Senang Lalu Sedih

1139 Words
Dua hari sejak pertemuannya dengan Vero, Dhira masih tampak kacau, bingung dengan perasaannya sendiri bahkan ia mengatakan pada Vero bahwa ia telah memiliki calon suami. "Calon suami? Memangnya apa yang aku pikirkan?" Dhira bermonolog sendiri saat menatap pantulan dirinya dalam kaca meja rias. Hari ini Dhira sengaja datang ke kantor lebih siang, ia telah mengandalkan mbak Dina untuk menghandle segala pekerjaannya selama dia tak bekerja. Jemarinya dengan lihai menyapukan make up tipis di wajah nya membuat penampilannya terlihat begitu sempurna. "Apa aku benar memilih mas Tama untuk menjadi suami ku?" Berfikir keras tentang segala perilaku Tama pada dirinya. "Meskipun begitu, aku merasakan kenyamanan saat berada di dekatnya walau hawa dingin es selalu membuatku sedikit beku." Menggembungkan pipinya lali menghela nafas kasar. "Oke... selasaaii..." Meletakkan kuas blush on di dalam keranjang khusus make up. "Ternyata aku cantik juga ya." Sambil setengah memutar kekiri dan kekanan dengan senyum yang melebar. "Pantas saja kulkas tiga pintu itu menggilai ku... hahaha... pede-nya aku." Tertawa geli meihat sikapnya sendiri di depan kaca. Melihat ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Sudah jam 11. Lets go." Sambil mengambil tas dan kunci mobil yang terletak di atas nakas. Dhira bergegas keluar kamar dan menuju lift. Ting... Pintu lift terbuka. Dhira mematung beberapa saat matanya tertuju pada seseorang yang berada di dalam lift. 'Ya tuhan, kenapa makhluk ini sungguh nyaris sempurna.' Dhira membatin dengan wajah terpesona. "Sampai kapan terus menikmati pesona tampan ku?" Ucapan itu mampu membuat Dhira tersipu malu karena telah tertangkap basah oleh sang pemilik ketampanan itu. "Aa..aa." Mendadak kaku tak bisa berkata apa pun. Pintu lift baru akan tertutup, dengan cepat tangan Dhira di tarik ke dalam lift membuat tubuhnya memeluk pria itu secara reflek karena hampir terjatuh. Mata Dhira terpejam menghirup aroma maskulin dari tubuh pria itu, hingga kepalanya menyandar di d**a bidang sang pemilik. "Kenapa? Kamu menyukainya?" Hawa dingin mulai menyelimuti ruangan lift. "Ee..enggak." Menggeleng cepat sambil menggigit bibir. 'Bodoh, kenapa aku bisa seperti ini, dasar kau bodoh Dhira.' Dhira mengumpati dirinya dalam hati. "Kita akan menikah dalam waktu dekat dan kamu bisa lebih puas menciumi aroma tubuhku." Dengan santainya ucapan itu meluncur bebas dari mulut Tama. Dhira tak berani menjawab langsung, ia masih menggigit bibir bawahnya kebiasaan yang di lakukan oleh Dhira jika ia merasa dalam situasi teramat gugup. 'Kenapa ini? Kenapa aku tidak bisa menolak perkataan nya. Sial, lagi lagi seperti ini,' guman Dhira. "Kenapa bibir mu seperti itu?" Tama mengerjitkan kedua alisnya. Lagi lagi Dhira menggeleng masih dengan bibirnya yang di gigit lalu mencoba mundur dari hadapan Tama. Baru satu langkah kaki nya mundur pinggang Dhira ditarik oleh Tama hingga tubuh mereka tak menyisakan jarak. Cup... Tama melumat bibir Dhira dengan lembut dan mesra membuat keduanya terhanyut dalam sensasi rasa ini. Tama menarik tengkuk Dhira semakin memperdalam lumatan nya tanpa sadar kini kedua tangan Dhira ikut melingkar di leher Tama, cukup lama itu terjadi jika saja pintu lift tidak berbunyi menandakan mereka telah tiba di lantai dasar mungkin keduanya belum melepaskan tautan bibir mereka. "Mau aku antar?" Tama masih mengeratkan tangannya di pinggang Dhira. Dhira menggeleng pelan "Enggak usah mas, aku bawa mobil sendiri." Masih tertunduk menutupi rona merah muda di wajahnya. "Kamu yakin?" Tama menyentuh dagu Dhira dengan lembut membuat pandangannya kembali terangkat. Dhira mengangguk pelan dengan sorot mata tak lepas dari kedua mata Tama. "Baiklah, kalau begitu aku mau kembali ke dalam." Kemudian mengecup kening Dhira dan kembali memasuki lift sambil melambaikan tangan nya pada Dhira. Deg Deg Deg Irama jantung Dhira kini tak menentu, mendapatkan perlakuan manis dari Tama. 'Apa ini? kenapa jantung ku selalu ingin lepas jika berada di dekatnya. Sebaiknya aku memeriksakan jantung ku ke dokter spesialis. Heeeuuhh...' Dhira membatin seraya menghela nafas dalam. Dhira kemudian menaiki mobilnya menuju kantor, melaju dengan kecepatan normal menembus jalanan ibu kota yang kini di bahasi oleh air hujan di temani suara lagu dari dalam mobil yang di sengaja di putar olehnya. "Uwwaaw.. lagu ini kayak nya cocok nih." Sambil tersenyum sendiri sebelum ikut menyanyikan lagu tersebut. Sambil Bernyanyi... Ku rasa ku sedang jatuh cinta... Karna rasa nya ini berbeda... Oh apakah ini memang cinta... Selalu berbeda saat menatapnya... "Apa benar aku jatuh cinta?" Dhira tersenyum sendiri selama perjalanan, hari ini ia merasa segar kembali dan sepertinya penyebabnya siapa lagi kalau bukan Tama. Tak lama mobil Dhira telah terparkir di tempat khusus lalu ia masuk kedalam kantornya. "Selamat pagi bu. Ceria sekali hari ini bu..." sapa pak Sarmin, security seraya tersenyum ramah pada Dhira. "Terima kasih, bapak bisa saja." Dhira membalas senyuman pada pak Sarmin. Saat hendak melangkah kan kakinya meninggalkan pak Sarmin tiba tiba langkah Dhira terhenti. "Dhira..." Melempar senyuman pada Dhira. Dhira menoleh ke asal suara yang memanggilnya, sedikit memaksakan senyum di wajahnya. "Eh mas Arjuna." Berjalan mendekati Arjuna. "Ada apa mas? Kenapa ada di sini?" Dhira terlihat sedikit bingung. "Iya, jadi mas kesini mau ngajak kamu pergi nanti setelah pulang kerja sekalian mas mau kenalin kamu sama adik mas." Arjuna langsung mengatakan tujuannya menemui Dhira. Dhira tampak berfikir sebelum menjawab, sebenarnya dia ingin menolak ajakan Arjuna tapi ia teringat pada sang mama. "Eem... Iya deh, ketemuan dimana nanti?" jawab Dhira asal. "Nanti mas saja yang jemput kamu jam 7 di apartemen." Arjuna menatap penuh harap. "Oke." Dhira mengangguk tanda setuju. Arjuna pun meninggalkan kantor itu dan Dhira segera naik ke ruang kerjanya karena telah banyak pekerjaan yang menunggunya. "Selamat pagi bu," sapa mbak Dina melempar senyum. "Pagi juga mbak Dina," jawab Dhira sumringah. "Seneng banget bu kelihatannya." Mbak Dina tersenyum tipis melihat mood sang bos yang benar benar baik hari ini. Dhira tak menggubris pertanyaan mbak Dina ia hanya tersenyum dan segera menyelesaikan tumpukan berkas yang telah menanti tanda tangannya. Dhira menghabiskan waktu di dalam ruang kerja nya hingga tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 17.10 wib, ia segera bergegas untuk pulang ke apartemen mengingat ada janji yang harus di tepatinya. ***** Setiba nya di apartemen, Dhira turun dari mobilnya dan menaiki lift, tapi telunjuknya salah menekan tombol angka yang ada di dinding lift tersebut dan membuatnya terhenti tepat satu lantai dari tempatnya berada. Saat pintu lift terbuka. Dhira berjalan perlahan tanpa sadar ia mendengar suara isak tangis seorang perempuan. Matanya menangkap asal suara tersebut, langkah kakinya terhenti bersamaan dengan tubuhnya yang membatu, bibir terasa sangat kelu dengan genangan air mata yang siap melimpah dari pelupuk mata indahnya. "Hiks hiks hiks... Aku takut terjadi sesuatu, pasti mereka telah mengetahui ini." Suara isak tangis seorang perempuan terdengar jelas. "Tenanglah, ada aku disini. Aku enggak akan meninggalkan mu." Sambil mengelus lembut rambut perempuan yang menangis di pelukannya. "Kamu menyayangiku?" tanya perempuan itu dalam isakannya. "Jelas aku menyayangi mu..." Air mata yang tertahan sejak tadi kini dengan deras mengalir di wajah indah Dhira. Kecewa, amarah semua bercampuk aduk nenjadi satu. Dengan sekuat tenanga Dhira berjalan cepat masuk kedalam lift dan kembali ke kamarnya. 'Tega kamu mas... tega kamu,' teriak Dhira dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD