9. Moxley

1176 Words
“Lupakan. Mandilah.” Ia menggumam. “Dengar.” Scarlet berjalan mendekati pria itu. “Akulah yang diinginkan Moxley, jadi aku perlu tahu apa rencanamu, Ivan. Meninggalkanku dalam gelap, tidak tahu apa yang akan terjadi, membuatku takut—” “Kau tidak terlihat ketakutan.” Pria itu memotong tanpa mengalihkan perhatiannya dari isi tasnya. Ia mengeluarkan sebuah alat semacam tablet yang kemudian diletakkannya diatas meja. “Mungkin trauma membuatmu kebal terhadap emosi, atau mungkin apa yang kau katakan hanyalah alasan agar aku membantumu, yang pasti, kau tidak terlihat ketakutan.” Scarlet menelan ludahnya. Tentu saja ia ketakutan, tapi ia sudah terbiasa untuk berakting seakan semua baik-baik saja. Lima tahun bersama Moxley cukup membuatmu pandai berpura-pura. Tapi tentu saja ia tidak bisa menjelaskannya kepada Ivan tanpa membuat pria itu menganggapnya pandai bersandiwara. “Terserah kau menganggap apa. Tapi bahkan namamu saja aku harus mempelajarinya dari orang lain. Tidak bisa kah kau menceritakan sesuatu tentangmu untuk menenangkan pikiranku?” “Bukan hanya menginginkan perlindungan kini kau mau aku menenangkan pikiranmu? Selanjutnya apa? Kau ingin seseorang memelukmu hingga tertidur?” Scarlet menggeram. Bukan hanya jawaban pria itu yang menyulut amarah Scarlet, tapi cara pria itu ketika menjawab membuat wanita itu dongkol. Lebih banyak dari pada tidak, pria itu selalu menganggapnya rendah bahkan terlihat malas menatapnya ketika bicara. Scarlet bisa merasakan wajahnya memanas oleh amarah. Dan ia tahu, jika diteruskan, air matanya pasti akan keluar. Karena itulah caranya mengatur emosi selama ini. Tidak ingin Ivan melihatnya menangis lalu mengomentari air matanya sebagai air mata buaya, wanita itu menghentakkan kakinya menuju kamar mandi. Masih merasa tidak puas, setengah jalan, Scarlet berhenti dan membalikkan badannya. “Benar kata pria itu, kau tidak memiliki perasaan. So, just go to hell!” Hanya itu yang bisa diteriakkan Scarlet untuk membalas sindiran Ivan yang seketika disesali olehnya karena kini ia hanya terlihat layaknya anak kecil yang merajuk. Setelah Scarlet membanting pintu kamar mandi dan merasa sendirian, barulah ia membiarkan semua mengalir. Sambil membiarkan keran shower menyala untuk menutupi suara isakan tangisnya, Di keluarkannya semua uneg-uneg yang sudah di tahannya selama dua hari ini. Entah berapa lama ia membiarkan pancuran menyala tanpa dirinya berdiri di bawahnya. Ia hanya ingat tangannya mencengkeram pinggiran wastafel sementara wajahnya yang menunduk terasa panas dibasahi oleh air mata. Setelah merasa lelah karena berdiri terlalu lama, barulah wanita itu melepaskan pakaiannya dan melangkah ke bawah pancuran. Dinginnya air yang menyentuh tubuh Scarlet menyentaknya kaget. Sudah lama ia tidak perlu mandi dengan air dingin karena Moxley selalu menyediakan kemewahan baginya. Pria itu memberinya kamar mandi berair panas dan bathtub yang bebas untuk digunakan kapanpun. Ia adalah satu-satunya wanita yang di berikan fasilitas semewah itu oleh Moxley. Kehidupannya bisa dibilang surga jika dibandingkan wanita lain yang tinggal di sana. Tapi sama sekali Scarlet tidak merasa beruntung. Yang ada justru semua orang menganggap bahwa ia berada di rumah itu dengan suka rela, seperti yang dituduhkan oleh Hector. Setelah terbiasa dengan dinginnya air, ia mencoba untuk menenangkan dirinya dengan memikirkan tentang kehidupannya ketika semua belum menjadi hancur. Kehidupannya sebelum Moxley. Sebelum ibunya mulai sakit-sakitan dan semuanya masih normal. Ia memikirkan tentang rumahnya. Dan ayahnya. Apa yang terjadi padanya setelah kematian ibunya? Dimana kah ia sekarang berada? Apakah pria itu memikirkannya? Setelah sekitar sejam berada di dalam kamar mandi, ia pun memutar pancuran dan menyelesaikan mandinya. Tidak ada handuk di dalam kamar mandi. Dan Scarlet tidak membawa baju ganti. Mini market tempatnya tadi belanja tidak menjual pakaian ganti dan parfum yang ingin dipakainya ada di dalam tas jinjing Ivan diluar. Sambil menghela nafas, diraihnya lagi gaun tidur kumal yang di pakainya sejak awal ia melarikan diri. Setelah menyelipkan clana dalam, ia memakai kembali gaun selutut berenda itu, menariknya melewati paydara nya yang tidak tertutup. Ia tidak pernah mengenakan b ra. Moxley melarangnya. Dibiarkannya jaket milik Ivan tergeletak di kamar mandi dan hanya mengenakan gaun tidurnya, Scarlet berjalan keluar. Ivan masih duduk di tempat yang sama. Tapi kedua tas jinjing sudah tidak lagi ada diatas meja. Tanpa berkata apa-apa, Scarlet berjalan menuju ranjang yang ada di tengah ruangan. Ketika ia melintas melewati Ivan, pria itu mendongak dan tatapan mereka bertemu. Pria itu tidak berkata apa-apa, tapi Scarlet bisa melihat perubahan dari sikap Ivan yang membuatnya tertegun. Ia tidak tahu apakah Ivan menyadari bahwa ia bisa merasakan perubahan dari pria itu, tapi sesuatu di mata Ivan terlihat… melunak. “Ceritakan tentang ayahmu.” Pria itu mendadak membuka suara. Ivan sudah melepaskan jaketnya dan kini duduk dengan kemeja tergulung hingga ke siku. Ia memiringkan kursinya agar bisa menghadap ke arah Scarlet yang kini duduk diatas ranjang. Pertanyaan Ivan mengejutkan Scarlet. “Mengapa?” Wanita itu balik bertanya sambil mengerutkan dahinya mencoba menebak apa maksud pertanyaan dari Ivan tentang ayahnya. Pria itu tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan. Kini apa alasannya menanyakan tentang keluarganya? Tapi Ivan tidak menjawab. Tidak ingin pria itu berubah pikiran dan kembali mengacuhkannya Scarlet memutuskan untuk menjawab juga. “Apa yang ingin kau ketahui tentangnya?” Scarlet mengumpulkan rambutnya menjadi satu lalu menariknya kedepan, membiarkan gumpalan basah itu terjuntai ke menutupi sebelah dadanya. Ivan mendekapkan tangannya ke depan, membiarkan sikunya tetap menyandar di lengan kursi. “Bukan kebiasaan Moxley meminjamkan uang pada orang biasa. Bagaimana ayahmu bisa mengenal pria itu?” Scarlet memikirkan jawabannya. “Ayah adalah seorang petugas parkir di salah satu Club milik Moxley. Mungkin dari situlah ia mengenalnya.” Ivan tidak merespons. Pria itu mengalihkan pandangannya ke samping seolah memikirkan apa yang baru saja didengarnya. Mungkin merasa takut pria itu menghentikan percakapan atau karena sudah lama sekali tidak pernah ada yang bersedia mendengarnya bercerita, Scarlet memutuskan untuk melanjutkan. “Aku masih ingat pertama kalinya aku bertemu dengan Moxley. Tak lama setelah ibu didiagnosis mengidap penyakitnya. Tidak biasanya ayah membawaku ke tempat kerja. Tapi malam itu, ia mengajakku. Aku ingat ia membawaku masuk ke dalam kantor Moxley dan memperkenalkanku pada pria itu. Bahkan sebelum ia membuka suaranya, aku bisa merasakan pria itu berbeda. Aku tidak tahu seberapa berpengaruhnya Moxley ketika itu. Maksudku, aku tahu ia adalah bos ayah. Tapi dari beberapa pria yang ada di dalam ruangan, aku langsung bisa melihat siapa yang memegang kendali. Ia berdiri dengan keangkuhan seorang pemimpin yang tidak terbantahkan. Tidak mengenal rasa takut. Percaya diri. Ia melihatku dengan cara yang berbeda dari pria lain yang biasanya hanya menginginkan satu hal dariku.” “Dan Moxley tidak menginginkannya?” Scarlet mengalihkan pandangannya ke dinding kabin. Tenggorokannya mendadak terasa kering. Ia menelan ludahnya dengan susah payah agar bisa kembali bersuara. “Aku tidak mengira ketika itu. Selama pertemuan Moxley bersikap sopan. Dan profesional. Menarik, malah. Aku bahkan tidak tahu tujuan ayah membawaku menemui Moxley hingga setelah pertemuan itu berakhir dan ayah menjelaskannya. Bahwa ia membutuhkan uang dan Moxley memintaku sebagai jaminan.” Scarlet menaikkan kedua kakinya ke atas ranjang dan mulai memeluk lututnya sendiri. Tidak lagi mempedulikan gaun rendahnya yang tersingkap naik, ia memerlukan sebuah dekapan, walaupun dari dirinya sendiri. “Entah mengapa aku tidak terkejut. Karena begitu aku melihat tatapan Moxley hari itu, aku sudah tahu. Bahwa hidup lamaku sudah berakhir. Aku tidak tahu bagaimana atau mengapa aku berpikir demikian, tapi aku sudah tahu. Caranya menatapku, aku tahu….” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD