6. Aku Tahu

1806 Words
“Dan jika ia menolak?” Hector bertanya dengan kepala terangkat menantang. “Kita pikirkan nanti.” Tawa kecil terlepas dari bibir Hector tapi ia tidak berani bergerak. Matanya mengawasi pistol di tangan Ivan yang, walaupun tidak terarah kepadanya, tapi ia tahu bisa mengirimkan otaknya berhamburan kebelakang dalam waktu sepersekian detik. “Apa yang kau lakukan adalah kesalahan besar, Ivan.” Pria itu berucap melalui giginya yang terkatup rapat. “Jika wanita yang kau inginkan, aku yakin Moxley bisa memberimu gantinya sebanyak yang kau mau. Asalkan bukan wanita itu.” Hector menunjuk ke arah Scarlet dengan dagunya. “Katakan apa misi mu, Hector?” Ivan meneruskan interogasinya mengabaikan celotehan Hector. Pria itu mengatupkan bibirnya, tidak langsung menjawab. Ivan mengangkat pistolnya dan wajah Hector langsung berubah. “Ok. Ok.” Pria itu berteriak. “Chad memerintahkan membunuhmu dan membawa wanita itu hidup-hidup.” Moxley ingin Scarlet dalam keadaan hidup. Sesuai dengan tebakan Ivan. Rupanya yang diinginkan Moxley bukan lah rekaman, tapi Scarlet. Hal ini membuatnya kehilangan kekuatan barter. Moxley sudah pasti tidak akan menyetujui permintaannya. “Bagaimana kau menemukan kami secepat ini?” Ivan bertanya. “Fck you, Ivan!” Tanpa peringatan, Ivan menarik pelatuk senapan di tangannya. Scarlet bahkan tidak melihat Ivan bergerak dari tempatnya ketika menembak. Semua gerakan pria itu terlihat pasti dan terhitung. Tidak ada gerakan yang tidak perlu. Tubuh Hector tersentak kebelakang, hampir saja terjatuh dari kursinya. “Mther Fcker!!” Hector menjerit. Tangannya meraih pahanya yang barusaja tertembak, persis sama dengan sebelahnya. “Bagaimana kau mengetahui keberadaanku, Hector?” Ia mengulangi perintahnya sekali lagi, tanpa menaikkan nada suaranya seperti sebelumnya. Hector menggeram kesakitan. Mengumpat dan menyerapah tapi menjawab, “Perhiasan. Moxley menyelipkan pelacak di kalung yang di kenakan wanita itu.” Scarlet meraba lehernya. Kalung? Ia meraih rantai keemasan itu dan menariknya lepas dalam sekali sentakan. Benda berbandul permata itu sudah bersamanya selama lima tahun. Moxley memberikan kalung itu ketika ia pertama kali masuk ke rumahnya. Rupanya pria itu sudah melacaknya layaknya seekor anjing peliharaan. Dilemparkannya benda itu jauh-jauh. Ivan mengalihkan pandangannya kembali ke Hector. “Letakkan tanganmu ke belakang.” Perintah Ivan. Tidak ada perlawanan kali ini, pria itu menurut. “Scarlet. Kemarilah.” Kali ini perintah tertuju pada Scarlet yang masih membeku di tempatnya. Tubuh wanita itu menolak untuk bergerak. Matanya terpaku ke wajah Hector yang menyeringai ke arahnya. “Scarlet.” Panggilan Ivan yang kedua kalinya membangunkan wanita itu. “Ya?” Ia menjawab. “Kemarilah.” Ivan mengulangi. Setelah beberapa saat, sambil menghisap ingus yang terasa meleleh keluar dari hidung, wanita itu bergerak. Suara pecahan kaca yang terinjak sepatu terdengar, sementara wanita itu berjalan perlahan menuju ke arah Ivan berdiri. Seorang anak buah Moxley terkapar di tengah lorong yang hendak dilewati oleh Scarlet, membuat wanita itu terpaksa harus melangkahkan kaki melewati tubuh pria itu. Scarlet menahan nafasnya, berusaha untuk tidak menatap wajah pria yang membujur kaku diantara kakinya. Sebagai gantinya, ia menatap lurus ke arah Hector. Wajah pria itu tidak berubah. Masih menyeringai ke arahnya walaupun sudah terkena dua buah tembakan di kakinya. Tapi dari nafasnya yang terengah-engah dan keringat yang membanjiri wajahnya, Scarlet tahu, pria itu pasti kesakitan. “Aku mendengar banyak hal tentang p*****r ini, Ivan.” Hector kembali berkata tanpa mengalihkan perhatiannya dari Scarlet. Mata pria itu menatap seksama tubuh Scarlet sambil menjilat bibirnya sendiri dengan cara yang, menurut Scarlet, menjijiknya. Pria itu kemudian mengalihkan pandangannya kembali ke pada Ivan, “Jika kau merasa kasihan padanya, maka kau sudah diperdayai. Dari yang kudengar, p*****r itu diperlakukan bak seorang ratu oleh Moxley. Ia adalah kesayangannya.” Ucapan hector membuat Scarlet meremas telapak tangannya sendiri menahan rasa malu. “Moxley membawa p*****r ini kemana-mana dan ia tidak perlu memaksa. p*****r itu dengan senang hati memberikan dirinya sendiri untuk melayani.” Scarlet mengeratkan rahangnya oleh ejekan Hector, menahan air matanya agar tidak keluar. Sebagian dari ucapan pria itu tidak lah salah. Moxley memang tidak pernah memaksanya. Ia memang memberikan dirinya sendiri dengan suka rela untuk membayar hutangnya. Tapi tuduhan bahwa dirinya p*****r, membuat Scarlet ingin membela diri. Setidaknya di hadapan Ivan. Pria itu sudah menganggap rendah dan sering menghinanya. Apa yang dikatakan Hector pasti akan kian memperkeruh pendapat pria itu tentangnya. Bagaimana jika Ivan kemudian memutuskan untuk berhenti membantunya? Tapi Scarlet menahan diri untuk tidak bersuara. Akan ada waktunya untuk ia menjelaskan. Tidak sekarang. Seakan tidak terpengaruh oleh ucapan Hector, Ivan menunjuk ke arah tas jinjing yang kini tergeletak tak jauh dari kakinya. “Buka resleting terdepan. Ada tali di dalamnya. Keluarkan.” Scarlet berjalan mendekat. Ia bisa merasakan jantungnya yang berdetak kian kencang, menyaingi suara nafas Hector yang menderu. Dengan tangan gemetaran, Scarlet menunduk dan meraih bagian depan tas berwarna hitam itu dan menarik resletingnya terbuka. Botol pil milik Ivan langsung terlihat. Akhirnya setelah mengaduk-aduk beberapa saat, barulah Scarlet menemukan apa yang dicarinya. Sebuah tali berwarna coklat yang kasar. Wanita itu menatap kembali ke wajah Ivan menantikan perintah berikutnya. Pria itu menunjuk ke arah Hector dengan dagunya. “Ikat tangannya.” Jantung Scarlet terasa jatuh ke kakinya mendengar perintah Ivan. Ia melirik ke arah Hector yang masih menyeringai. Bagaimana jika pria itu mencengkeramnya lalu mencekiknya hingga mati? Mending. Bagaimana jika pria itu berhasil menyeretnya kembali ke Moxley? Scarlet pernah melihat apa yang dilakukan Moxley pada wanita-wanita yang berani kabur. Pria itu pasti akan menghajarnya habis-habisan. Lalu menjualnya ke rumah pelacuran dimana nasibnya pasti akan jadi jauh lebih buruk daripada sebelumnya. Itu jugalah salah satu alasan mengapa ia tidak pernah melawan. Percuma melawan jika ia tidak bisa membela diri. “Jangan khawatir.” Suara Ivan terdengar. “Ia tidak akan berani mencoba macam-macam. Jika sampai ototnya membuat satu gerakan yang menurutku mengancam, aku akan membunuhnya. Ia paham aku tidak main-main.” Scarlet bisa melihat seringai di wajah Hector menghilang mendengar ucapan Ivan. Rahang pria itu berkedut sementara mukanya sekali lagi kembali masam. Ivan menganggukkan kepalanya sekali lagi. “Lakukan,” perintahnya kepada Scarlet. Tidak punya pilihan, Scarlet memaksakan kakinya untuk berjalan mendekat sementara tangannya meremas tali dalam genggamannya. Ia bisa mencium bau keringat Hector yang memuakkan bercampur dengan parfumnya yang berbau pedas ketika ia berdiri di belakang pria itu dan mulai melilitkan tali ke pergelangan tangannya. “Masih ada kesempatan untuk berubah pikiran, Love.” Hector mencoba merayu. “Tuan Moxley masih akan memaafkanmu jika kau berubah pikiran. Yang kau perlukan hanyalah ikut denganku kembali ke Metro. Lalu semua ini akan berakhir. Kau bisa kembali ke kehidupanmu yang nyaman bersama pria itu. Menikmati semua kemudahan yang diberikan oleh Tuan Moxley. Semua akan kembali seperti sedia kala… layaknya tidak pernah terjadi apa-apa.” Scarlet mengatupkan mulutnya rapat. Kembali pria itu menganggapnya sebagai w************n milik Moxley. Apakah dikiranya hidup bersama Moxley penuh dengan pelangi dan kupu-kupu? Apakah ia tidak paham apa yang harus di lakukannya setiap harinya? Moxley jarang mengasarinya, karena Scarlet selalu berusaha untuk tidak memberi alasan pada Moxley untuk menghukumnya, tapi bukan berarti pria itu tidak pernah memukulnya. Moxley bukan tipe mafia yang sering di ceritakan dalam film dan novel picisan. Yang galak kepada orang lain tapi romantis kepada wanitanya. Tidak. Moxley kasar, pandai memanipulasi, apa yang diinginkannya wajib di kerjakan, tanpa bantahan. Pernah suatu kali, ketika ia baru beberapa minggu tinggal di rumah pria itu, Moxley menguncinya di kandang anjing di luar rumah, ditengah musim dingin, mengenakan gaun tidur tipis. Semua hanya karena ia sakit kepala dan menolak untuk melayani. “Tidak. Aku tidak akan pernah kembali.” Scarlet akhirnya menjawab. “Lima tahun adalah waktu yang cukup untuk membayar hutangku pada Moxley. Aku tidak akan pernah menginjakkan kaki ke rumah itu lagi.” “Kau tahu ia tidak akan berhenti hingga mendapatkan apa yang diinginkannya. Apakah kau kira pria itu akan selamanya melindungimu?” Hector kini menatap kearah Ivan sebelum melanjutkan, “Ia adalah pembunuh, Love. Jika kau mengira ia memiliki rasa kasihan, maka kau sudah membohongi dirimu sendiri.” “Berhenti. Bicara.” Ivan menggeramkan kalimatnya pelan. Hector tertawa tapi tidak lagi mengucapkan apa-apa. Begitu ikatan terpasang erat, Scarlet menegakkan tubuhnya dan kembali menatap ke arah Ivan. “Ambil kunci mobil dari sakunya dan bawa kemari.” Pria itu melanjutkan instruksinya. Scarlet melakukan apa yang di perintahkan. Mengacuhkan Hector yang menarik nafasnya dalam-dalam ketika kepala Scarlet berada di depannya, wanita itu menyelipkan tangannya ke saku celana pria itu dan menarik sebuah kunci dari dalamnya. Begitu mendapatkan yang diinginkan Ivan, Scarlet langsung berjalan menjauhi Hector dan berdiri di sebelah Ivan. Pria itu meraih kunci dari tangan Scarlet dan menyelipkan pistolnya ke balik punggungnya, tersembunyi di balik jaket kulit. Ivan kemudian membungkuk meraih tas jinjingnya dan mengalungkan tas itu ke pundaknya. Tanpa disangka oleh Scarlet, pria itu kemudian menyambar pergelangannya dan menariknya ke arah pintu. Matahari yang bersinar membuat Scarlet memicingkan matanya ketika Ivan mendorong pintu terbuka. Pria itu menggiring Scarlet menuju satu-satunya mobil yang terparkir di halaman. Sebuah sedan berwarna gelap. “Masuk.” Ivan memerintah sambil menunjuk pintu penumpang. Ia sendiri memasukkan tas jinjing ke kursi belakang dan memutari mobil menuju kursi pengemudi. Begitu Ivan menutup pintu, ia melirik ke arah Scarlet. “Kenakan sabuk pengaman.” Ivan memasukkan kunci untuk menyalakan mesin dan truk menggeram ksar bersamaan dengan suara klik dari sabuk pengaman yang di kenakan oleh Scarlet. “Apakah ada perhiasan lain yang berasal dari Moxley?” Pria itu bertanya sambil menoleh ke belakang, memundurkan mobilnya dengan kecepatan lebih kencang dari yang seharusnya. “Tidak.” Scarlet membalas. “Bagus.” Ivan kembali menoleh ke depan, memasukkan gigi maju dan menginjak gas cukup dalam. Menyentak mobil kedepan dan meninggalkan kepulan debu di belakangnya. “Kau sudah membunuh dua orang lagi.” Scarlet menggumam pelan. Bayangan wajah pria yang tergeletak diatas meja kembali menghantuinya. “Lebih baik mereka dari pada kita.” Jawaban Ivan yang enteng membuat Scarlet ingat akan ucapan pembunuh bayaran bernama Hector. Ia tahu Hector hanya mencoba mempengaruhinya dengan ucapan-ucapannya, tapi ia benar tentang Ivan. Pria itu tidak memiliki rasa kasihan. Sama seperti Moxley. Scarlet masih tidak paham mengapa Ivan membantunya, jelas pria itu tidak mengharapkan imbalan apapun darinya. Baik uang maupun tubuhnya. Pria itu menganggapnya murahan, dan apa yang baru saja di katakan Hector, tentang dirinya dan Moxley, pasti hanya membuat pandangan Ivan kepadanya semakin buruk. “Asal kau tahu, aku bukan pelacur.” Scarlet tiba-tiba merasa perlu membela dirinya sendiri. Entah mengapa, mungkin takut bahwa Ivan akan berubah pikiran lalu membawanya kembali ke Metro. Ivan menurunkan satu tangannya dari atas setir dan kini meletakkannya diatas pa-ha. Ia tidak merespons celetukan Scarlet, tapi Scarlet bisa merasakan lirikan pria itu dari ujung matanya. Scarlet menyandarkan kepalanya ke sisi jendela kaca, tidak ingin menatap ke arah Ivan. Ia tidak akan pernah terbiasa dengan penilaian di wajah pria itu. “Entah kau percaya atau tidak. Tapi aku bukan wanitamurahan.” Scarlet melanjutkan ketika akhirnya pria itu kembali menatap ke depan. Beberapa menit berlalu tanpa ada balasan, Scarlet menghembuskan nafas dan kembali mengamati pepohonan yang bergerak menjauhinya. Merasa sia-sia dengan pembelaan dirinya. Mendadak suara Ivan terdengar. “Aku tahu.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD