7. Mata Hijau Keabuan

1640 Words
Scarlet mengalihkan perhatiannya dari jendela ke arah tape player yang ada di mobil. Ia menekan beberapa tombol hingga menemukan musik untuk mengisi keheningan di dalam mobil sambil menunggu Ivan menghardik. Tapi pria itu tidak mengucapkan apa-apa dan membiarkan lagu mengalun pelan. Mereka sudah berkendara sekitar sejam lamanya. “Aku ingin kencing.” Akhirnya Scarlet membuka suara, tidak bisa lagi menahan kantung kemihnya yang sudah penuh. Ia meminum cukup banyak teh ketika sarapan, sebelum kemudian dunia terjungkir balik dan membuatnya cukup beruntung tidak mengompol di kafetaria motel. Beberapa detik berlalu sebelum Ivan menjawab. “Ada kantung kresek di belakang.” “Aku tidak mau kencing di kantung kresek. Tidak bisakah kau berhenti di pom bensin?” “Tidak ada pom bensin di sekitar sini.” Scarlet mengalihkan wajahnya keluar jendela. Pria itu benar. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah rerumputan yang menguning. Jalan yang mereka lalui pun terlihat lengang. Tidak ada satupun mobil dari dua arah jalan. “Dimana kah kita sekarang?” Ia kemudian bertanya, melupakan kekesalannya akan jawaban Ivan. “Tiga puluh kilo meter selatan Kota Fortdale.” Scarlet menggigit bibirnya, percuma bertanya, ia sendiri tidak tahu dimana tepatnya ia berada. Sejak kecil ia tidak pernah keluar dari Metro. Terlebih setelah tinggal bersama Moxley. Pria itu kadang membawanya keluar kota atau keluar negeri, tapi tidak pernah mengijinkannya keluar dari hotel. Kemudian Ivan melanjutkan, “Kita dua jam dari tujuan.” “Safe house yang kau maksud?” Scarlet bertanya. “Ya.” Jawaban Ivan hanya menambah pertanyaan dalam benak Scarlet. Apa yang kemudian terjadi setelah mereka tiba? Moxley tidak akan berhenti mencarinya, seperti kata Hector, pria itu menginginkannya, bukan hanya rekaman yang dimilikinya. Kini berada semakin jauh dari Moxley, semakin Scarlet tidak ingin kembali. Lima tahun waktu yang cukup untuk membayar hutangnya, Scarlet memutuskan. Dan walaupun Moxley memberikan berbagai kemewahan di rumah itu, tetaplah ia hanya seorang tahanan. Tidak pernah bebas. Ia ingin bertanya pada Ivan tentang langkah selanjutnya. Tapi tidak siap mendapatkan sindiran lain, ia pun menahan dirinya. Setidaknya, ia masih hidup. Dan sedang bergerak menjauhi Metro. Setidaknya pria itu masih bersedia membantunya, apapun alasannya. Mendadak, dirasanya mobil membelok ke kiri keluar dari jalan dan masuk ke sebuah parkiran minimart yang sepi. Hanya ada satu mobil lain yang terparkir di depannya. Pria itu memarkirkan mobilnya dan mematikan mesin. Setelah membuka pintunya sendiri, ia berjalan mengitari mobil dan membukakan pintu untuk Scarlet. “Jika kau masih perlu menggunakan kamar mandi. Lekas. Sekalian aku perlu membeli beberapa kebutuhan.” Kaget karena pria itu berubah pikiran dan berhenti, Scarlet melompat keluar dari mobil dan hendak berlari masuk ke dalam minimart. Pria itu mencekal pergelangan tangan Scarlet, menghentikan langkahnya. “Jangan gegabah. Biar aku antar.” Ivan berucap. Scarlet menarik tangannya terlepas. “Hah? Jangan bilang kau hendak mengantarku kencing.” Wanita itu menggelengkan kepalanya. “Tidak. Aku bisa melakukannya sendiri.” “Setelah apa yang terjadi barusan?” Scarlet menyilangkan tangannya ke depan d**a dan melotot. “Aku tidak akan bisa kencing dengan mu berdiri di dalam kamar mandi.”  “Kalau begitu kau akan kencing di kantung kresek. Pilihanmu.” Pria itu menjawab. Mulut Scarlet membuka lebar karena kaget sementara Ivan menunjukkan wajah yang mulai kesal karena perlawanannya. Wanita itu mengalihkan pandangannya ke sekeliling tempat parkir dengan wajah tidak percaya akan keputusan Ivan, “Tidak ada siapa-siapa di sini. Tidak mungkin ada yang berniat mencelakaiku di minimarket di tengah-tengah sawah begini.” “Kau yang meminta perlindungan, dan aku memberikannya.” Ivan menjawab enteng. “Turuti perintahku atau kau bisa mencari orang lain yang bersedia menandatangani surat kematiannya dengan melawan Moxley.” Scarlet menggigit bagian dalam pipinya, kesal. “Baiklah.” Ia menyemburkan jawabannya dan membiarkan pria itu menggiringnya masuk ke dalam toko. Hanya ada satu orang di dalam toko, seorang wanita yang berdiri di belakang kasir. Wanita itu menunjuk ke sudut minimart ketika Ivan menanyakan kamar mandi dan langsung di tuju oleh keduanya. Ivan mendorong pintu terbuka, diikuti Scarlet di belakangnya. Kamar mandi itu sempit. Hanya satu ruangan dengan satu toilet jongkok di dalamnya yang penuh dengan genangan air kecoklatan. Jelas tidak pernah dipersihkan selama bertahun-tahun. Ivan membalikkan badannya dan melipat kedua telapak tangannya ke depan, memberi wanita itu sedikit privasi untuk melakukan apa yang perlu dilakukannya. Sambil menghela nafas dan menahan wajahnya yang memanas, Scarlet mengangkat gaunnya ke atas dan menarik celana nya turun. Lagipula ini bukan pertama kalinya ia harus kencing di depan pria gila, pikir wanita itu mengamati punggung Ivan yang menghadap ke arahnya. Setengah menahan nafas untuk menahan bau masuk ke hidung, ia pun jongkok diatas kloset dan menyelesaikan urusannya. Sesekali melirik ke arah Ivan yang sepertinya sama sekali tidak terpengaruh suara dan bau di dalam kamar mandi itu. Baru saja ia selesai membereskan gaunnya dan berdiri, mendadak punggung Ivan terlihat membeku. Pria itu menoleh ke arah pintu sambil meraih ke belakang pinggangnya, menarik pistol yang di bawanya keluar. “Apa yang terjadi?” Scarlet buru-buru bertanya. Mulai panik dan kembali gemetaran. Ivan tidak menjawab. Ia hanya mengangkat tangannya yang bebas ke arah Scarlet mengisyaratkan agar wanita itu tidak bersuara. Perlahan, Ivan membuka pintu kamar mandi sedikit, dan mengintip. Suara seseorang terdengar di depan kamar mandi. Seorang wanita setengah baya yang terdengar tidak sabar ingin memakai kamar mandi dan kini sedang mengomel ke penjaga toko. Ivan menutup kembali pintu kamar mandi dan menyelipkan senjatanya balik ke pinggangnya. “Hanya pelanggan yang ingin menggunakan kamar mandi,” gumamnya pelan. Perasaan lega langsung mengguyur punggung Scarlet. Ia menghembuskan nafas yang sejak tadi ditahannya. “Syukurlah.” Wanita itu menggumam, mendekap jantungnya sendiri yang berdetak melewati kain tipis yang dikenakannya selama dua hari. Ivan mendadak meraih pundak wanita itu. Gerakannya yang tiba-tiba membuat Scarlet tersentak kaget. “Kita perlu keluar tanpa membuat orang curiga. Berpura-puralah.” Pria itu menjelaskan yang langsung di pahami oleh Scarlet. Berpura-pura menjadi sepasang kekasih. Scarlet mengangguk. Ia melingkarkan tangannya ke pinggang Ivan, sementara pria itu membuka pintu kamar mandi dan melangkah keluar. Wanita yang tadinya berdiri di depan kamar mandi mengerutkan keningnya, menatap keduanya dengan pandangan menilai tapi tidak berkata apa-apa. Scarlet memaksakan wajahnya untuk tersenyum. Ia mendekap Ivan dengan kedua tangannya dan bergelayut manja. Mengabaikan badan Ivan yang terasa kaku dalam dekapannya, yang menurutnya hanyalah efek dari ketidak sukaan pria itu akan sentuhannya. Melihat pandangan wanita tadi masih terarah padanya, Scarlet pun melanjutkan sandiwaranya. “Apakah kau masih ingin belanja, Sayangku?” Scarlet bertanya dengan suara agak keras, seakan sengaja menunjukkan bahwa mereka tidak lebih dari dua orang yang kebetulan lewat dan hendak berbelanja. Walaupun usahanya berhasil, karena kini wanita yang mengamatinya sudah masuk ke kamarmandi, Ivan meraih keranjang belanjaan sambil meremas pundak Scarlet tidak setuju dengan aksi Scarlet yang berlebihan. Keduanya memang terlihat mencolok di minimart kecil di tengah antah berantah. Scarlet dengan gaun tidur lusuh yang tertutup jaket kedodoran, sementara, Ivan, rapi dengan pakaian dan sepatu yang terlihat mahal. Ditambah tubuh kekar pria itu yang tidak dimiliki orang biasa, bahkan penjaga toko yang kebetulan seorang wanita kini menolehkan kepalanya mengamati mereka. Baik lah, diakui Scarlet, mungkin lebih ke arah Ivan daripada dirinya. Walaupun memiliki bekas luka di sisi wajahnya, Scarlet mengakui bahwa pria itu tidaklah buruk rupa. Ia menebak Ivan mungkin berumur 30 an. Lebih tua darinya yang baru berumur 23 tahun. Tapi jauh lebih muda dari Moxley yang berumur 45 tahun. Rambut Ivan terlihat agak terlihat berantakan, wajar setelah apa yang barusan di laluinya di Kafetaria, Scarlet bahkan heran bahwa pria itu tidak terluka sama sekali. Hanya beberapa goresan terlihat di buku tangannya, mungkin habis menghantam sesuatu, atau seseorang. Rahang Ivan terdefinisi, tertutup janggut pendeknya yang rapi, sementara mata nya yang rupanya terlihat lebih hijau keabuan daripada coklat ketika terkena matahari, terasa menyimpan banyak hal tanpa mengungkapkan apapun. Bukan hanya itu, Ivan juga adlah pria yang jangkung, penuh kekuatan, dan menakutkan. Setelah melihat apa yang mampu di lakukan pria itu, Ivan terasa lebih menakutkan daripada Moxley. Hal yang aneh, karena ia justru lebih merasa aman berada bersama Ivan, dibandingkan dengan bersama Moxley. Merasa sudah aman, Ivan melepaskan dekapannya dan mulai meraih barang di rak. Yang langsung dibalas oleh Scarlet dengan melepaskan pelukannya. Mereka sedang berjalan melewati deretan parfum yang kemudian membuat Scarlet sadar akan bau badannya. Ia baru saja berkeringat layaknya habis berolah raga gara-gara ketakutan, tanpa deodoran, pasti tubuhnya saat ini berbau masam.   Di raihnya satu botol parfum yang ada di rak lalu mengamati harga yang tertera. Ia tidak membawa uang sama sekali. Dan jika diingat, semua uang yang dimilikinya tersimpan dalam nama Moxley. Scarlet meletakkan kembali benda itu ke rak, sadar bahwa dirinya rupanya benar-benar tidak memiliki apa-apa selain pakaian yang dikenakannya. Yang tentu saja adalah pemberian Moxley dan belum diganti sejak dua hari yang lalu. “Belilah yang kau perlukan.” Ivan mendadak sudah berdiri di belakang Scarlet, entah sejak kapan. “Termasuk parfum itu.” Ia melanjutkan. Scarlet tertegun sejenak oleh kebaikan yang ditawarkan pria itu. Tapi memutuskan untuk menerimanya. “Terima kasih.” Scarlet meraih parfum yang hendak di belinya dan beberapa makanan yang kemudian dimasukkannya ke keranjang yang di bawa oleh Ivan. “Safehouse yang kita tuju. Apakah kau sering menggunakannya?” Scarlet bertanya, lebih karena ingin bercakap-cakap daripada penasaran. Ivan meraih sebuah pisau cukur dari rak dan memasukkannya ke dalam keranjangnya. “Tidak juga. Hanya beberapa kali.” Scarlet menatap tangan Ivan yang kini meraih pasta gigi dan dua sikat gigi dari rak. Sebuah tato terlihat di punggung tangan pria itu, huruf V yang disadarinya juga dimiliki oleh pria yang tadi diikatnya. “Tato itu, apakah simbol dari perkumpulan kalian?” Scarlet kembali bertanya. “Aku melihat pria tadi juga memilikinya.” “Ya.” Ivan melirik ke punggung tangan kirinya sekilas. “Semua anggota Klan memilikinya.” Scarlet sebenarnya ingin bertanya lebih jauh tentang Klan yang disebut Ivan. Klan pembunuh bayaran dimana kini tampaknya hampir semua anggotanya di gaji oleh Moxley untuk mencarinya. Tapi ia yakin Ivan pasti tidak akan menjawab. Karenanya ia mengalihkan pertanyaannya. “Siapa Ainara?” *** ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD