"Mas Tama? Ngapain mas di sini?" Dhira terkejut melihat sosok Tama yang tengah berdiri tepat di sebelah kursi tempat duduknya.
"Ooo... Jadi ini pria yang berhasil membuat sahabatku tersenyum senyum sendiri seperti orang gila." Suara vokal Reza membuat Dhira kembali terkejut, sontak ia melototkan mata pada Reza yang tengah tersenyum tipis padanya.
"Oh ya? Benarkah sayang?" Tama mengedarkan pandangannya pada Dhira dengan tangan yang melingkar di bahu perempuan cantik itu.
Suara teriakan kecil dari Noni dan Reza membuat Dhira tak nyaman dan merasa ingin segera keluar dari suasana yang membuat dadanya semakin sesak akibat rasa malu yang tengah menghampirinya.
"Wow... Meleleh aku tuh," ujar Noni pelan.
Dhira menepis pelan tangan Tama dan menatap sinis seolah meminta Tama untuk menyudahi sikap berpura puranya dihadapan kedua sahabatnya, Noni dan Reza.
"Boleh saya duduk?" Tama melirik Noni dan reza secara bergantian.
Noni dan Reza seketika menatap Dhira sembari menaikkan kedua alisnya ke atas, Dhira yang melihat menggelengkan kepalanya memberi isyarat pada mereka untuk tak mengizinkan Tama bergabung bersama di meja mereka bertiga.
"Tentu boleh,"jawab Noni dan Reza serentak dan menatap Dhira dengan senyuman jahil mereka.
Dhira yang mendengar ucapan itu seketika menghela nafas lesu. Entah apa lagi yang akan di lakukan Tama padanya, caranya yang tak terduga membuat Dhira seakan mati langkah.
"Jadi kita panggilnya apa ya?" Tanya Reza dengan kemayunya.
"Terserah kalian," jawab Tama santai masih menatap Dhira dengan pandangan tak terbaca.
Mereka bertiga terlihat asyik mengobrol, sikap Tama tampak sangat baik dan ramah pada mereka bahkan ia melepaskan tawanya bersamaan Noni dan Reza yang tengah menceritakan sifat jelek Dhira di hadapan Tama, berbanding terbalik saat sedang bersama Dhira, sikapnya yang dingin bagaikan lemari es tiga pintu membuat Dhira mendecak kesal.
Dhira memilih tak bersuara menikmati minuman serta camilan yang telah tersedia di atas meja sejak tadi, membiarkan mereka mentertawakannya sesuka hati sesekali ia menatap sinis pada kedua sahabatnya, Noni dan Reza.
Tak lama deringan ponsel Dhira menghentikan tawa mereka bertiga, Dhira segera berdiri untuk menjauh menerima panggilan dari mbak Dina.
"Ya mbak Dina?" Seru Dhira membuka pembicaraan di telfon.
"Maaf bu mengganggu, saya hanya ingin mengingatkan bahwa satu jam lagi meeting bersama Angel Boutique perihal peluncuran produk terbaru untuk dua bulan kedepan bu," jawab mbak Dina perlahan.
'Aah, sial! Kenapa aku bisa lupa?' Guman Dhira.
"Oke mbak trima kasih sudah mengingat kan saya," sahut Dhira pada mbak Dina.
"Baik bu, selamat siang," ucap mbak Dina sebelum ia memutus sambungan telpon.
Dhira kembali duduk bersama Noni Reza dan Tama yang masih serius mengobrol.
"Gue duluan ya, gue ada meeting satu jam lagi. Kalian bisa terusin aja ngobrolnya." Dhira mengambil tas dan memasukkan handphone di dalamnya.
"Tega banget sih lo Dhir. Baru juga ketemu sama lo dan pacar ganteng lo ini." Reza memasang wajah cemberut.
Dhira hanya menggedikkan kedua bahu lalu menyedot habis minumannya. Saat Dhira berdiri dan siap melangkah untuk keluar, dengan cepat Tama berdiri di hadapannya dengan tatapan yang dingin membuat Dhira bergedik ngeri dan menelan salivanya.
"Mas yang antar," ucap Tama datar.
"Enggak perlu repot mas, aku bawa mobil sendiri." Dhira menjawab dengan senyuman manis sembari menunjukkan kunci mobilnya dihadapan Tama.
"Mobil kamu biar supir mas yang bawa," jawabnya santai dengan senyuman sinis yang terbit di wajah nya.
"Ya udah sih. Bagusan kan kalo lo di anter doi." Celetuk Noni.
Dhira memicingkan kedua matanya di hadapan Noni yang menahan tawanya.
"Awas lo ya, sana balik kerja... Ini hari pertama lo kerja, jangan sampai lo buat kesalahan." Dhira menatap Noni degan nada penuh mengancam.
Perempuan berparas cantik itu hanya pasrah dengan perlakuan Tama yang selalu memaksakan kehendaknya. Dhira menaiki mobil porsche seri terbaru milik Tama, membuatnya berdecak kagum akan kesuksesan yang di raih Tama saat ini. Bagaimana tidak, seorang Pratama Agung Mawadi termasuk dalam deretan pengusaha muda yang sukses sejak usianya memasuki dua puluh empat tahun, melanjutkan salah satu perusahaan turun menurun dari sang ayah hingga berhasil menjadi CEO di perusahaan induk miliknya sendiri dan menjadi salah satu pemilik saham terbesar di beberapa perusahaan di dalam negeri maupun luar negeri, tapi itu menurut informasi dari mbak Dina yang Dhira terima.
"Ehem..." Deheman Tama menyadarkan Dhira dari kekaguman sekilasnya.
Dhira mengerjap kan mata beberapa kali menyadari Tama yang tengah menatapnya serius.
Tama menghidup kan mesin mobil melaju perlahan meninggalkan cafe yang masih di huni oleh kedua sahabat Dhira.
"Kamu ikut mas sekarang." Tama dengan santainya meluncurkan ucapan itu.
"Nggak bisa, aku mau meeting satu jam lagi." Dhira menjawab ketus.
"Batal kan saja meetingnya, mas yang akan bertanggung jawab jika ada masalah." Lagi Tama memaksakan kehendak nya pada Dhira.
"Tapi kan nggak- ..."
"Aku enggak suka penolakan." Ekspresi dingin terlihat jelas di wajah sang pemilik.
"Enggak bisa mas. kamu nggak bisa seenak nya ngatur aku kayak gini. Aku nggak mau di cap sebagai pimpinan yang suka membatalkan janji janji penting ku seenak nya saja." Dhira dengan nada tingginya menatap netra Tama yang tengah fokus pada kemudinya.
"Batalkan jadwalnya dan ikut dengan ku, enggak ada alasan apapun." Tama tetap dengan dinginnya tanpa menatap Dhira.
Mendengar ucapan Tama membuat Dhira semakin kesal dan tak bisa lagi menahan emosi yang sedari tadi menyelimuti perasaannya.
"Memangnya kamu siapa berhak mengatur hidup ku? Aku bukan istri kamu yang bisa di atur sesuka hatimu." Bentak Dhira dengan tatapan yang menantang pada Tama di susul dengan buliran buliran air mata yang menetes di pipinya.
Tama menghentikan laju mobil yang di kendarainya secara mendadak, menatap Dhira dingin dengan sorot mata yang bisa mematikan, alih alih takut Dhira semakin mengeraskan suaranya menyalurkan segala luapan kekesalannya.
"Kenapa diam? Jawab aku, jawab..." Teriak Dhira di sela sela isakannya. Entah kenapa emosi Dhira menjadi tak terkendali apa mungkin karena fikirannya sempat menembus masa lalunya yang menyedihkan.
Tama meraup wajah Dhira dengan tangannya, mendaratkan lumatan hangat pada bibir Dhira yang membuatnya merasakan kembali sensasi yang menggetarkan hatinya. Tama mencecapkan bibir bawah Dhira dengan gerakan lambat, semakin membuat Dhira seolah tak ingin mengakhiri sensasi nikmat hingga membuatnya seakan ketagihan, sebelum akhirnya Tama melepas kan bibirnya yang tertaut bersama Dhira.
"Aku akan menjadikanmu istri sahku," seru Tama sembari menghapus air mata Dhira dengan jemari besarnya dengan penuh kelembutan.
Dhira begitu kaget saat mendengar perkataan Tama yang akan menjadikannya istri pria dingin itu, membuat matanya membulat sempurna dengan mulut yang sedikit terbuka