15. Cantik Dan Kalah

1281 Words
“Ya, Moxley sudah mati. Aku sudah memastikan kematiannya dengan mataku sendiri.” Seorang wanita berambut pirang berujar dalam bahasa Russia yang fasih ke dalam ponsel yang ada di telinganya. “Ya. Ya. Polisi datang tak lama setelah kalian pergi.” Ia melanjutkan. “Ya. Gadis itu masih hidup. Ia bukan bagian dari kontrak—” Wanita itu mengatupkan bibirnya rapat dan menarik nafas perlahan agar tidak terdengar melalui ponsel yang di genggamnya. “Jadi sekarang kau ingin aku membunuhnya? Mengapa?” Suara Phoenix yang tadinya profesional mendadak berubah. Ia menggertakkan rahangnya. Beginilah bekerja dengan orang yang tidak profesional. Seenaknya merubah kontrak. “Ok. Ok. Aku paham. Bukan urusanku untuk mengetahui alasannya. Baiklah. Baiklah. Kirimkan berkasnya padaku.” Wanita itu mematikan sambungan dan memundurkan punggungnya ke belakang. Permainan yang dilakukannya sudah semakin berbahaya. Menerima pekerjaan diluar Klan tanpa sepengetahuan Chad, bisa membuatnya terbunuh, Scarlet tahu. Tapi ketika Levy, tangan kanan Moxley menawarkan kontrak di bawah meja untuk nyawa bosnya, dengan bayaran 3x lipat yang ditawarkan oleh Chad untuk membunuh Ivan, tentu saja ia tidak bisa menolak. Toh bukan dirinya yang membunuh Moxley, jadi ia tidak melanggar aturan Klan. Ia tadinya mengira Ivan yang akan melakukannya, tapi ketika melihat gadis itu muncul sendirian, dengan pistol terselip di balik jaketnya. Terus terang, ia merasa penasaran sejauh mana gadis itu akan berani melakukan rencananya. Dan rupanya, gadis itu cukup mengejutkannya dengan berani menarik pelatuk dan membunuh Moxley. Sekarang, Levy menawarkan satu juta dollar untuk membunuh seorang pe lacur? Sesuatu terasa janggal. Tapi… uang adalah uang. Apalah arti satu nyawa. Benar bukan? *** *** Scarlet sudah tertidur ketika Ivan keluar dari kamar mandi. Pria itu meraih tas yang masih digeletakkannya di pinggir pintu dan membawanya ke lemari pakaian. Dikeluarkannya sepucuk pistol dari dalamnya yang kemudian di sembunyikannya di bawah sofa. Setelah mematikan lampu di dalam kabin, meninggalkan ruangan berwarna biru kehitaman dari cahaya bulan yang menembus tirai jendela, pria itu kembali ke sofa dan berbaring diatasnya. Merasa sangat lelah dan kehabisan tenaga setelah apa yang terjadi, ia memejamkan matanya, berniat untuk mendapatkan istirahat yang sangat dibutuhkannya saat ini. Mendadak terdengar suara dari arah ranjang, “Ivan.” Scarlet memanggil pelan, entah terbangun atau sebenarnya belum tertidur. “Bawa aku bersamamu.” Ia melanjutkan seakan tahu bahwa pria itu belum terlelap. “Seperti yang kukatakan, aku bisa membantu. Kau bisa mengajariku, melatihku untuk melakukan apapun yang menurutmu bisa kulakukan.” Ivan mendesah pelan. “Kau tidak berpikir jernih saat ini.” Pria itu menjawab, memahami keadaan Scarlet lebih daripada wanita itu sendiri. Ivan meluruskan punggungnya, menyelipkan satu lengan ke bawah kepalanya dan melanjutkan, “Kau hanya tidak ingin aku meninggalkanmu karena kau tidak ingin sendirian di dunia ini. Karena kau belum pernah benar-benar sendiri. Bebas untuk melakukan apapun… menjadi siapapun yang kau inginkan. Bebas untuk memilih dengan siapa kau memberikan tubuhmu. Menjalani kehidupan yang normal. Jatuh cinta, berkeluarga. Kau hanya tidak terbiasa.” Ivan berhenti sejenak. “Kini Moxley sudah meninggal, kau bebas, Scarlet. Aku bisa membantumu memulai kehidupan yang baru. Memberimu identitas baru dan uang untuk melakukan apapun yang kau inginkan. Katakan, jika kau bisa memilih, kota mana yang akan kau tuju?” Scarlet tidak menjawab. Ivan mengira wanita itu sedang memikirkan pertanyaannya, tapi kemudian ia tahu bukan itulah yang dipikirkan Scarlet. “Tapi aku ingin bersamamu.” Wanita itu bersuara dengan nada was-was. “Aku... tidak memiliki siapapun. Aku tidak memiliki tujuan. Aku bahkan tidak tahu siapa diriku.” “Dan seperti yang kukatakan, aku bisa memberimu identitas baru.” Ivan mengingatkan. “Setelah apa yang kualami, kehidupan normal bukan lagi apa yang kuinginkan, Ivan.” Terdengar suara gesekan diatas ranjang, seolah wanita itu sedang merubah posisi tidurnya. “Benar aku dulu sering membayangkan,” ia melanjutkan. “Bagaimana rasanya seandainya saja ibu tidak sakit. Bagaimana rasanya kuliah, memiliki kekasih, teman. Atau bekerja layaknya kebanyakan wanita seusiaku. Betapa aku berharap bisa memutar kembali waktu dan merubah keadaan. Aku rela memberikan apapun untuk mendapatkan kembali hidup yang terampas dari genggamanku ketika aku berusia 18 tahun. Tapi setelah tiga tahun bersama Moxley, aku akhirnya berhenti memikirkannya. Aku akhirnya sadar dan menerima bahwa ini lah kehidupanku sekarang. Aku membenci setiap hari yang kujalani, tentu saja. Aku membenci Moxley. Aku membenci diriku sendiri yang membiarkan pria itu melakukan apapun yang diinginkannya padaku. Aku benci karena tidak bisa melawan. Aku membenci ayah karena membiarkan hal itu terjadi padaku. Bahkan kadang, aku membenci ibu yang, karena penyakitnya, membuatku harus menjadi milik Moxley.” Scarlet menelan ludahnya dengan susah payah sementara ia berusaha untuk melupakan ingatan menyakitkan akan kehidupannya. Setelah berhasil mengumpulkan kembali ceceran emosinya, ia pun melanjutkan. “Beberapa kali aku berpikir untuk membunuh diriku sendiri. Sayang keberanian ku untuk melakukannya tidak cukup atau aku tidak akan berada di sini. Aku masih ingin hidup. Seberapa tersiksanya, seberapa menjijikkannya hidupku, aku ingin hidup.” Ia kembali berhenti sejenak, menarik nafasnya yang terasa panas. “Mau tidak mau aku akhirnya menerima kehidupan yang kumiliki.” Scarlet meneruskan. “Aku berhenti membenci kehidupanku, dan walaupun aku tidak mencintai Moxley, aku berhenti membencinya. Tidak ada yang normal dari diriku, Ivan.” Terdengar suara gemerisik dari ranjang diikuti langkah kaki pelan menghampiri sofa. Ivan masih terdiam, berbaring di sofa, hingga wajah Scarlet akhirnya nampak ke dalam pandangannya. Wanita itu terlihat lelah. Kalah. Cantik, lembut, dan terluka, berdiri masih mengenakan gaun tidurnya yang sudah kian tidak berbentuk, penuh dengan noda lumpur, darah, dan keringat. Cantik dan kalah. Tatapan Scarlet melekat dalam benak Ivan. Hanya satu yang ingin dilakukannya saat itu, yaitu mengusir wanita itu dari hadapannya. Karena jika tidak, jika Scarlet terus memaksanya dengan bibir penuh kesedihan dan kelembutan itu, ia tahu ia akhirnya akan menyerah. Dan semuanya akan berakhir dengan salah satu dari dua kemungkinan. Dirinya meniduri wanita itu. Atau membunuhnya. Ivan bisa melihat dalam mata Scarlet. Bagaimana wanita itu sedang berusaha menjangkaunya. Tidak peduli dan tidak takut lagi akan nasibnya. “Scarlet.” Ivan berusaha untuk mengusir wanita itu kembali ke ranjangnya. “Jika apa yang kau katakan benar, kau tidak akan berada di sini. Kau tidak akan melarikan diri dari Moxley. Percayalah, kau tidak ingin bersama dengan pria sepertiku. Seorang pembunuh berdarah dingin..” “Kembalilah ke ranjangmu. Jangan membuatku menyesal sudah menolong nyawamu, Scarlet.” Ivan mengancam, berusaha menghindari keinginan di mata Scarlet yang perlahan diinginkannya juga. Tapi wanita itu tidak bergeming. Ia tahu apa yang akan dilakukannya mungkin akan membawa kemarahan dari Ivan. Mungkin pria itu kemudian akan menyesal sudah menolongnya, seperti yang diucapkannya. Mungkin Ivan akhirnya akan membunuhnya. Tapi perasaannya terasa hampa saat ini. Seperti jiwanya. Seperti jiwa pria itu. Bagaimana bisa seseorang melewati kehidupannya tanpa emosi, tidak pernah tergantung pada siapapun atau apapun seperti Ivan? Tapi kini menatap mata pria itu, ia bisa melihat sesuatu yang lain. Sesuatu yang sepertinya tertidur dan menunggu. Sesuatu yang dipenuh oleh kekuatan yang membuat Scarlet ingin memahami, merasakan,dan mencicipinya. Wanita itu mengamati d**a berotot Ivan yang menghembuskan nafasnya teratur tanpa suara, bagaimana bibir pria itu kini mengatup rapat, bagaimana rahangnya kini tampak berdenyut oleh kemarahan yang mungkin ditujukan kepadanya. Pria itu berbaring terlentang, satu tangan masih berada di belakang kepala. Hanya tertutup boxer hitam, lekukan badan berotot pria itu membuat perut Scarlet berdigik oleh keinginan. Scarlet menyelipkan ibu jarinya ke karet elastis di pinggangnya dan menariknya kebawah, melangkahkan kakinya keluar satu persatu keluar. Kemudian ia meraih ujung gaun yang di pakainya, kali ini menariknya melewati kepalanya. Lalu dengan gerakan yang sangat perlahan, ia memanjat naik ke atas tubuh Ivan. Hanya dalam waktu sepersekian detik setelah ia mengalungkan kakinya ke pinggang Ivan, ia bisa merasakan tangan pria itu mencengkeram rambutnya ke belakang. Entah kapan pria itu meraih senjatanya, kini ujung pistolnya yang dingin sudah melekat ke dagu Scarlet, memaksakan kepalanya tertarik jauh ke belakang seakan pria itu berniat untuk mematahkan lehernya menjadi dua. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD