Abra beranjak dari tempat tidurnya dan menengok Gadis yang matanya telah terpejam. Ucapan Gadis barusan itu membuatnya berpikir ulang tentang Mamanya, Liliana. Mungkin Gadis bisa membaca bahwa hubungannya dengan Liliana tak membaik maka dari itu Gadis mengatakan hal tersebut.
Abra mulai gelisah tapi ia tak bisa melakukan banyak hal selain diam dan menghindari Liliana yang selalu tampil bersalah di depannya. Abra memutuskan menutupi seluruh dirinya dengan selimut dan tertidur tak lama kemudian.
Kebetulan Gadis lupa menaruh ponsel yang ada di sakunya, hingga ketika ada pesan masuk dan bergetar, ia terbangun dari tidurnya. Pukul dua pagi ia melihat jam di ponselnya lalu membuka pesan masuk dari Maya.
'Sorry, gue ganggu lo pagi-pagi buta. Besok pagi lo dines, kan? Bisa datang lebih awal?'
'Oke.'
Gadis memutuskan untuk bangun dari tidurnya. Ia menyibakkan selimut dan melipatnya lalu meletakkannya ke dalam lemari. Ia harus berangkat lebih awal, jarak antara Bintaro ke Depok lumayan jauh, jadi ia akan putuskan berangkat dini hari. Pulang ke rumah Abra mengganti baju, lalu berangkat.
Gadis menoleh sejenak ke arah Abra yang masih terlelap. Ia keluar dari kamar, berjalan menuju dapur dan membuka isi lemari es lalu menemukan air dingin yang saat ini ia butuhkan.
Ia menuangkan air dingin itu ke dalam gelas lalu meneguknya. Setelah habis, ia mengembalikan botol air dingin itu ke dalam lemari es dan mencuci gelasnya. Baru saja ia berbalik ia terkejut karena Abra sudah berada di samping lemari es dengan matanya yang tajam.
"Lo kayak hantu!" kata Gadis seraya memegang dadanya yang terkejut karena ulah Abra tersebut.
"Masih jam dua pagi, kenapa keluar kamar?" tanya Abra seraya membuka lemari es, mengeluarkan botol air dingin dan menuangkannya ke gelas.
"Gue harus dines lebih awal besok, Bra, jadi gue putusin jam empat pagi pulang ke rumah buat beres-beres keperluan gue. Lagian gue harus mampir ke kontrakan Clara, semua barang medis gue ada di sana." kata Gadis.
"Tambah cuti gak bisa?" tanya Abra dan Gadis menggeleng.
"Semakin cepat gue kerja, semakin cepat gue lunasin hutang gue ke lo." kata Gadis. Abra memandang wajah Gadis sebelum akhirnya ia beranjak dari kursi tempatnya duduk dan mencuci gelasnya di wastafel dapur.
"Kita pulang sekarang?"
"Gue bisa pulang sendiri, James bisa anterin gue pulang, Bra."
"No."
"Tapi Mama bakalan nyari lo besok pagi."
"Gue bukan anak lima tahun lagi, Dis."
"Bagaimanapun rasa-rasanya tak sopan jika pulang tanpa permisi."
"Kita bisa tinggalkan memo."
"Jam berapa biasanya keluargamu bangun?"
"Entahlah, aku sudah lama tidak tinggal di sini, jadi aku tak tahu soal itu." kata Abra malas.
"Kalau gitu kita tunggu sampai adzan subuh saja." kata Gadis bijak. Abra memandangnya sekilas lalu mengangguk setuju atas usul Gadis. Keduanya memutuskan kembali ke kamar.
Abra langsung naik ke kasur dan tak menghiraukan Gadis sama sekali yang kebingungan mencari kunci lemari tempat ia menaruh dan menyimpan selimutnya.
"Sini, kemarilah ..." kata Abra seraya menepuk-nepuk sisi kasur yang kosong di sebelahnya. Gadis hanya menoleh dan tak minat sama sekali dengan tawaran Abra.
"Aku lupa taruh kunci lemari di mana." kata Gadis sembari masih terus mencari kunci lemari.
"Sudah jam setengah tiga, lo akan habiskan satu setengah jam lagi buat nyari kunci?" tanya Abra. Gadis memandangnya sejenak lalu berpikir sedikit kemudian ia berjalan ke arah kasur dan naik ke sisi sebelah Abra. Abra tersenyum melihatnya.
"Jangan macem-macem!" kata Gadis seraya meletakkan guling di tengah-tengah di antara mereka. Abra memilih merebahkan dirinya di atas dua tumpukan bantal yang empuk. Gadis menoleh ke Abra yang kini matanya sudah tertutup.
"Bagaimana hubunganmu dengan Clara di rumah sakit?" tanya Abra tiba-tiba.
"Biasa aja. Hubungan rekan kerja." jawab Gadis malas sembari menguap. Abra melirik sekilas dan membayangkan wajah Clara lah yang seharusnya ada di sebelahnya bukan Gadis.
"Ini semua seperti mimpi saja ..." kata Abra tapi Gadis sudah benar-benar jatuh tertidur, Abra hanya tak menyadarinya sama sekali. Abra terus bercerita seorang diri sedangkan Gadis sudah terlelap dalam tidurnya dengan mulut yang terbuka lebar dan wajah polos yang tanpa dibuat-buat. Abra masih bercerita soal dirinya dan Clara terus menerus hingga akhirnya suara dengkuran halus Gadis terdengar dan Abra menoleh kaget ke arahnya. Abra tertawa mendapati Gadis yang jatuh tertidur di tengah-tengah dirinya yang bicara tidak ada jedanya sama sekali.
Dipandanginya wajah Gadis baik-baik yang tertidur itu. Perlahan, Abra mendekatkan dirinya ke wajah Gadis dan berakhir di atas guling. Ia perhatikan Gadis baik-baik dari jarak yang cukup dekat dan masih tak menyangka bahwa ia menikahi perempuan asing kini. Perempuan asing yang membuat hidupnya sedikit kocak. Perempuan asing yang tiba-tiba datang lalu dengan segera ia nikahi. Lucu sekali ya Tuhan.
Perlahan, Abra juga terlelap di samping Gadis di atas guling pembatas mereka. Mungkin mereka benar-benar kelelahan, karena saat adzan subuh berkumandang mereka hanya mengulet ke sana ke mari dengan mata terpejam dan kembali jatuh tertidur.
***
Liliana telah sangat rapi, ia sudah berdiri di depan kamar Abra sejak lima menit lalu. Berulang kali niatnya ingin mengetuk pintu itu, urung ia layangkan. Ia juga pernah muda dan rasa-rasanya bangun siang bukanlah perkara serius. Akhirnya Liliana memutuskan untuk pergi dari kamar Abra dan menuju meja makan di mana Naomi, Emily, John dan Claire menunggunya.
Siluet matahari pagi perlahan memasuki kamar Abra dan menerpa secara halus dan hangat wajah Gadis yang terlelap. Kepala Gadis bergerak-gerak karena cahaya hangat itu sangat pas di udara dingin yang menemaninya tidur.
Kepala Gadis bergerak-gerak, mencoba mencari tempat agak teduh agar matahari itu tak mengusik tidurnya, tapi sepertinya tak ada ruang dan kenapa rasa-rasanya bantal yang semula mulus empuk kini terasa keras dan kasar?
Kenapa ia merasa ada bulu-bulu halus di kening dan pipinya?
Kenapa ada bantal dengan bulu halus seperti ini?
Gadis terus berusaha menggerakkan kepalanya dan ia mendapati bahwa rasa-rasanya tempat kepalanya bersandar ini bukanlah bantal?
Lalu apa?
Perlahan, ia ingat bahwa Abra memintanya untuk tidur di sampingnya, Abra menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya dan ia pun menurut untuk naik ke kasur. Tapi ia sudah memberi guling diantara mereka, jarak agar keduanya tak bisa bersama karena ada guling di tengah.
Tangan Gadis mencoba meraba guling tapi yang tangannya temukan adalah guling empuk yang berubah menjadi keras. Abra yang tertidur itu tersenyum geli kala tangan Gadis meraba dirinya dari perut ke d**a.
Kok rata? Kok keras?
Tak sabar dengan apa yang dirasakannya, Gadis membuka kedua matanya bebarengan dengan mata Abra yang terbuka karena tak tahan dengan tangan Gadis yang menggerayangi tubuhnya.
"Arrggg!!!" keduanya menjerit bebarengan dan meloncat dari tempat tidur bersama-sama.