Diperiksanya mata Abra dengan seksama. "Kayaknya baik-baik aja." ujar Gadis yang tak peduli dengan tatapan tajam Abra padanya.
"Bukan mata gue, tapi mata lo." kata Abra.
"Mata gue? Mata gue sehat, woi!"
"Perlu diperiksa ke dokter spesialis mata sehingga lo bisa bedakan mana cowok yang sebenarnya mempesona kayak gue dan jadi-jadian kayak James." ujar Abra sewot yang membuat Gadis seketika tertawa mendengarnya.
"Demam lo itu udah buat lo jadi narsis. Istirahat sana, gue mau mandi. Habis kita sarapan kalau lo masih demam, kita ke dokter." kata Gadis berlalu meninggalkan Abra menuju kamar mandi. Abra mengukuti arah ke mana Gadis pergi hingga ia hilang dibalik pintu kamar mandi.
***
Usai sarapan dan minum obat, Abra memandang Gadis yang sedang asyik nonton televisi.
"Dis ..."
"Hmmm" sahut Gadis tanpa menoleh ke arah Abra.
"Kita pulang ke rumah gue hari ini, maksud gue rumah nyokap gue." kata Abra yang seketika membuat Gadis menoleh kaget ke arahnya.
"Hari ini?" tanyanya meyakinkan. "Waduh, Bra, gue belum ada siapan dan belum latihan acting." ujar Gadis protes.
"Lo bawa diri lo aja udah bagus, Dis..."
"Ntar kalo nyokap lo tanya gimana-gimananya bagaimana?" tanya Gadis.
"Ya jawab aja apa yang pengen lo jawab. Susah amat." ujar Abra. Gadis mengerutkan kening heran. Saat Gadis ingin membantah, bel kamar mereka berbunyi dan membuat Gadis memutuskan untuk membuka pintu kamar terlebih dahulu dari pada mendebat Abra yang tak akan ada habisnya.
Saat ia membuka pintu, ia terkejut mendapati satu orang perempuan paruh baya dan satu orang perempuan muda sudah berdiri di hadapannya. Perempuan paruh baya itu menatapnya dingin.
"Mama? Naomi?" panggil Abra kaget.