12. Klik

1912 Words
Scarlet baru sadar bahwa ia mencengkeram kemudi minivan sekuat tenaga ketika kini tangannya terasa kebas. Air matanya sudah kering, bahkan jika ia masih ingin menangis, ia sudah tidak punya tenaga lagi untuk melakukannya. Entah sudah berapa lama ia berkendara, ia bahkan tidak tahu ke arah mana Metro. Untung lah setelah beberapa kali bertanya, ia akhirnya menemukan jalan tol yang mempermudahnya menemukan tujuannya dengan semua penunjuk jalan. Ia melirik ke kursi di sebelahnya, dimana ia meletakkan pistol dan jaket milik Ivan, sambil memikirkan apa yang hendak di lakukannya begitu tiba di rumah Moxley. Ia akan memohon, meminta maaf, melakukan apapun agar Moxley bersedia melepaskan ayahnya. Ia akan berjanji untuk tidak pernah berpikir melarikan diri lagi. Dan begitu Moxley melepaskan ayahnya, ia akan menggunakan pistol Ivan untuk membunuhnya. Biasanya anak buah Moxley akan melakukan pemeriksaan. Memastikan tidak ada yang bersenjata ketika masuk ke dalam kompleks. Ia hanya berharap mereka mereka menganggapnya remeh, hanya pelacr bodoh yang tidak mungkin berani berbuat macam-macam. Setidaknya itulah harapannya. Scarlet berkendara nonstop, hanya berhenti sejenak ketika terlalu lelah atau untuk membeli makan dan bensin menggunakan uang yang ditemukannya di jaket Ivan, ia akhirnya tiba juga ke kota yang dikenalinya. Wanita itu mengemudikan minivannya hingga tiba di sebuah yang kompleks terpisah dengan yang lain. Berpagar tinggi, dengan kawat berduri diatasnya, kompleks itu lebih mirip sebuah penjara daripada tempat tinggal. Scarlet tidak yakin ia akan bisa keluar dari kompleks itu untuk kedua kalinya, ia bahkan tidak ingat bagaimana ia dulu berhasil melakukannya. Tidak ada rumah lain di sekitar kompleks, hanya semak dan pepohonan. Begitu tiba di gerbang, Scarlet menurunkan jendela mobilnya dan menunggu. Ia tahu ada kamera mengawasi pintu masuk 24 jam. Sekarang siapapun yang sedang berjaga, pasti sudah tahu bahwa ia ada di depan. Benar, tidak sampai semenit, gerbang bergerak terbuka, menunjukkan jalan beraspal masuk ke dalam kompleks. Scarlet menarik nafas dan mulai menjalankan kendaraannya masuk. Ia masih mengenakan gaun tidur yang sudah berhari-hari tidak di ganti, dan tidak punya tempat untuk menyembunyikan pistolnya, jadi kini ia hanya mendekapnya erat di ketiaknya, tertutup oleh jaket kulit Ivan yang di pakainya. Delapan orang berdiri di depan gedung utama. Semuanya bersenjata dan dikenalnya sebagai orang-orang Moxley. Namun ada satu orang yang ia tidak pernah melihat diantara kedelapannya. Seorang wanita. Berambut pirang dan berdiri agak terpisah dari yang lain. Scarlet meremas kemudi dalam genggamannya, rasa panik mulai muncul akan rencananya yang dibuatnya sambil berjalan. Tidak ada persiapan sama sekali dan tidak ada waktu untuk berpikir, ia hanya bisa berharap semua berjalan sesuai dengan bayangannya. Begitu sampai di depan gedung utama, Scarlet menghentikan minivan. Dua anak buah Moxley langsung menghampiri dengan senapan terangkat. Salah satunya membuka pintu di samping Scarlet dan mengacungkan ujung senapan ke arahnya. “Keluar.” Ia memerintah. Scarlet menurut. Ia mendekapkan kedua lengan memeluk dirinya sendiri, berusaha menahan pistol di ketiaknya agar tidak terselip jatuh dan bergerak turun. Pria itu mencengkeram lengan Scarlet, menariknya menjauh dari minivannya. Scarlet bisa merasakan jantungnya melorot ke perutnya ketika pria itu menyelipkan sentaja yang dibawanya ke balik pinggang lalu menjulurkan tangannya ke arah tubuhnya. Pria itu hendak memeriksa. Dan sudah pasti akan langsung menemukan senjata yang terselip diantara jaketnya tanpa perlu mencari. Scarlet sudah bersiap untuk mengacungkan senapannya dan mengancam ketika mendadak wanita yang tidak dikenalinya berkata, “Kurasa wanita ini terlalu bodoh untuk berpikir sejauh itu.” Wanita itu menghampiri Scarlet. Tangannya meraih lengan Scarlet dan menariknya agar mengikutinya. “Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri jika ia macam-macam.” Ia berkata pada pengawal bersenjata yang tidak menjawab tapi membiarkan. Pandangan mata Scarlet berpapasan dengan wanita yang kini terlihat mengembangkan senyuman ke arahnya. Aroma parfum mahal tercium dari tubuh wanita itu, tapi tangannya yang mencengkeram lengannya menarik perhatian Scarlet. Sebuah tato terlihat menyembul keluar dari sweater lengan panjang yang di pakainya. Ujung dari simbol yang ia yakin adalah huruf V mirip dengan yang dimiliki Ivan dan Hector. Scarlet menahan nafasnya ketika mengetahui bahwa wanita itu pasti salah satu anggota Klan. Apakah ia diperintahkan untuk membunuhnya? Scarlet bisa merasakan getaran di kakinya semakin ia masuk ke dalam rumah. “Aku mengenal tatomu.” Ia berucap. “Kau adalah rekan Ivan?” Scarlet mencoba mengorek informasi sekaligus berusaha mengalihkan perhatiannya dari situasi yang hendak di hadapinya. Mata wanita itu menyipit. “Ivan, huh?” Nada suaranya terdengar mengejek. “Rupanya kalian sudah sangat akrab hingga saling memanggil nama depan? Entah apa yang membuatnya ikut campur dengan urusan Moxley dan gundiknya. Kurasa pensiun membuatnya menjadi bodoh.” Scarlet menggertakkan giginya dan menghembuskan nafasnya keras melalui hidung. Ia baru bertemu dengan wanita itu sekali dan ia sudah langsung membencinya. “Ivan tidak bodoh. Mungkin… ia memiliki hati nurani. Mungkin ia lebih manusiawi dari pada semua anggota Klan kalian.” Jawaban masam yang diberikan Scarlet membuat wanita itu tergelak kecil. Scarlet bisa merasakan nadanya yang mengejek ketika wanita itu melanjutkan. “Oh… Aku tahu apa yang terjadi. Kau pasti mengira Ivan sudah terpukau oleh pesonamu yang bertingkah seolah-olah kau adalah seorang korban. Asal kau tahu, aku mengenal Ivan sejak kecil, dan ia bukanlah pria yang berhati nurani. Semua yang ia lakukan, ia lakukan demi kebaikannya sendiri. Alasannya menolongmu, aku masih tidak paham, tapi yang pasti bukan karena ia memikirkan tentang keselamatanmu. Buktinya, ia tidak mengikutimu kemari kan?” Scarlet tidak menjawab. Walau ia tidak ingin mempercayainya tapi sebagian kecil dari dirinya tahu bahwa apa yang dikatakan wanita itu benar. Akhirnya mereka sampai ke ruang kerja Moxley. Sebuah dorongan ke bahu Scarlet dan tidak ada lagi yang menghalangi wanita itu dari Moxley kecuali sebuah meja dan kursi di depannya. Wajah Moxley tampak gusar tapi sebuah senyuman tersemat di bibirnya yang tipis. “Ah akhirnya… Scarletku.” Pria itu berdiri dengan kedua tangan terentang ke depan. Wajahnya terlihat liar membuat seluruh tubuh dan tulang Scarlet membeku karena ketakutan. “Aku merindukanmu, Sayangku.” Ia memiringkan wajahnya ke samping agar terlihat tulus. “Mengapa kau tega meninggalkanku? Jika kau tidak bahagia, mengapa kau tidak memberitahuku? Aku pasti akan melakukan apapun yang kau inginkan, kau tahu kan?” Scarlet menatap Moxley dengan pandangan memohon. “Ku-kumohon, Moxley. Ayahku. Lepaskan ayahku. Aku sudah di sini. Jadi lepaskan dia.” Pria itu masih tersenyum, menurunkan tangannya dan terlihat terhibur oleh permohonan wanita itu. Moxley mengenakan setelan hitam, dari atas sampai bawah. Kemeja hitan, jas hitam, celana hitam, sepatu hitam, bahkan rambut dan matanya berwarna hitam. Sesuai dengan hatinya yang hitam. Pria itu melambaikan tangannya. Mengisyaratkan agar Scarlet mendekat. “Kemarilah. Biarkan aku melihat mu lebih dekat.” Scarlet berjalan mendekat. Karena terburu-buru dan dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar, ia tidak memakai alas kaki ketika meninggalkan kabin. Kini kakinya yang te lanjang menyusuri lantai dingin dari marmer yang mendasari seluruh gedung utama kompleks Moxley. Scarlet berjalan pelan, mengitari meja hingga akhirnya berdiri di sebelah Moxley dan baru menyadari bahwa wanita berambut pirang yang tadi menyeretnya masih mengikutinya dan kini berdiri di dekat pintu dengan tangan terlipat di depan tubuhnya. Scarlet bertanya-tanya apakah wanita itu akan membunuhnya ketika ia akhirnya menarik senjatanya ke arah Moxley? “Apakah ia menidurimu?” Pertanyaan Moxley mengalihkan perhatian Scarlet. Pria itu kini sudah berdiri dan meraih tangan Scarlet, menarik wanita itu mendekat. “Apakah kau membiarkannya menidurimu atau apakah kau masih menjadi milikku?” Pria itu menjorokkan tubuhnya ke depan dan menarik nafas dalam-dalam mencium aroma wanita itu. “Kau tercium seperti bau pria lain.” Ia menggeram pelan. “Ti-tidak.” Scarlet menjawab cepat. Mengapitkan senjata di dalam jaketnya erat, tapi benda berat itu terasa mulai melorot dari tempatnya karena badannya yang berkeringat. “Aku akan selamanya menjadi milikmu, Tuan Moxley.” Scarlet meneruskan bisikannya. Moxley meraih helaian rambut Scarlet yang terjatuh di depan wajah wanita itu dan memainkannya dengan jemarinya. Pria itu berbau parfum yang sama dengan yang biasa di pakainya. Aromanya langsung membuat perut Scarlet merasa mual karena mengingatkannya akan malam-malam ketika pria itu mendatangi kamarnya. “Jangan membohongiku, Scarlet.” Ia menggeram di telinga wanita itu, Scarlet bisa merasakan hangatnya nafas Moxley di tengkuknya. “Kau tidak seharusnya melarikan diri dariku.” Scarlet mengangkat tangan kanannya dan membelai tengkuk pria itu dengan lembut. Kemudian ia menyandarkan kepalanya ke da-da pria itu dan berbisik. “Aku tahu. Aku hanya takut kau akan marah karena aku sudah lancang masuk ke ruang bawah tanah malam itu. A-aku tidak berpikir panjang.” Ia lalu mendongak dan memberikan kecupan ringan di leher Moxley. “Maafkan aku sudah meninggalkanmu, Cintaku.” Ia menambahkan. Pria itu mendesah lalu meraih kebawah. Tangannya menyelinap ke dalam celana Scarlet dan menyelipkan dua jarinya ke dalam wanita itu. Scarlet gemetaran dan menahan nafas, berusaha terlihat menikmati walaupun perutnya dipenuhi oleh perasaan jijik dan rasa mual. Tapi ia sudah terbiasa. Tidak peduli apa yang dijeritkan oleh benaknya, tubuhnya sudah terlatih untuk bereaksi akan sentuhan Moxley seolah ia menginginkan. Ia bahkan bisa merasakan dirinya mulai basah di bawah sana, yang kadang membuatnya membenci dirinya sendiri. Ini adalah sesuatu yang tidak bisa dikontrolnya, semacam insting untuk bisa bertahan hidup. Karena ia tahu, ia perlu membuat Moxley percaya bahwa dirinya menginginkan pria itu. Moxley menarik keluar tangannya dan membawanya mendekat ke mulutnya, menghirup aromanya dalam-dalam sebelum kemudian memasukkannya ke dalam mulut dan mengecapnya. “Sayangnya, aku tidak yakin bahwa aku masih menginginkanmu.” Ia berkata dengan nada ringan. Gumpalan terasa di tenggorokan Scarlet, membuat wanita itu susah untuk bernafas. Jika pria itu sudah tidak menginginkannya, apa yang akan terjadi padanya? Apa yang akan terjadi pada ayahnya? Ia pasti akan membunuhnya. “A-aku minta maaf.” Scarlet berkata, berusaha membuat pria itu merubah pikirannya. “Bagaimana kalau kita ke kamar sekarang? Aku akan melakukan apapun yang kau mau.” Pria itu mengerutkan bibirnya dan menggeleng. “Kau membuat kepalaku tidak pada tempatnya, Scarlet. Obsesi ku kepadamu….” Pria itu menjulurkan tangannya meraih laci paling atas mejanya dan membukanya. “…berbahaya.” Ia melanjutkan. Scarlet memundurkan tubuhnya bisa merasakan perubahan dari gerak gerik pria itu. “Dimana ayahku?” Wanita itu bertanya sambil mengambil selangkah lagi mundur. “Mati.” Moxley menjawab ringan. Seolah seseorang baru saja menanyakan cuaca kepadanya. “A-apa…” Tangan Scarlet mulai terasa kaku, keras dan membeku di sisi tubuhnya. “Aku membunuhnya setelah aku membuat video itu.” Ada rasa bangga dalam suara Moxley yang membuat perut Scarlet terasa mual. Tubuh wanita itu kini gemetaran oleh berbagai perasaan yang muncul, kemarahan, kesedihan, kebencian, rasa bersalah, dan tentu saja ketakutan. “Tapi kau bilang…” Scarlet mengalihkan perhatiannya dari wajah Moxley yang masih mengaduk-aduk ke dalam laci ke wanita berambut pirang di pinggir pintu. Wanita itu tidak bergerak, mematung seolah sedang menunggu sesuatu. Scarlet kembali menatap ke arah Moxley. “Kau bilang, jika aku kembali….” “Tidak ada yang kabur dari ku, Sweetheart.” Tangan Moxley akhirnya keluar dari dalam laci dan kini terangkat ke arah Scarlet, pistol melekat diantara genggaman tangannya. “Aku menginginkanmu kembali hanya agar aku bisa membunuhmu dengan tanganku sendiri.” Langkah Scarlet terhenti. Kakinya membeku. Satu tangan masih melekat di sisi tubuhnya menjepit benda yang seolah bertambah berat setiap detiknya, sementara yang lain menemukan perutnya, menekan muntahannya agar tidak naik. Sementara ia berusaha menahan badannya agar tidak jatuh, matanya menatap melintasi jarak yang memisahkannya dari Moxley, ke dalam mata gelap dan tidak berdasar milik pria itu. Bukan ke ujung pistol yang terarah kepadanya. Bukan. Melainkan ke tatapan dingin pria yang sudah mengubahnya hingga menjadi seperti ini. Moxley berkedip sekali, kemudian sebuah suara terdengar. Klik. Hanya klik. Sebelum kemudian melihat kebingungan nampak di wajah Moxley, diikuti dengan teror. Lalu, sebuah tembakan terdengar. Dan tubuh Scarlet tersentak ke belakang. Kakinya akhirnya menyerah dan badannya melayang, terjatuh ke atas lantai marmer yang dingin. *** ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD