Red Wine

1151 Words
Kebahagiaan bukan terletak pada ikatan sebuah hubungan, tapi pada perasaan yang saling terbuhung satu sama lain. -Moriz (Author)- ***** "Dasar childish," desis Arjuna. Dhira tampak gelisah mulai tak menentu, fikiran dan hatinya tak sejelan kacau tak karuan. Sementara Tama berusaha setenang mungkin agar mimik wajahnya tak terbaca oleh siapapun, tapi siapa yang tahu isi hatinya yang sebenarnya? Hanya Tuhan dan dia saja lah yang mengetahuinya. "Ayo bersulang," seru Heru sambil mengangkat gelasnya. Dilanjutkan dengan yang lain, terkecuali Dhira yang hanya menatap mereka. "Loh, kakak ipar enggak minum?" Elindra bertanya lembut pada Dhira. Mendapat pertanyaan seperti itu, Dhira hanya bisa melempar senyum ragu pada Elindra, sebenarnya ia sangat ingin mencaci Elindra dan Tama tapi Dhira bukan perempuan yang mudah terpancing emosi, ia bahkan akan menahan segalanya agar tak terjadi pertengkaran yang akan memalukan dirinya. Tama tampak tersenyum mengejek seraya menatap Dhira. "Sayang sekali, bagaimana bisa menemani calon suaminya menghadiri acara acara penting nantinya." Cukup santai kalimat itu keluar dari mulut seorang Tama. Semua menatap pada Tama dan Dhira bergantian, entah apa yang ada di fikiran mereka saat ini hingga suara tawa Elindra memecahkan keheningan sesaat itu. "Hahaha... mas Tama bisa aja. Ayo mi-" Elindra berhenti bicara tiba tiba saat tangan Dhira mengambil botol gelas yang telah terisi Red Wine tersebut. "Siapa bilang aku enggak bisa. Ayo bersulang." Sambil mengangkat gelas di tangannya. "Tapi Dhira, kamu kan eng-" bisik Arjuna tepat di telinga Dhira. "Tenang aja mas, aku enggak mau calon suami aku di rendahkan." Dhira sengaja mengeraskan suaranya hingga terdengar jelas oleh semua orang. Tama tetap bereaksi dingin tanpa rasa bersalah. Akhirnya mereka semua bersulang dan menikmati minuman alkohol itu sambil bercerita tentang bisnis yang sedang mereka geluti saat ini. "Pak Tama, bagaimana bisnis anda di singapura? Apa sudah aktif?" Heru bertanya setelah meneguk wine di dalam gelasnya. "Saat ini masih dalam tahap pembangunan gedung delapan puluh lima persen, kemungkinan tiga bulan kedepan sudah mulai beroperasi." Tama menjelaskan pada Heru. Dhira tampak menahan rasa mual di perutnya, wajahnya mulai memanas akibat pengaruh minuman alkohol yang ia minum dua teguk. Saat itu juga ia melihat tatapan Tama yang kembali menatapnya tajam membuatnya mau tak mau memasang wajah tenang seolah terbiasa dengan minuman alkohol ini. "Mas, jadi kan minggu depan kamu nemani aku ke paris?" Elindra menatap Tama dalam tatapan harapan yang terlihat jelas. 'Ha? Dia ikut juga ke paris? Apa apaan...' Batin Dhira meronta ronta seakan tak terima seraya menggigit bibirnya yang tampak bergetar. Tama yang mendapati tingkah Dhira yang sangat berbeda membuatnya tersenyum puas. "Tentu sayang." Spontan mata Dhira mengarah tajam pada pria yang ada di hadapannya saat ini. Otaknya seperti terbakar seketika, lebih tepatnya terbakar api cemburu yang sangat membara padahal Dhira pernah mengatakan pada dirinya sendiri dan orang lain bahwa ia tak mencintai Tama tapi kenapa tingkahnya saat ini sangat berbeda, entah lah. "Mas tolong tuangkan lagi minumannya ke gelas," pinta Dhira pada Arjuna. Arjuna ingin melarang tapi Dhira bersi keras untuk minum lagi, hingga Arjuna tak punya pilihan. Akhirnya Dhira kembali meneguk minuman memabukkan itu, membuatnya semakin berapi api hingga beberapa kali ia menggelengkan kepalanya agar tetap sadar dan menahan rasa sakit yang mulai menghinggap di kepalanya. "Dhira... Hei... Kamu mabuk Dhir, cukup minumnya." Arjuna mendekat pada Dhira dan memegang pundak Dhira untuk menopang agar ia tak terjatuh. "A-aku enggak mabuk mas." Sambil terbata menahan sakit dikepalanya. Arjuna segera merebut gelas yang hendak Dhira minum dan meletakkannya jauh dari jangkauan Dhira. "Ayo kita pulang. Mas akan mengantarmu sekarang juga." Sambil membantu Dhira berdiri dan menopangnya. "Pa, aku pulang duluan. Maaf!" Tanpa menghiraukan Elindra dan Tama. "Apa perlu papa minta sopir kamu jemput?" tanya Heru sedikit khawatir. "Enggak perlu pa, Juna bisa sendiri." Arjuna perlahan berjalan bersama Dhira. "Hati hati mas, antar sampai rumahnya kak. Jangan bawa ke hotel ya. Hahaha..." Racau Elindra yang mulai kehilangan keseimbangan. Arjuna hanya melempar tatapan mematikan pada Elindra, begitu pula Heru yang memberi isyarat agar Elindra menjaga mulutnya. Tama tampak permisi keluar sebentar untuk mengangkat handphonenya yang bergetar, tak lama mereka pun juga meninggalkan restoran mewah itu. ***** Di dalam mobil, Arjuna menyandarkan tubuh Dhira dengan hati hati, memasangkan sabuk pengaman kemudian melajukan mobil menuju apartemen Dhira. Sejak awal masuk mobil sampai saat ini perjalanan sudah menempuh waktu lebih dari dua puluh menit, Dhira tak henti hentinya meracau. "Kenapa pulang mas? Aku masih mau minum di sana..." ucap Dhira setengah sadar sambil mencoba melepaskan sabuk pengamannya. "Dhira, kamu mabuk. Jadi tolong tetap diam," sahut Arjuna lembut. "Aku enggak mabuk mas... Mas, apa kamu mencintaiku mas? Huh?" racau Dhira sambil menatap Arjuna dengan kondisi setengah sadar. "Hanya bila kamu mengizinkan, mas akan mencintaimu Dhira." Arjuna menghentikan laju mobilnya tepat di depan apartemen Dhira. "Kenapa kamu enggak mencium bibir ku mas? Ayo cium aku mas... Aku menunggunya... Hahaha..." Dhira semakin meracau bahkan jemarinya mulai bermain di wajah Arjuna. "Kamu mabuk Dhira, kita sudah sampai. Mas akan mengantarkan mu ke dalam." Arjuna melepas kan tangan Dhira dari wajahnya dan menyandarkan Dhira kembali ke posisi semula lalu melepaskan sabuk pengamannya. Dengan cepat tangan Dhira menarik lengan Arjuna. "Apa aku terlihat menjijikkan di mata mu mas? Hingga kamu tidak tertarik padaku? Huh?" Dhira kembali meracau, hanya ada wajah Tama di fikirannya saat ini, hingga membuatnya terlihat sangat kacau. Melihat Dhira dengan jarak dekat seperti ini, membuat jiwa keperkasaan Arjuna membara, di tatapnya dalam dalam wajah perempuan cantik yang akan menjadi calon istrinya saat ini, membuatnya tak bisa menahan hasrat ingin melumat bibir sexi Dhira. Perlahan Arjuna membelai lembut wajah Dhira, tiba tiba... Huek... Kotoran dari dalam perut Dhira menyembur tepat di d**a Arjuna. Membuatnya mendorong pelan tubuh Dhira ke kursi mobil. 'Ah, sial. Perempuan ini membuatku buruk sekali,' guman Arjuna. Arjuna mengambil beberapa lembar tisu dan segera turun dari dalam mobil untuk membersihkan pakaiannya yang telah di penuhi bekas muntah Nadhira. "Aihh... Bau sekali." Sambil menahan nafasnya. "Ada apa? Ada yang bisa ku bantu?" Suara pria dari belakang mobil Arjuna membuat nya terkejut. "Aa.. Tidak perlu, hanya masalah sedikit. Kau kenapa bisa di sini Tama?" tanya Arjuna sembari membersihkan pakaiannya. "Kebetulan apartemenku di sini. Kau?" Tama menaikkan kedua alisnya menatap Arjuna. "Ah iya, aku mengantarkan Dhira. Kau bilang apartemen mu di sini?" Arjuna memastikan dan mendapat anggukan dari Tama. "Bisakah aku minta tolong padamu, kau antarkan Dhira ke dalam, pakaianku sangat kotor aku takut dia akan kembali muntah mencium aroma di pakaianku ini," pinta Arjuna dengan wajah memohon. Tanpa ragu Tama menjawab, "Baiklah. Aku akan mengantarkannya." Sambil berjalan membuka pintu penumpang tempat Dhira berada. "Terima kasih Tama." Arjuna kemudian melajukan mobilnya setelah memastikan Dhira telah aman bersama Tama. Tubuh Dhira kini telah di papah oleh Tama hingga menuju lift. Saat di dalam lift, Tama akhirnya memeluk tubuh Dhira dengan sangat kuat karena Dhira beberapa kali ingin melepaskan dirinya dan meracau hingga memukuli Tama. "Lepasin... Aku masih mau minum disana. Dasar pria tak punya hati." Terus itu yang di katakan Dhira. Hingga membuat Tama mau tak mau mengangkat tubuhnya hingga tiba dilantai tempat apartemennya berada. "Merepotkan," ucap Tama pelan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD