8. Safe House

1227 Words
“Siapa Ainara?” Ivan terlihat kaget oleh pertanyaan Scarlet. “Siapa?” “Ainara. Kau menyebutnya beberapa kali dalam mimpi semalam.” “Oh? Benarkah?” Ivan membalas. “Entahlah. Hanya sebuah mimpi.” “Mimpi memiliki arti, tahu? Sebuah keinginan yang belum tercapai atau harapan. Entahlah…. Aku tidak pernah mengingat mimpiku. Mungkin karena aku tidak memiliki harapan.” Wanita itu berhenti sejenak, memikirkan apa yang baru diucapkannya. Setelah beberapa detik ia melanjutkan. “Ceritakan tentang keluargamu, Ivan.” Scarlet berkata, tanpa sengaja memanggil pria itu dengan namanya. Ivan melirik dengan tatapan cukup tajam. Scarlet memanggil namanya membuatnya merasa kian terikat kepada wanita itu, dan ia tidak menyukainya. “Kurasa cukup interogasimu hari ini.” Ia berkata sambil berjalan ke arah kasir. Sadar bahwa Ivan sudah kembali menutup dirinya, Scarlet berhenti mencoba. Ia hanya mengamati pria itu meletakkan keranjangnya ke hadapan sang pelayan toko, yang langsung menanyakan apakah pria itu menemukan semua yang dicari dengan suara dan gaya yang di buat-buat. Keduanya terlihat bercakap-cakap beberapa saat. Setelah selesai, Ivan meraih kantung belanjaannya dan meraih tangan Scarlet, menggiring wanita itu keluar dari minimarket. Baru saja pria itu selesai memasukkan barang ke dalam mobil, sebuah mobil truk pick up berwarna hitam melaju dengan kecepatan tinggi ke arah mereka. Beberapa detik kemudian, dalam gerakan yang terlalu cepat untuk di pahami oleh Scarlet, Ivan meraih pundak Scarlet, menarik wanita itu ke bawah dan mendekap erat. Sebelah tangannya menyambar ke belakang punggungnya sendiri dan menarik pistol nya keluar. Berada di antara mobil dan tubuh Ivan, Scarlet mendengar tembakan berentet menggema diudara. Wanita itu menutupkan tangan ke kedua telinganya sementara pecahan kaca kaca dari mobil yang menjadi tameng antara dirinya dan peluru, berhamburan diatas kepalanya. Suara ban mendecit menjauh terdengar. Masih melekat ke badan Ivan, menggunakan pria itu sebagai pegangan, Scarlet memberanikan diri mengangkat kepalanya naik. Ivan melepaskan dekapannya dan berdiri. Pria itu membidikkan pistolnya ke arah pengemudi truk yang sudah lewat beberapa meter dari mereka. Satu tembakan terdengar, menembus kaca belakang pick-up, tepat ke belakang kepala pengemudi truk. Membunuhnya seketika. Scarlet tahu, karena mendadak truk membelok patah ke kiri dan menubruk pintu depan minimarket yang baru mereka kunjungi. Ia bisa melihat tubuh pria di belakang kemudi membungkuk diatas setir dan tidak bergerak sementara cairan merah memenuhi isi truk. “Siapa dia?” Scarlet menarik tubuhnya berdiri. Jantung berdetak diluar kendali. Ivan meraih pergelangan tangan Scarlet dan mendorong wanita itu masuk ke dalam mobil sedan yang kini penuh dengan lubang peluru. “Tunggu disini.” Pria itu memberi perintah singkat kepada Scarlet lalu berjalan mendekati pick up sambil menyelipkan kembali senjatanya ke balik pinggang. Pria itu berhenti di sebelah pengemudi yang sudah tidak bergerak lagi dan membuka pintunya. Setelah mengaduk-aduk isi pick up, pria itu kembali ke mobil dimana Scarlet menunggu sambil membawa sebuah tas jinjing mirip dengan yang di miliki pria itu. Ivan melemparkan tas ke belakang dan masuk ke dalam mobil. Ia meraih tongkat perseneling dan menjejakkan kakinya ke pedal gas sekuat tenaga, hampir saja menabrak pagar yang membatasi jalan dan tempat parkir. “Ivan, siapa dia?” Scarlet kembali bertanya sementara mobil terus meluncur dengan kecepatan yang tidak normal. “Hanya salah satu dari orang yang mencarimu. Tidak penting siapa.” Pria itu menjawab sambil melirik sekilas ke samping. “Kenakan sabuk pengamanmu.” Ia memerintah. Scarlet menurut. Sekitar 10 menit mereka berkendara tanpa bersuara dijalanan yang lengang. Masing-masing sibuk dengan pikiran mereka sendiri hingga akhirnya mobil memelan dan berhenti karena lampu merah. Scarlet tidak tahu dimana dirinya saat ini, tapi melihat jalanan yang sepi dan rumah-rumah kecil yang berderet di pinggir jalan berseling dengan kebun dan ladang, sepertinya ia sedang ada di sebuah kota pertanian kecil. Hanya ada sebuah mobil minivan yang berhenti didepan mereka. Jantung Scarlet yang tadinya sudah hampir berdetak normal, langsung terhenti ketika dilihatnya Ivan menjulurkan badannya maju untuk mengamati spion samping mobilnya. "Ada apa? Apakah ada yang mengikuti kita? Pria itu menggeleng. “Ambil tas di belakang dan keluar dari dalam mobil.” Mendadak ia memberi perintah sambil membuka pintu mobil dan meraih pistolnya kembali keluar. Kaget, Scarlet tetap membeku di kursinya. Pandangan wanita itu mengikuti gerak-gerik Ivan yang kini mengacungkan pistolnya ke dalam mobil minivan sambil memerintahkan sesuatu yang tidak bisa di dengar oleh Scarlet karena pria itu mengucapkannya dengan nada suara rendah. Tapi ia tidak perlu mendengar untuk paham apa yang dilakukan Ivan ketika seorang kakek tua keluar dari sisi pengemudi, kedua tangan terangkat ke atas tinggi-tinggi. Ia merampas mobil kakek tua itu. Ivan menoleh kembali ke arah Scarlet dan mengerutkan dahinya ketika malihat wanita itu belum beranjak. “Sekarang.” Terdengar suara Ivan memerintah. Tergesa-gesa, Scarlet melakukan apa yang diinginkan Ivan. Menenteng dua tas jinjing yang berat dan barang yang baru saja mereka beli, Scarlet memindahkan nya ke mobil minivan. Ivan menyentak pintu minivan tertutup dan melesat maju bahkan tanpa menunggu lampu berubah menjadi hijau. “Bukan hanya pembunuh apakah kau juga adalah seorang pencuri mobil? Apa-apaan, Ivan?” Pertanyaan Scarlet dipenuhi dengan kemarahan dan kekagetan. “Aku tidak punya pilihan. Mereka pasti sudah menandai mobil Hector,” Ivan menjawab. “Aku perlu menyingkirkannya secepat mungkin.” “Tapi… pria tua itu… perlukah kau mengambil kendaraannya dan mengancamnya? Ia terlihat sangat ketakutan.” Scarlet kembali menolehkan wajahnya kebelakang dan sempat melihat pria yang baru saja mereka rampok, menaikkan tangannya ke atas sambil menatap sendu ke arah mereka. *** Hari sudah sore ketika van yang di naiki keduanya akhirnya keluar dari jalan beraspal dan masuk ke jalan setapak berkerikil yang tersembunyi diantara tingginya hutan pohon pinus. Ivan memelankan kecepatan mobil, menubruk pelan ranting-ranting yang tumbuh melewati jalan setapak yang sepertinya sudah lama tidak di lalui oleh siapapun. Akhirnya kendaraan berhenti di depan sebuah kabin berdinding kayu. Scarlet keluar dan membanting pintu truk yang keras, masih kesal dengan keputusan Ivan untuk merampok mini van dari pria tua tadi, sementara Ivan keluar dari sisi pengemudi sambil menenteng dua tas jinjingnya. Wanita itu mengamati sekelilingnya. Selain kabin yang dikelilingi pepohonan tidak ada lagi yang terlihat dari tempatnya bendiri. Perhatiannya kini beralih ke bagian depan kabin. Sebuah dek dengan dua kursi dari kayu terlihat di bagian depan kabin. Berdebu dan dipenui dedaunan kering. Ivan sudah masuk terlebih dahulu, Scarlet menyusul. Wanita itu menutup pintu dan kini mengalihkan perhatiannya ke isi dalam kabin. Tidak banyak perabot di dalamnya, hanya benda esensial, seperti kompor, meja, kursi, sebuah sofa, ranjang berukuran queen dan satu ruangan lain di sudut yang menurut tebakan Scarlet kamar mandi. “Kau bisa mandi jika kau ingin.” Suara Ivan terdengar sementara pandangan Scarlet masih terarah ke ruangan disudut kamar. Pria itu menurunkan dua tas jinjing ke atas meja, lalu berjalan ke arah jendela yang tertutup tirai dari kain. Pria itu meraih tirai dan menyentaknya terbuka. Langit terlihat masih terang walaupun matahari sudah mulai menghilang di balik awan, menyisakan jejak oranye kekuningan. “Ivan.” Scarlet memanggil hendak mengucapkan sesuatu yang kemudian terhenti oleh balasan pria itu. “Aku lebih memilih kau tidak memanggil namaku.” Scarlet mengatupkan bibirnya. “Mengapa? Itu namamu bukan? Aku mendengar rekanmu memanggilmu dengan nama itu. Masa aku harus kembali memanggilmu dengan sebutan Tuan?” Ivan menggeleng kesal. Pria itu berjalan kembali ke meja dan membuka tas jinjing yang barusaja disitanya dari pria ber truk hitam yang tak lain adalah salah satu rekannya, Nicholas. Terhitung sudah dua orang Klan mengejarnya. Pertama Hector, kini Nicholas. Ivan mengira-ngira siapa lagi yang akan diutus oleh Chad. “Lupakan. Mandilah.” Ia menggumam. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD