Chapter 15

1034 Words
Keterkejutan di wajah Abra terlihat jelas, ia pun akhirnya bangkit dari posisinya dan berjalan cepat-cepat ke arah pintu yang mana Mamanya dan Naomi masuk saja ke dalam kamar. Jika Naomi tersenyum kecil menyapa Gadis, berbeda halnya dengan Liliana yang memilih mengacuhkan Gadis. Liliana perempuan modern yang masih menganut tradisi jawa kental. Seharusnya ia tahu siapa gadis yang akan dinikahi putra paling kayanya karena bibit bebet bobot haruslah sempurna, sesempurna anaknya. Liliana menghempaskan pantatnya dengan anggun di atas sofa empuk yang membuat pantatnya sedikit mental. Dari dulu impiannya adalah liburan dan tinggal beberapa hari di hotel mewah, dan nyatanya Abra yang mendahului mimpinya itu. Tak masalah, toh Abra anaknya, ia ikut bahagia akan hal itu tapi tidak dengn perempuan lain yang kini harus terpaksa ia anggap sebagai menantu. "Kenapa Mama gak tunggu di rumah saja?" tanya Abra dengan heran. Kedatangan Mamanya tak pernah bisa ia prediksi, termasuk sikap dan keputusannya, semuanya serba mendadak dan buru-buru. "Kau tak membalas pesan Mama." "Ya karena sudah pagi." jawab Abra kesal. Ia melirik Naomi yang menggeleng kecil ke arahnya, seolah mengatakan kalau ia tak perlu membantah Ibu Suri. "Jadi, kapan kau kenalkan istrimu secara resmi ke Mama?" tanya Lilianan angkuh. Mendengar itu Gadis mengerutkan kening heran. Meminta kenalan? Lah semalam pesta resepsi itu apa? Cipika cipiki dan senyum ramah semalam itu apa? Apa Mama Abra menderita penyakit amnesia? Mendengar ucapan Mamanya, Abra menarik napas panjang. Ia tak mengerti kenapa Mamanya meminta hal yang tak penting sama sekali seperti itu. "Gadis, kenalkan, dia ibuku." kata Abra memandang Gadis sejenak dan menatap Ibunya yang berwajah datar tanpa ekspresi sama sekali. d**a Gadis berdegup-degup sangat kencang saat mendekat lalu mengulurkan tangannya hendak salim. Perempuan anggun yang sesuai namanya itu melirik Gadis cukup lama dan membiarkan tangan perempuan itu terulur begitu saja sebelum akhirnya ia menerima uluran tangan lentik Gadis. Gadis mencium punggung tangan itu secepat kilat, dan Liliana juga menarik tangannya dengan sangat cepat dari Gadis. Kemudian Gadis memilih duduk di samping Abra, berhadapan dengan Naomi yang melemparkan senyum ramah dan bersahabatnya ke arah Gadis. Gadis merasa lega, setidaknya dari dua orang yang ada di hadapannya salah satunya terlihat menerimanya. Mata Liliana kembali menelisik Gadis dari ujung kepala sampai ujung kaki. Liliana tak bisa memungkiri kalau Gadis sangat cantik meski tanpa polesan make up dan mandi. Tapi ia mendengar bahwa keluarganya telah meninggal semua. Dan ia sebatang kara. Hal itu yang membuat Liliana berpikir bahwa Gadis hanya mengincar kekayaan sang anak. "Jadi, kau dan Abra bertemu di mana dulu?" tanya Liliana. Deg. Inilah yang Gadis takutkan, pertanyaan-pertanyaan yang tak menemukan jawabannya. Ia belum latihan dengan Abra dan itu benar-benar membuatnya sangat bingung saat ini. Ia tak tahu harus menjawab apa Liliana, hingga ia hanya bisa melirik Abra meminta bantuan. "Untuk apa Mama ingin tahu di mana aku dan Gadis bertemu?" tanya Abra sinis. "Bukankah Mama tak peduli padaku?" "Abra!" panggil Liliana dengan nada marah. Ia memadang putranya dengan tatapan dingin. Sedang Naomi kembali menggeleng ke arah Abra, mengisyaratkan agar dia tak menyulut api saat ini. Abra mendesah kesal. "London" kata Abra "Bali." kata Gadis Keduanya menjawab bersamaan dan kini saling pandang heran karena keduanya memberikan jawaban yang berbeda. Mata Abra melotot ke arah Gadis, seolah ia marah dengan apa yang baru saja Gadis katakan, sedang Gadis juga membalas tatapan Abra itu dengan sorotan kekesalan. Liliana dan Naomi menatap keduanya dengan bingung dan heran. "Kenapa jawabannya berbeda?" tanya Liliana curiga. "Aku bertemu dengan Gadis di London, Ma, di bandara usai dari Bali." kata Abra menjelaskan. Liliana nampak tak percaya dan ia menoleh ke arah Gadis, mencoba mencari tahu lewat Gadis, tapi Gadis hanya tersenyum kecil membalas tatapannya yang seperti neraka itu. Duh, kayak ujian nasional aja sih! Gerutu Gadis. Liliana bersiap akan melancarkan pertanyaan selanjutnya. "Kamu kerja di rumah sakit Depok?" tanya Liliana. "Iya, tante." "Untuk apa pergi ke London dari Bali?" tanyanya. Gadis mendelik sejenak.  Lalu mengangguk kemudian. "Kapan tanggal kalian bertemu?" lanjut Liliana bertanya. "Sepuluh." kata Abra "Lima belas."  kata Gadis. Keduanya kembali membuat jawaban berbeda yang membuat Liliana kaget bukan main dan memandang keduanya kini lebih tajam. Liliana kemudian melipat kedua tangannya di d**a, bersiap memberikan serangan lanjutan. Ia sudah kaget dengan kenyataan bahwa Abra mengajukan pernikahan dan menetapkan tanggal tanpa mendiskusikannya terlebih dahulu. "Sayang, kita bertemu tanggal sepuluh karena tanggal lima belas ..." "Stop, Abra, jangan bersandiwara lagi." kata Liliana tegas padahal Abra ingin menjelaskan sesuatu dengan mengarang cerita agar dirinya dan Gadis selamat, tapi kini ia bisa melihat keraguan yang ada di mata Liliana yang memandangnya dan Gadis secara bergantian. "Karena tanggal lima belas kamu ke Maroko menyusulku yang mengabaikanmu di London." kata Gadis tiba-tiba yang membuat Liliana, Naomi dan Abra menoleh ke arahnya. Abra merasa lega karena ia bisa melihat mata Gadis yang tak ketakutan lagi. Liliana menyadari bahwa Gadis kini telah berhasil menemukan celah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Ketika Liliana akan melontarkan serangan lagi, bel kamar hotel berbunyi dan Abra menoleh ke arah pintu. Ia berdiri dan berjalan ke arah pintu, ia berharap sesuatu di balik pintu ini akan membuat Liliana berdiri dan meninggalkan kamarnya, atau jika tidak akan membuatnya dan Gadis berdiri dan pergi dari Ibunya. Ketika pintu terbuka, ia melihat ayah tirinya berada di sana. Kedua mata mereka saling bertemu, Abra yang menatapnya tak suka sedang Hasan menatpanya dengan senyum palsu. Semenjak ia tahu Abra menjadi bos besar dari perusahaan ternama sikapnya kepada Abra berubah. Dulu ia sering meremehkan kemampuan Abra yang suka bermain investasi dan mengambil kuliah bisnis, katanya selamanya Abra akan gagal. Kini Abra menjadi bos besar dari perusahaan GoTex, perusahan textile lalu Read and FeelMe, perusahaan startup dibidang literasi dan Go Green Development, perusahaan real estate yang sedang berkembang pesat. "Mama ... Sepertinya ada yang sedang mencarimu." kata Abra, ia berharap Liliana berdiri dari kursinya, tetapi. "Masuklah, Hasan ..." kata Liliana. Hasan tersenyum senang dan masuk tanpa sungkan sama sekali sedang Abra terlihat marah dengan sikap ibunya. Sorot matanya tajam dan rahangnya mengeras. Ia menatap Ibunya dingin sedang Ibunya tak memedulikan tatapan Abra itu. Abra berjalan cepat-cepat ke arah Gadis dan menarik tangannya, membuat Gadis heran dan kaget. "Aku akan temui Mama di rumah, hari ini aku dan Gadis harus mempersiapkan diri untuk resepsi di Bali." kata Abra seraya pergi meninggalkan kamar hotelnya tanpa memedulikan teriakan Liliana yang memanggil-manggil namanya dengan geram.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD