Mereka berjalan menuju ruang makan. Gadis duduk di hadapan Emily yang memandangnya dengan tatapan yang sangat benci tapi Gadis memilih tak peduli dengan tatapan Emily.
Abra mengambil piring Gadis dan menyendokkan nasi serta beberapa lauk pauk yang tersedia di meja. Hal itu membuat Liliana dan Naomi menatap takjub, tak pernah sekalipun Abra bersikap manis seperti itu.
"Jadi, apa tujuan lo nikahin kakak gue?" tanya Emily tak suka.
"Lo tanya aja ke kakak lo, apa tujuannya meminta gue buat nikahin dia." balas Gadis.
Dahi Emily berkerut tak mengerti dan bingung, ia tahu Gadis perempuan tangguh, tak goyah, tapi di sini, di rumah miliknya seharusnya Gadis jaga sikap, kan? Apalagi di depan Mamanya? Kenapa rasa-rasanya Gadis tak takut atau punya perasaan sungkan ke Liliana?
"Lo itu ya ..."
"Em!" Liliana menggeleng.
"Jadi Dis, kenapa kamu tidak memperkenalkan diri lebih dulu ke kita sebelum memutuskan menikah?" tanya Liliana. Abra memandang sebal ke Liliana. Selalu saja soal perkenalan yang menjadi akar masalahnya. Abra ingat bahwa ia sudah didatangi beberapa wanita pilihanan Liliana yang mengaku siap menikah. Tentu saja wanita-wanita pilihan Liliana itu adalah para wanita keturunan orang kaya dan jelas asal usulnya.
"Saya tidak tahu apa tujuan mas Abra, Ma. Semuanya juga serba mendadak untuk saya." kata Gadis berani.
"Tapi kalian pacaran, kan?" kejar Liliana
"Nggak." jawab Gadis jujur. Abra menoleh ke arahnya dengan ekspresi terkejut. "Aku tak suka pacaran, mungkin itu akhirnya yang buat mas Abra memutuskan menikahiku." kata Gadis.
"Lalu siapa Clara yang jadi bahan keributan di nikahan kalian?" tanya Naomi.
"Mantan kakakmu yang dijanjikan dinikahinya mungkin." kata Gadis acuh seraya memasukkan satu sendok makanannya ke dalam mulutnya.
"Bener apa yang dibilang Gadis, Bra?" tanya Liliana.
"Mungkin. Tapi soal Clara memang aku berniat menikahinya jika saja ia tak selingkuh dengan Matthew." kata Abra. Emily memandang wajah Abra dengan penuh pengertian. Ia tahu bahwa kakak tirinya itu sudah berkali-kali dikhianati, jadi rasa-rasanya ia prihatin ke Abra.
"Wahhh, selamat malam!" kata seseorang tiba-tiba. Semua mata menoleh ke arah di mana suara berasal. John dan istrinya berjalan menuju meja makan dan duduk segera untuk bergabung makan malam. Mata Claire bertemu Abra saat ia sedang menyendok nasi di piring John. Mata Claire yang indah dan terkesan kalau ia menyesal karena dulu mengkhianati Abra dan Gadis juga bisa melihat tatapan Claire yang sangat dalam itu kepada Abra adalah tatapan seorang perempuan ke lelaki pujaannya.
Johnatan menyerbu makan malamnya dengan segera membuat semua orang yang di sekitarnya meletakkan sendok dan kehilangan napsu makan karena sikap rakus Johnatan. Abra tak tahan dengan sikap John dan memutuskan untuk berdiri dari meja makan.
"Ma, aku sudah selesai makan." kata Abra seraya menarik tangan Gadis yang masih duduk di meja makan.
"Gue bahkan belum ngobrol-ngobrol sama kakak ipar. Mau ke mana sih?" tanya John dengan mulut penuh. "Eh, Bra! Claire hamil! Gue bakalan jadi ayah dan lo jadi paman!" seru John senang. Mata Abra beralih ke arah Claire yang memandangnya dengan kebingungan yang tercetak jelas di wajahnya.
"Selamat." kata Abra seraya menarik tangan Gadis menjauh dari keluarganya. Liliana berdiri.
"Abra!" panggil Liliana sedikit berteriak. Abra dan Gadis berhenti melangkah dan menoleh ke arah Liliana yang berjalan ke arah mereka dengan gayanya yang angkuh. "Kalian tidur di sini saja malam ini." kata Liliana.
"Nggak usah, Ma ..."
"Ayo Dis, Mama tunjukkan kamar Abra dulu." seolah tak peduli dengan penolakan Abra, Liliana memilih menarik Gadis ke arah kamar Abra dulu. Abra menghela napas berat. Ia benar-benar tak suka dengan sikap Mamanya yang serba mendadak dan sekenanya ini.
Gadis dari jauh hanya mengangguk ke arah Abra, seolah ia menerima semua ini dengan lapang d**a. Mau tak mau, Abra akhirnya mengikuti ke arah mana Liliana menggiring Gadis.
Sebuah kamar yang terletak di samping kamar tamu dibuka oleh Liliana. Kamar mewah berukuran sangat besar itu berwarna nude. Ada banyak koleksi miniatur robot kecil di meja yang ada di sudut ruangan. Aroma kamar itu beraroma kopi yang menenangkan jiwa.
"Ini kamar Abra, meski ia sudah tinggal sendiri aku selalu membersihkannya setiap hari." kata Liliana bangga seraya memandang kamar Abra yang masih sangat rapi itu.
Saat Liliana mengirim Abra ke luar negeri, sejujurnya ia merasa sangat berat hati. Tapi ia tak punya pilihan lain selain menuruti kata Hasan. Hatinya juga hancur saat melihat Abra menatapnya pilu di Bandara. Ia telah membuang anaknya yang dulu kehadirannya sangat ia dambakan. Demi menebus rasa bersalahnya, Liliana membersihkan kamar Abra seorang diri. Tak membiarkan siapapun masuk ke kamarnya selain dirinya, dan tak membiarkan siapapun menggunakan kamar Abra meski ada tamu.
Abra terkesima dengan kamar yang Liliana rawat. Ia berjalan memasuki kamarnya dan menyusuri kamarnya dengan mata biru indahnya.
"Mama tinggal kalian berdua, ya, malam ini kalian tidur di sini saja." kata Liliana. Abra dan Gadis menoleh ke arahnya yang kini tersenyum senang seraya berbalik dan melangkah keluar menutup pintu kamar Abra.
"Bra, katanya kita gak nginep?" tanya Gadis.
"Lo sendiri yang mau digeret ke sini." kata Abra.
"Trus kita tidur sekamar?" tanya Gadis. Abra memandangnya.
"Gue di kasur lo di sofa." kata Abra seraya menarik selimut cadangan di dalam lemari dan memberikannya ke Gadis. Gadis hanya menerima selimut tebal itu dengan melongo dan kesal seraya berjalan menuju sofa yang ada di hadapan kasur.
Abra telah melemparkan dirinya ke atas kasur dan memandangi langit-langit kamarnya. Di langit-langit kamarnya ia menemukan wajah teduh neneknya yang ia rindukan. Sedang Gadis memeluk dirinya dalam balutan selimut hangat seraya memikirkan bagaimana ia bisa menjalani kehidupannya sebagai nyonya Abra selama enam bulan ke depan.
"Bra ..."
"Hmmm ..."
"Jangan jatuh cinta ke gue, ya."
"Eh?? Maksud lo?"
"Ya sapa tahu ntar lo jatuh cinta ke gue pas kita udahan." kata Gadis.
"Gak bakalan. Tenang aja."
"Syukurlah."
"Lo itu aneh-aneh aja, Dis ..."
"Gue cuma bilang jangan jatuh cinta ke gue kok dibilang aneh."
"Ya gue udah bilang, gue gak minat sama lo."
"Tapi gue ..."
"Lo kenapa?"
"Gak yakin dengan sandiwara ini."
"Hanya enam bulan."
"Iya, hanya enam bulan."
"Kalau lo yang jatuh cinta ke gue gimana?"
"Ya mau gimana lagi. Ya udah ..."
"Ya udah gimana maksudnya?"
"Ya gue bertepuk sebelah tangan, kan lo gak cinta sama gue."
"Ha ha ha, lo bisa aja, Dis ..."
"Kata orang yang paling sakit itu adalah perpisahan, Bra, dan gue udah ngerasainnya. Jangan sampai lo ngerasain kayak gue. Beruntung lo masih punya nyokap."