11. Aku Tidak Peduli

1139 Words
Pandangan Scarlet mengabur. Air matanya terasa panas, dadanya sesak oleh kebencian dan kemarahan yang tidak bisa lagi diatur olehnya. Entah bagaimana ia menemukan dirinya kini meringkuk diatas lantai, wajah menekan kerasnya lantai kayu kabin yang gelap. Butuh waktu lama hingga wanita itu akhirnya sadar bahwa ia tidak lagi sendirian. Dari ujung matanya, ia melihat sepatu milik Ivan yang berdiri di sebelahnya. Menoleh makin ke atas, pandangan wanita itu kini melihat pinggang Ivan. Satu tangan pria itu memegang pinggiran meja sementara yang lainnya terjuntai di sisi tubuhnya. Akhirnya Scarlet bisa melihat wajah Ivan, menatap ke arah nya dengan pandangan yang tidak bisa di terka. “Maafkan aku,” pria itu berkata. Sedikit emosi berkilas dalam matanya yang beku. “Bawa aku kembali.” Scarlet menarik tubuhnya bangun. Dengan suara gemetaran, tubuh gemetaran ia melanjutkan, “Aku tidak bisa membiarkannya membunuh ayah. Ia adalah satu-satunya keluarga ku yang tersisa. Aku tidak akan membiarkannya mati karena apa yang kulakukan.” Ivan meraih tablet yang ada diatas meja dan berjalan kelemari pakaian yang terbuka. Tanpa berkata apa-apa pria itu memasukkan tablet ke dalam tas. Scarlet memang sengaja menunggu hingga Ivan terlelap sebelum mengaduk-aduk isi tas pria itu. Ia bisa merasakan perubahan tingkah Ivan ketika ia keluar dari kamar mandi kemarin. Ketika mendadak pria itu menanyakan tentang ayahnya setelah mengutak atik tablet yang ditemukan dari Nicholas. Tebakannya benar. Ia langsung menemukan video itu begitu menyalakan tablet. Matahari pagi mulai masuk melewati tirai jendela yang masih tertutup kain. Membuat isi kamar terlihat lebih jelas dari sebelumnya. Punggung wanita itu terasa kaku, dan wajahnya panas, tapi ia sudah tidak mempedulikan dirinya lagi. Semua ini adalah kesalahan. Melarikan diri dari Moxley. Mengira bahwa ia bisa lepas dari pria itu. Mengira bahwa ia berhak untuk merasakan kebebasan. Sepertinya banyak hal yang tidak seharusnya dilakukannya karena bukan hak nya untuk mendapatkannya. Tidak pernah Scarlet mengira bahwa tindakannya akan berdampak sangat panjang. Bukan hanya menyeret Ivan, kini ia membawa ayahnya ke dalam bahaya. “Aku tidak punya banyak waktu. Kumohon, bawa aku kembali.” Scarlet mengulang ucapannya. Masih berdiri di sebelah lemari, Ivan perlahan melepaskan kemejanya dan melemparkannya ke dalam lemari dan meraih yang baru. Jika saja tidak sedang dalam keadaan terguncang, Scarlet pasti kaget melihat tanda lahir di punggung pria itu. Dua goresan gelap sepanjang tulang belikat yang terlihat bergerak ketika pria itu berdiri dan menaikkan lengannya untuk memakai kemeja yang baru digantinya. Ia pun memiliki tanda lahir yang sama, hanya saja miliknya terlihat samar karena berwarna hampir serupa dengan kulitnya yang putih. Pria itu membalikkan tubuhnya ke arah Scarlet. Tangannya masih bergerak pelan mengancingkan kemejanya satu per satu. Wajahnya tidak berubah, masih membeku seperti sebelumnya. “Aku tidak bisa membiarkanmu kembali,” jawabnya singkat. “Apa? Mengapa?” Scarlet mengedipkan matanya menghapus kekagetannya akan bekas luka di punggung Ivan dan menggantinya dengan kekagetan oleh jawaban Ivan. Ia kemudian menggeleng keras. “Aku harus kembali. Mereka akan membunuh ayahku.” “Kau memintaku melindungi nyawamu, dan aku sudah melakukannya. Kau aman disini. Kembali ke Metro, sama saja dengan bunuh diri. Aku tidak akan menemanimu.” Scarlet melangkah lebar ke arah Ivan, berhenti hanya beberapa senti dari tubuh pria itu. Mata wanita itu membelalak lebar, liar dan putus asa. “Berikan aku kunci minivan dan memory cardnya kalau begitu.” Tangan wanita itu terjulur ke depan, meminta. Rahang pria itu berkedut tapi masih tidak bergerak. “Dengar… Aku minta maaf sudah memaksamu untuk melindungiku hingga sejauh ini, tapi aku harus kembali. Kita— tidak… Aku harus menolong ayahku. Aku tidak peduli lagi apa yang akan terjadi padaku. Aku… aku akan membunuh Moxley dengan tanganku sendiri jika perlu.” Wanita itu kini menjerit tidak lagi peduli jika wajahnya dipenuhi oleh airmata. “Dan bagaimana kau akan membunuhnya?” Ivan bertanya dengan suara datar seakan tahu bahwa wanita itu sama sekali tidak punya rencana. Dan ia tidak salah. “A-aku… Aku akan mendapatkan kepercayaannya kembali. Aku bisa mengatakan bahwa pergi darinya adalah sebuah kesalahan. Bahwa aku panik malam itu, takut ia akan membunuhku, karena itu lah aku kabur. Aku akan mengatakan bahwa bersamanya adalah apa yang kuinginkan. Aku pernah melakukannya, membuatnya percaya bahwa aku mencintainya. Bahkan membuatnya percaya bahwa ia mencintaiku. Aku bisa melakukannya lagi. Cukup hingga ia terlena untuk melepaskan ayah dan memberiku kesempatan untuk kemudian membunuhnya. Ya, itulah yang akan kulakukan.” Ivan mengangguk. “Baiklah. Anggap kau berhasil mengelabuhi Moxley, berhasil membunuhnya. Apakah kau kira anak buahnya akan diam saja setelah kau membunuh bos mereka? Mereka akan menembakmu di tempat.” Ketenangan dari suara Ivan mulai membuat Scarlet kesal. Tentu saja pria itu tidak akan mempedulikan ayahnya. Ia bahkan tidak paham mengapa pria itu bersedia melindunginya. “Aku tidak peduli.” Suara Scarlet mulai terdengar putus asa. “Setidaknya Moxley mati. Aku akan menandatangani surat kematianku sendiri jika perlu.” Sadar Ivan tidak akan bergeming, Scarlet melakukan hal paling nekat yang muncul di kepalanya. Tanpa aba-aba, Ia meraih ke belakang tubuh Ivan, menarik pistol dari balik punggung pria itu dan kemudian mengacungkannya ke depan. “Berikan kunci mobil dan memory cardnya, Ivan.” Ia memberi perintah. Ivan menatap 9mm di tangan Scarlet tanpa bergerak. Wanita itu memundurkan tubuhnya, sadar bahwa ia berada dalam jangkauan pria itu. Menarik, pikir Ivan. Ia meraih ke dalam saku celananya perlahan. Ia bisa merasakan wanita itu tidak main-main. Tangannya terlihat gemetaran tapi telunjuknya sudah berada di pelatuk. Akan repot baginya jika ia sampai membuat gerakan mendadak dan wanita itu menembaknya tanpa sengaja. Ia bisa saja merebut pistol dari tangan Scarlet sebelum wanita itu sadar. Ujung senapan yang diarahkan kepadanya mungkin akan mengenai rahangnya. Lukanya mungkin akan membekas, ia mungkin akan menjadi ca cat, tapi tidak cukup untuk membunuhnya. Tapi Ivan tidak melakukannya. Ia sudah berusaha sejauh ini untuk menjaga wanita itu agar tetap hidup. Jika kini wanita itu memutuskan untuk mengabaikan peringatannya dan pergi sendiri, bukan urusannya. Di ulurkannya benda yang diminta Scarlet. Kunci mobil dan memory card berisi rekaman suara Moxley. “Letakkan ke atas meja.” Wanita itu menunjuk ke meja makan dengan gerakan matanya. Ivan mengangguk, berjalan pelan ke meja makan dan meletakkan kedua benda yang diminta Scarlet ke atas meja. Ia bisa melihat mata Scarlet mulai berkaca-kaca. Bibirnya gemetaran sama dengan tangannya. Ia pasti merasa mual dan kebingungan, tebak Ivan. Wanita itu sepertinya menahan keras agar tidak kembali menangis di depannya. Bukan urusannya. Semua ini bukan urusannya. Jika kini ia hendak membunuh dirinya sendiri demi ayah yang sudah menjual nya dan meninggalkannya di tangan pria mematikan nomor satu di Metro, bukan urusannya. Dengan tangan kanan menggenggam pistol, tanpa mengalihkan matanya dari Ivan, Scarlet melangkah ke meja makan, meraih kunci dan memory card dengan tangan kirinya. Begitu keduanya berada dalam genggaman, Scarlet meraih jaket Ivan yang diletakkan di sandaran kursi dan bergerak mundur ke arah pintu. “Aku akan katakan terakhir kali. Ia akan membunuhmu.” “Aku tidak peduli lagi.” Air mata kini meleleh ke pipinya yang merah. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD