10. Kebohongan dan Kebenaran

1712 Words
Scarlet kembali mendongakkan kepalanya menatap ke arah Ivan. “Mengapa tiba-tiba kau menanyakan hal ini?” Scarlet menegakkan punggungnya dan melepaskan dekapan tangannya. “Mengapa kau tiba-tiba peduli dengan ceritaku?” Ivan tidak menjawab. Ia meraih tablet yang masih diletakkannya diatas meja dan berdiri. “Aku akan kembali secepatnya. Istirahatlah.” “M-mau kemana kau?” Scarlet bertanya cepat. Sekesalnya ia dengan pria itu, Ivan adalah satu-satunya perlindungan yang dimilikinya. Setidaknya hingga ia tahu Moxley berhenti mengejarnya, ia membutuhkan Ivan. “Jangan khawatir. Tidak akan ada yang menemukanmu di sini. Kau aman setidaknya untuk sementara waktu.” “Tidak.” Scarlet menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Biarkan aku ikut.” Wanita itu mulai merangkak turun dari ranjang. Ivan menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Scarlet. “Scarlet. Stop.” Wanita itu berhenti. Berdiri di tepian ranjang dengan tangan meremas lengannya sendiri. “Aku akan segera kembali.” Ivan melanjutkan sambil membalikkan badan. “Istirahatlah.” Dan tanpa menoleh, menghilang ke balik pintu, meninggalkan Scarlet seorang diri. *** *** Ivan masuk ke dalam truk dan mulai mengendarainya keluar dari kegelapan hutan. Ia tidak menyalakan sorot lampu kendaraannya hingga sampai di jalanan beraspal. Baru lima menit pria itu mengendarai truknya dalam kesunyian, ia menyadari sesuatu. Bahwa sejak suara Scarlet memenuhi pendengarannya, ia sama sekali tidak sempat memikirkan tentang kondisinya. Entah itu sesuatu yang bagus atau tidak, setidaknya untuk sesaat ia melupakan masalahnya. Diakuinya, Scarlet tidaklah seperti yang dikiranya. Ia adalah wanita yang cukup pandai. Masih terlalu naif mungkin. Terlalu manusiawi untuk bisa keluar dari masalah ini seorang ini. Tapi lebih kuat dari yang di bayangkannya. Ivan meraih pematik api dari saku kemejanya dan memainkannya sejenak. Membuka penutupnya dan menyalakan api nya, sedetik sebelum kemudian menutupnya lagi. Terus berulang seolah sebuah kebiasaan sambil mengendarai truknya. Sekitar setengah jam berkendara, ia akhirnya menemukan tempat yang dicarinya. Sebuah apotik yang buka 24 jam. Ivan memarkirkan truk di dekat pintu dan berjalan masuk. Berada di kota kecil, apotik terlihat sepi. Tidak ada orang lain di dalamnya selain penjaga counter. IVan langsung berjalan menuju pria itu dan menyodorkan botol obatnya yang hampir kosong. Penjaga counter mengamati sekilas sebelum kemudian berjalan kebelakang. Tak lama ia kembali membawa botol lain yang masih penuh. “Aku akan perlu melihat resep untuk obat keras seperti ini.” Penjaga counter berkata dengan nada tidak peduli. Ivan menyodorkan lembaran uang kepada pria itu, dua kali lipat lebih banyak dari harga obat. “Aku lupa membawa. Tidak bisakah kau membiarkanku membelinya tanpa resep.” Pria itu melirik uang di tangan Ivan dan tentu saja langsung mengangguk. “Baiklah. Untuk kali ini.” Ia menyerahkan botol obat ke Ivan yang langsung menyelipkan benda itu ke saku jas nya dan berjalan keluar. Begitu berada kembali ke truknya, pria itu mengeluarkan dua butir pil yang baru dibelinya dan seperti sebelumnya menelannya bulat-bulat. Ia kemudian mendongakkan kepalanya, menyandar kebelakang dan memejamkan matanya beberapa saat. Pening ini selalu kembali, ia mengumpat. Sekarang semakin terasa daripada sebelumnya. Cepat atau lambat, kondisinya ini pasti akan mempengaruhi kemampuannya. Ia hanya berharap tangannya masih akan cukup stabil untuk menggenggam pistol, setidaknya hingga semuanya berakhir. Hingga penebusannya berakhir. Perlahan efek dari obat yang diminumnya terasa dan rasa sakit itu menghilang. Akhirnya. Pria itu mengeluarkan tablet yang dibawanya dan menekan beberapa nomor. Suara Chad yang membentak langsung terdengar, bahkan sebelum deringan koneksi terdengar. “Damn it, Ivan! Kau sudah membunuh Nicholas.” Ivan tidak langsung menjawab. Chad terlalu berkepala panas, pikirnya. Setidaknya kedua orang tua angkatnya dulu juga berpikir demikian. Karena itulah mereka lebih menyukainya daripada Chad. “Ia yang membuka tembakan terlebih dahulu.” Ivan menjawab dengan nada tenang. “Di depan sebuah minimarket, pula. Siapa lagi yang kau kirimkan?” Tidak terdengar balasan dari adik angkatnya, hanya geraman yang mengatakan Chad tidak akan menjelaskan tentang kontrak yang sudah dikeluarkannya. “Apakah kau sudah menerima video yang kukirimkan?” Chad mengalihkan pembicaraan. “Ya” Ivan menjawab singkat. Ia mengalihkan perhatiannya dari tablet ke lapangan parkir yang tampak sepi. “Apakah kau sudah memperlihatkannya pada wanita itu?” Ivan tidak menjawab. Ia menerima video begitu ia mengakses tablet milik Nicholas, dan dibukanya karena dialamatkan pada Scarlet. Rekaman yang muncul di layar, membuatnya kaget. Wajah seorang pria yang tidak di kenalnya muncul, dalam keadaan terikat di kursi. Air mata dan keringat memenuhi wajah pria itu. Satu mata tertutup membengkak dan biru, hidung mengucurkan darah terlihat patah. Ia langsung bisa menebak siapa pria dalam video, bahkan sebelum wajah Moxley muncul di layar dan menghalangi pandangannya. Ivan mematikan video begitu mendengar Scarlet mematikan shower dan memutuskan untuk tidak memperlihatkannya pada wanita itu. Jika Scarlet sampai melihatnya, bisa dipastikan hal ini akan membuatnya semakin tidak stabil. Bahkan menghancurkannya. “Beri aku waktu.” Ivan akhirnya membalas. *** Scarlet sudah tertidur ketika Ivan kembali ke kabin. Wanita itu membiarkan semua lampu kabin menyala, mungkin karena tidak ingin berada dalam kegelapan seorang diri. Pria itu mengecek pintu dan jendela sekali lagi, memastikan semua terkunci sebelum berjalan ke sisi ranjang. Wanita itu meringkuk menghadap ke arahnya, membelakangi tembok, sambil memeluk sebuah bantal. Ivan mengamati rambut Scarlet yang kecoklatan. Masih setengah kering dan melekat ke sisi wajahnya yang terlihat polos. Ia terlihat damai dan tenang. Setelah semua yang terjadi padanya dalam dua hari terakhir, pria itu cukup heran melihat wanita itu dengan mudahnya terlelap. Pandangan pria itu kini melekat ke gaun tidur tipis Scarlet yang kotor dan kusut. Sepertinya ia akan perlu membeli beberapa pakaian untuk wanita itu besok. Dengan hati-hati, Ivan meraih selimut di kaki ranjang dan menutupkannya ke tubuh Scarlet. Setelah mematikan semua lampu, pria itu berjalan ke arah sofa dan duduk diatasnya. Ia sudah melanggar banyak peraturannya sendiri demi wanita itu. Untuk apa? Kesempatan untuk pengampunan? Memperbaiki apa yang sudah di lakukannya selama ini? Apa yang terjadi pada aturan-aturan yang sudah diikutinya selama ini? Tidak merasa bersalah. Tidak memiliki emosi. Semua seakan terhapuskan oleh keinginan untuk menjaga Scarlet agar tetap hidup. Wanita itu sudah mengalami terlalu banyak kepedihan, melihat terlalu banyak kekerasan, ia bahkan sepertinya sudah kebal terhadap rasa takutnya hingga tidak lagi bereaksi normal terhadap bahaya. Bertahun-tahun menjadi simpanan Moxley tentu cukup merusak mental seseorang. Mungkin… setelah semua ini berakhir, wanita itu akan mampu menyembuhkan dirinya sendiri. Mungkin. Walaupun kemungkinannya kecil untuk bisa pulih dari trauma semacam itu, tapi tidak mungkin ia akan bisa menjaga wanita itu selamanya, bukan? Tapi sementara ini, ia masih berniat untuk menjaganya. Setidaknya hingga ia sudah tidak mampu lagi atau hingga ia bisa membunuh Moxley. Karena Moxley tidak akan berhenti. “Kau sudah kembali?” Ivan kaget oleh suara Scarlet yang mendadak terdengar. “Maaf membangunkanmu.” Wanita itu bergerak dari posisi tidurnya. “Temani aku tidur, Ivan.” Permintaan Scarlet membingungkan pria itu. Ia tidak langsung menjawab. “Bukan seperti itu.” Scarlet melanjutkan, mungkin sadar akan permintaannya yang terdengar aneh. “Aku hanya tidak ingin tidur sendirian. Aku…merasa takut.” Ivan memiringkan kepalanya agar bisa melihat Scarlet. Wanita itu masih meringkuk, memeluk lututnya sendiri tapi menatap ke arahnya. “Kau tidak paham apa itu rasa takut.” Ivan menjawab, masih belum beranjak dari sofa. “Kau salah.” Ia membalas. “Tentu saja aku merasa takut. Aku takut akan apa yang terjadi besok. Aku takut apakah aku masih bisa merasakan kebebasan atau apakah mendadak orang-orang suruhan Moxley akan menyerbu ke kabin ini dan menyeretku kembali. Aku takut akan banyak hal.” “Yang kau takutkan adalah ketidak pastian, Scarlet. Bukan rasa takut itu sendiri.” Wanita itu terlihat tersinggung oleh jawaban Ivan. “Bagaimana kau bisa berkata begitu?” Ivan memiringkan tubuhnya agar lebih bisa menatap Scarlet dengan jelas. Tangannya menyandar ke belakang sofa, sementara matanya tidak beralih dari wajah wanita itu. “Karena bahkan setelah mengetahui pekerjaanku, setelah melihat apa yang mampu kulakukan, kau masih tetap memilih untuk mempercayaiku. Seorang pembunuh yang tidak kau kenal. Yang tidak akan berpikir dua kali atau merasa bersalah untuk membunuhmu jika aku mau. Dan tetap, kau memilih untuk berada di satu ruangan bersamaku, bahkan memintaku untuk tidur di sebelahmu.” Ivan bangkit dari sofa dan berjalan menuju ke ranjang. Ia bisa melihat Scarlet melepaskan pelukannya dari lututnya dan meluruskan punggungnya. Kepalanya terangkat mengamati Ivan dengan pandangan yang menurut Ivan lebih terlihat penasaran daripada ketakutan. Pria itu kini sudah berada di kaki ranjang. Badannya yang tinggi menaungi tubuh Scarlet bak sesosok malaikat yang siap melepaskan penilaiannya. Ivan meraih pistol dari balik punggungnya dan sebelum Scarlet menyadari apa yang terjadi, mendadak ujung pistol sudah melekat ke dagu wanita itu, memaksa kepala Scarlet mendongak kebelakang. Ivan menindih tubuh wanita itu. Lengannya menempel didepan tubuh Scarlet. Pria itu mempelajari mata Scarlet. Ada rasa terkejut dan penasaran di dalamnya, tapi tidak rasa takut. Pandangannya lalu beralih ke bibir wanita itu, kemerahan dan terkatup lembut. Pria itu menunduk, semakin dekat ke wajah Scarlet. Hampir Scarlet mengira pria itu hendak menciumnya, tapi rupanya kepala Ivan melewati sisi wajahnya. “Karena kau tidak gemetaran, Scarlet. Bahkan dengan pistol terarah ke wajahmu, kau tidak terlihat ketakutan.” Kemudian perlahan, pria itu menjauhkan senjata yang di pegangnya dari wajah Scarlet. “Aku bukan Moxley.” Ivan melanjutkan. “Kau tidak perlu memanipulasiku untuk mendapatkan apa yang kau mau. Aku sudah berjanji untuk menjagamu tetap hidup, dan aku berniat untuk melakukannya.” Scarlet nampak tersinggung oleh ucapaan Ivan. Dan walaupun samar, tapi Ivan bisa melihatnya, yang kemudian membuatnya sadar bahwa tuduhannya tidak benar. Pria itu berjalan kembali ke sofa dan mendudukan tubuhnya. Menit penuh kesunyian berlalu. Hanya suara hutan yang terdengar dari luar kabin yang mengganggu sepinya ruangan. Kemudian suara wanita itu terdengar. “Aku memang hidup dalam kebohongan selama lima tahun terakhir. Semua yang kulakukan, semua yang kukatakan, hanyalah agar aku bisa bertahan hidup. Saking seringnya aku berbohong, kadang bahkan aku sendiri mempercayainya sebagai sebuah kebenaran. Tapi aku tahu aku tidak dengan sukarela bersama Moxley. Dan aku tahu, aku tidak pernah berniat memanipulasimu.” Wanita itu terdiam sejenak lalu melanjutkan, “Terima kasih sudah membantuku.” Ivan menunggu, tapi wanita itu tidak lagi berkata apa-apa hingga ia akhirnya tertidur. *** Ivan tersentak terbangun sekitar pukul 4 pagi oleh suara seseorang berbicara. “Untukmu, Scarlet. Untukmu aku menemukan ayahmu. Aku ingin kau kembali ke rumah dalam waktu 36 jam. Atau kematiannya akan berada di tanganmu.” Pria itu langsung menegakkan punggungnya dan menoleh ke arah meja makan. Kini duduk di atas kursi, Scarlet mencengkeram erat tablet miliknya dengan wajah dipenuhi oleh lelehan air mata. *** ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD