Kediaman Mawadi

977 Words
"Sayang? kamu datang lebih awal?" Suara lembut seorang perempuan menghentikan langkah Dhira dan Tama. Perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik dan segar dengan balutan hijab yang menutupi kepalanya, berjalan mengarah pada Tama dan mengecupi pipi Tama secara bergantian. "Permata hatiku sehat?" Tama memandangi sepasang manik milik perempuan paruh baya yang ada di hadapannya dengan senyuman yang sangat hangat. "Mama merasa lebih sehat sekarang karna putra kesayangan mama telah membawa calon menantu buat mama," sahut wanita paruh baya yang ternyata adalah mama Tama. "Ya, aku kesini memang mau membawa calon menantu buat mama," ucap Tama menatap Dhira dan meraih pinggangnya dengan lembut membuat tubuh Dhira semakin mendekat. Dhira merasa canggung, tak meyangka Tama akan secepat ini memperkenalkan nya dengan sang mama. Perempuan berhijab itu menatap Dhira dengan senyuman kagumnya. "Nadhira Tante." Dhira spontan menyodorkan tangan kanannya dan segera menempelkan punggung tangan perempuan berhijab itu di wajahnya, reaksi yang sering ia tujukan untuk orang yang jauh lebih tua dari nya sebagai tanda penghormatan. Kamu masih seperti yang dulu, sopan santun mu pada orang yang lebih tua selalu terjaga bidadariku. Tama membatin saat melihat sikap Dhira pada mamanya. "Panggil mama, mama Leni." Tante Leni segera memeluk Dhira dengan hangat. Dhira kembali terperangah saat tubuh tante Leni memeluknya cukup lama dan menatapnya beberapa kali, Dhira melihat bendungan air mata yang terpendam di sudut sudut mata tante Leni. "Tante kenapa?" Tanya Dhira spontan saat melihat mata nya yang seolah menyimpan kesedihan. Tante Leni menggeleng pelan kemudian menyapukan tangan di wajahnya yang telah di tetesi air mata. Tama kemudian merangkul bahu tante Leni dari samping dan megecup lembut ujung kepalanya. "Jangan panggil tante, panggil mama ya sayang." Mama Leni menyampaikan keberatannya pada Dhira. "Emm... baik ma... ma...," sahut Dhira pelan seraya mengangguk. Mereka bertiga berjalan menuju sofa yang terletak di ruang keluarga untuk bersantai, tangan Dhira masih digenggam erat oleh Tama bahkan ia sesekali menciumi punggung tangan Dhira tanpa menghiraukan sang empu-nya. Dhira berusaha melepaskan tangannya dari genggaman tangan Tama, tapi apalah daya saat tangan yang besar itu semakin mempererat genggamannya. "Ooo... Ternyata kamu menepati janji mu Tama!" Suara bariton seorang pria paruh baya menghentikan langkah mereka yang telah sampai di sofa ruang keluarga. "Aku selalu menepati janji ku pa," sahut Tama dengan santai dan menjabat tangan pria yang di panggil nya dengan sebutan pa. "Pa, ini calon menantu kita perempuan yang telah berhasil meluluhkan hati yang keras seorang Pratama." Mama Leni kemudian menyentuh lembut lengan Dhira seolah memberi isyarat agar ia mendekati papa Tama. Dhira mendekati papa Tama menjabat tangan lalu menempelkan punggung tangannya di wajah nya seperti yang ia lakukan pada mama Leni sebelumnya. "Nadhira om," ujar Dhira tersenyum gugup saat berhadapan dengan papa Tama yang tengah duduk di sofa tunggal lengkap dengan kacamata yang tersangkut di batang hidungnya dan majalah yang masih berada di pangkuannya. "Kesopanan mu membuat kamu terlihat sempurna nak." Papa Darwin tampak memandang kagum pada Dhira yang masih berdiri di hadapan nya. "Dhira, panggil papa juga ya. Papa Darwin!" sambung mama Leni. Dhira mengangguk tersipu malu dihadapan kedua orang tua Tama, kegugupan nya semakin menjadi saat mama Leni menarik pelan tangan Dhira untuk duduk di sampingnya. Papa Darwin dan Tama tampak serius membicarakan tentang bisnis dan perkembangan perusahaan mereka dan sesekali mereka tertawa kecil, sungguh pemandangan yang menyejuk kan hati saat melihat papa dan anak prianya sangat akur. Sementara Dhira dan mama Leni hanya bisa tersenyum melihat keasikan mereka mengobrol. "Dhira juga seorang CEO pa." Celetuk Tama berhasil membuat senyuman di wajah Dhira berubah menjadi kecanggungan. Bagaimana tidak? pengetahuan Dhira tentang dunia bisnis masih terbilang minim mengingat baru satu tahun ini ia menggeluti dunia bisnis dan menjadi pemilik perusahaan. "Bahkan di usianya yang masih 23 tahun dia sudah bisa mempunyai perusahaan sendiri." Tambah Tama yang semakin membuat Dhira gugup. "Benarkah? Selain cantik kamu juga perempuan hebat Dhira." Papa Darwin kembali memuji Dhira. "Iya pa, tapi perusahaan Dhira baru berjalan satu tahun lebih pa belum lama, pengetahuan Dhira tentang dunia bisnis juga masih minim pa." Sahut Dhira mengatakan hal yang sejujurnya. "Lihat pa, betapa sempurnanya calon menantu kita? Enggak seperti perempuan lain yang pernah mama kenal, selalu membanggakan dirinya." Mama Leni menyentuh lembut tangan Dhira. Mendengar perkataan mama Leni, tampak rona merah di wajah Dhira muncul secara tiba tiba membuatnya menundukkan pandangan karena tersenyum malu di saat semua mata tertuju pada Dhira terlebih Tama yang menatapnya dengan senyum bahagia yang terpancar di wajahnya. "Papiii...," teriak anak kecil berusia sekitar empat tahun yang berjalan cepat menuruni anak tangga lantai dua. Dengan cepat Tama berlari menuju anak perempuan cantik dengan badan yang sedikit gempal, rambut panjang yang tampak terikat dengan poni tipis yang membuatnya semakin menggemaskan. "Anak papi yang cantik. pelan pelan dong, nanti kamu jatuh," sahut Tama dengan sigap menggendong anak perempuan itu. Dhira terperangah saat melihat anak itu memanggil Tama dengan panggilan papi dan keheranan Dhira semakin bertambah saat mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut anak cantik itu. "Apa cinderella cantik itu yang akan menjadi mami Jasmin?" Sembari mengarahkan jari telunjuk nya pada Dhira. 'Maminya? Apa dia anak mas Tama? Apa aku akan menjadi ibu tiri dari anak cantik itu? Oh tidak... Aku sungguh belum siap jika harus mempunyai anak secepat ini.' Tatapan mata Dhira segera tertuju pada mas Tama yang tersenyum melihat kegusarannya. Banyak pertanyaan yang melintas di benak Dhira. Ingin sekali rasanya Dhira bertanya langsung saat itu pada semua orang yang masih tersenyum menatap Tama dan gadis kecil cantik yang berjalan mengarah ke sofa. "Cinderella? Apakah dia cantik seperti cinderella?" tanya Tama sembari menduduk kan Jasmin di sofa tepat di sebalah Dhira. Jasmin mengangguk cepat lalu menatap Dhira dengan senyuman yang membuatnya terlihat cantik. "Bolehkan Jasmin panggilnya mami Cinderella?" tanya Jasmin sembari menyentuh kulit tangan Dhira dengan tangannya yang begitu lembut. Dhira tersenyum dan membalas sentuhan tangannya dengan mencium punggung tangan Jasmin yang sangat lembut. "Tentu," sahut Dhira. "Apa boleh aku memanggil mu dengan sebutan princess Jasmin?" Sambung Dhira sembari membelai lembut pipi Jasmin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD