"Mak-sud mas?" tanya Dhira gugup.
"Mas akan melamar kamu secara resmi di hadapan kedua orang tua dan keluarga kamu," jawab Tama.
Dunia seolah terhenti dengan segala aktifitasnya membuat Dhira mematung bibirnya tampak kelu, tak tahu harus berkata apa. Ada rasa bahagia terselip karena pada akhirnya usaha Dhira untuk menggagal kan misi sang mama akan berakhir, tapi satu sisi Dhira juga merasa aneh, bagaimana bisa ia menikah dengan orang yang baru beberapa hari ia kenali.
Sungguh tak masuk akal, bahkan Dhira sendiri merasa heran pada dirinya sendiri, kenapa ia tak pernah menolak sentuhan yang di berikan Tama sementara ia sendiri pun tak sangat membenci sikap pemaksanya.
'Apa aku mulai jatuh cinta padanya?' Dhira membatin.
'Ah tidak tidak, mana mungkin aku jatuh cinta sama pria pemaksa seperti dia. Taa..pi.. Aku bisa menerima tawarannya agar mama nggak jadi jodohin aku. mweheehee...' Batin Dhira terkekeh.
"Bagaimana?" Suara Tama membuyarkan lamunan Dhira.
"Kasih aku waktu," sahut Dhira menundukkan pandangannya.
"Suka nggak suka kamu harus mau. Kamu ingat, penawaran pertama telah kamu terima. Artinya kamu tetap mengikuti semua mau ku, jika tidak kamu tanggung sendiri akibat nya, bahkan aku bisa menghancurkan perusahaan mini itu dengan mata terpejam." Dengan angkuhnya Tama mengeluarkan kalimat penuh ancaman dengan sorot mata tajam.
Dhira kembali terperangah dengan sikap Tama yang tiba tiba berubah 180 derajat dalam waktu sekian menit. Membuat Dhira bergedik ngeri mendengar ucapannya yang mampu meruntuhkan pertahannya.
"Hubungi sekretaris mu dan katakan padanya untuk membatalkan meeting hari ini," titah Tama sesuka hatinya.
Dhira berdecak kesal menatap pemilik suara dengan sinis. Kini Dhira tak ada pilihan lain selain menuruti perkataan Tama, dengan terpaksa ia menghubungi mbak Dina dan mengatakan padanya untuk membatalkan meeting yang telah di buat dengan berbagai alasan.
"Aku akan melakukan semua kemauan mas, tapi dengan syarat yang harus mas penuhi." Dhira mengatakan dengan penuh keyakinan.
Tama mengarahkan pandangannya pada Dhira. Tampak jelas tatapan dingin seolah menembus mata hati perempuan yang tengah mengajukan permintaan.
"Sebutkan," jawabnya datar.
Dhira menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan sebelum mengatakan persyaratan yang ia inginkan.
"Pertama, aku nggak mau ada kekerasan fisik setelah kita menikah dan aku di izinkan untuk tetap bekerja. Kedua, aku mau pernikahan kita sah di mata hukum dan agama dan mendapat restu dari kedua orang tua kita." Dengan lantang Dhira memberanikan diri mengajukan keinginannya pada Tama.
"Terakhir, aku mau mas Tama nggak memutus kerja sama yang telah kita buat dalam lima tahun ke depan, dan kalau mas memutuskan kerja sama perusahaan kita mas harus mengganti rugi sebanyak 250 juta." Dhira membuang nafas kasar saat pandangan tajam Tama menyoroti kedua matanya.
Tama hanya tersenyum sinis menatap iris kecoklatan milik Dhira yang juga menatap matanya.
"Apa hanya hal sepele itu saja?" tanya Tama datar.
'Apaa? Hanya hal sepele katanya? padahal aku mengatakan permintaan ini saja dengan rasa kekhawatiran yang luar biasa, tapi dia mengganggap ini hal sepele. Ck, aku mulai kesal dengan pria di hadapan ku ini yang selalu menganggap semua nya mudah.' Dhira membatin.
"Eemm..." Dhira mengangguk cepat dan membuang pandangan nya dari Tama.
"Oke. Enggak masalah, nanti akan ku urus hitam di atas putihnya. Dan ingat, mulai saat ini kamu adalah milikku," sahut Tama ringan.
'Dasar licik, tapi enggak masalah yang terpenting perusahaan ku akan berada di posisi yang aman. Masalah pernikahan biar ku atur, setelah enam bulan pernikahan akan aku urus surat perceraian dan segera mendepak jauh pria pemaksa ini dari kehidupanku. Hahahaha... Kau akan kalah dari ku.' Batin Dhira.
Tama melajukan mobilnya dengan kecepatan normal, membelah jalanan ibu kota yang tak begitu padat, mengarahkan mobil nya ke salah satu lokasi perumahan elite yang ada di kota jakarta.
Mobil yang di kendarai Tama berhenti tepat di depan rumah mewah dengan design yang modern yang di d******i oleh kaca, memasuki pagar yang di buka dengan tombol otomatis. Di sambut dengan penjaga rumah yang sedikit membungkukkan badannya saat mengetahui mobil yang di kendarai Tama masuk ke dalam pekarangan rumah mewah itu.
Melewati taman mini yang tampak indah dengan bunga bunga segar, bonsai yang di bentuk membulat dan persegi di tanam langsung ke tanah melingkar membentuk pagar pendek. Tampak bunga anggrek dan bunga yang lain dengan keindahan tersendiri di tempat itu, sebelum akhirnya mobil yang di kendarai Tama berhenti tepat di garasi besar yang ada di samping rumah itu.
Tama menatap Dhira yang masih merasa bingung dengan keberadaan mereka saat ini.
"Apa kamu mau diam di sini terus?" Tama menyadarkan kekaguman Dhira pada rumah mewah yang ada di depan matanya.
"Kita mau ngapain kesini mas? Ini rumah siapa?" tanya Dhira dengan mata yang masih melihat sekeliling bangunan megah yang ada di hadapannya.
Tama tak menjawab pertanyaan Dhira, tubuhnya mendekat dengan wajah Dhira hanya menyisakan sedikit jarak di antara mereka berdua. Seketika jantung Dhira memompa lebih cepat dari biasanya seakan terlepas dari tempatnya, ia menahan nafas sembaru memejamkan kedua matanya saat mencium aroma maskulin tubuh Tama dari jarak yang sangat dekat.
"Kamu kenapa?" Tama melepaskan sabuk pengaman yang masih terpasang di bagian depan tubuh Dhira lalu terkekeh saat melihat wajah grogi Dhira.
Dhira sontak mendorong pelan d**a Tama hingga tubuhnya kembali tersender di kursi kemudi.
"Ayoo turun..." Tama memerintahkan Dhira.
Dhira dan Tama turun dari mobil berjalan memasuki pintu utama dari bangunan mewah tersebut. Tak lama muncul salah satu asisten rumah tangga yang membukakan pintu.
"Selamat datang tuan Muda," sapa seorang asisten rumah tangga yang mengenali sosok Tama.
"Hai bik Sum, mama ada di rumah bik? " Tanya Tama.
'Haa? Mama? jadi ini rumah orang tua mas Tama? Astaga... Harus bagaimana aku nanti.' Dhira membatin dengan wajah yang kaget.
"Ibu ada di dalam tuan, bapak juga ada di dalam, tadi pagi baru saja tiba," sahut bik Sum.
Tama mengangguk sembari mengarahkan pandangannya ke seluruh ruangan.
"Apakah nona ini yang Tuan maksud kemarin? Sempurna, sangat serasi sama tuan muda." Bik sum tersenyum pada Dhira dan Tama.
Tama mengedipkan sebelah matanya pada bik Sum yang tampak menahan tawa dengan tangan yang menutupi mulutnya.
Sementara Dhira hanya tersenyum tipis membalas senyuman bik Sum tak mengerti dengan apa yang di maksud oleh bik Sum.
"Baik bik, saya masuk dulu," ujar Tama pada bik Sum.
Bik sum mengangguk pelan dan menutup kembali pintu yang telah di bukanya.
Tama menarik pergelangan tangan Dhira pelan tanpa memperdulikan sang pemilik yang berdecak kesal, walaupun Dhira sendiri tak menolak perlakuan Tama.