14. Luka

1863 Words
Lalu mendadak, ia menyerang. “Kau…” Ia berteriak. “Kau bisa membantuku. Tapi kau menolak. Kau menolak, Ivan. Kau membiarkanku kembali sendirian.” Wanita itu menangis, memukul kan kepalan tangannya ke d**a pria itu sekuat mungkin. Ivan membiarkan. Pria itu tidak bergerak dan membiarkan Scarlet menumpahkan semua luapan emosinya. Semua kemarahan, semua kesedihan, semua ketidak berdayaan dan keputus asaan. Ia bisa merasakan semuanya dalam setiap pukulan wanita itu ke badannya. Ia biarkan Scarlet melampiaskan semua emosinya hingga wanita itu tidak mampu lagi mengangkat tangannya. Hingga tubuhnya yang kehabisan tenaga melorot terjatuh di bawah kaki pria itu. Tapi pria itu tidak membiarkan Scarlet terhempas. Ia meraih punggung wanita itu, dan sebelum tubuhnya terjatuh menyentuh lantai, ia melingkarkan lengannya mengelilingi pinggang wanita itu dan membawanya ke dalam pelukannya. Kali ini ia kembali membiarkan Scarlet menangis tersedu ke dadanya. Dengan nafas tersedak oleh air mata, ia membiarkan tangan Scarlet yang gemetaran meremas jahitan kerah kemeja yang dikenakannya dan membiarkan air mata wanita itu membasahi bagian depan kemeja yang dikenakannya. “Kau membiarkanku sendirian…,” Ia terus mengulang ucapannya terus menerus hingga kalimatnya mengabur menjadi sebuah bisikan. “Kau membiarkanku sendiri….” Ivan memeluk wanita itu. Dengan canggung. Ia tidak pernah melakukan hal semacam ini sebelumnya. Ia tidak pernah bertemu dengan orang yang mengalami luka dan kepedihan semacam ini sebelumnya dan berharap untuk di pulihkan olehnya. Ia tidak paham bagaimana cara memperbaikinya. Bahkan sejak kecil, tidak pernah ada orang yang memeluknya seperti ini ketika ia terluka. Tidak orang tua angkatnya, tidak Chad, atau Phoenix. Ia bahkan tidak ingat lagi rasa sebuah pelukan. Ia merasa keinginan yang kuat untuk mencium ujung kepala Scarlet. Tapi ia tidak melakukannya. Sama dengan keinginan untuk memeluk Scarlet lebih erat, benar-benar membawa wanita itu ke dalam dekapan tubuhnya. Tapi ia tidak bisa membiarkan dirinya melakukannya. Setelah beberapa menit, isakan wanita itu memelan, lalu berubah menjadi desahan nafas yang lebih teratur. “Kau terluka.” Wanita itu mendorong badan Ivan ketika menyadari bahwa bagian samping kemeja pria itu basah oleh darah. “Ya, tapi aku akan baik-baik saja.” “A-apakah kau tertembak?” Kini Scarlet sepenuhnya melepaskan dekapannya dan melangkah mundur. Pria itu membuka kancing kemejanya hingga ke bawah, menampakkan otot d**a dan perutnya yang terdefinisi. Tapi yang diperhatikan oleh Scarlet hanyalah banyaknya darah yang masih merembes. “Sebutir peluru mengenaiku. Pergilah ke kamar mandi. Di lemari, diatas wastafel, aku menyimpan kotak P3K. Bawakan kemari.” Scarlet masih tertegun, menatap bergantian antara rembesan darah di pinggang Ivan lalu kembali ke mata pria itu, lalu kembali lagi ke pinggangnya, berusaha melihat luka aslinya. Pria itu melepaskan kemejanya sepenuhnya dan menjatuhkannya ke lantai. Yang kemudian membuat perhatian Scarlet beralih ke tubuh pria itu. Penuh kekuatan yang membuatnya… tertarik. “Scarlet?” Suara Ivan mengalihkan perhatiannya. Wanita itu kembali mendongak. “Ba-baiklah.” Scarlet berlari ke kamar mandi dan membuka lemari. Tidak butuh waktu lama sebelum ia akhirnya keluar dengan membawa sebuah kotak berwarna merah di tangan. Ivan kini berdiri di depan cermin yang tertempel di depan lemari pakaian, memiringkan badannya dengan canggung agar bisa melihat lukanya lebih jelas. Scarlet bisa melihatnya kali ini. Sedikit diatas garis celana panjangnya, tak jauh dari tulang pinggangnya, sebuah lubang yang terlihat cukup dalam. Walau sepertinya sudah tidak lagi terlalu mengucurkan darah, tapi setidaknya ia sudah menahan lukanya sejak keluar dari rumah Moxley. Scarlet mendekat, dan meletakkan kotak merah diatas ranjang. Mengeluarkan isinya satu persatu. “Apakah pelurunya masih di dalam?” Ia bertanya, masih tidak bisa melepaskan pandangannya dari pinggang Ivan. “Ya.” Pria itu berjalan ke ranjang dan meraih botol 70% alcohol. “Tidak dalam.” Ivan memutar tutup botol dan menuangkan separuh isinya ke pinggangnya, menggeram sambil menutup matanya hingga rasa pedihnya berlalu. “Kita berada di perjalanan selama dua hari dan kau membiarkan lukamu? Mengapa kau tidak segera merawatnya? Atau mendatangi rumah sakit?” Scarlet bertanya. Apa yang dilakukan Ivan terasa tidak masuk akal. Jika tidak karena ia menyadari darah di kemeja pria itu, sepertinya Ivan akan membiarkan lukanya entah hingga kapan. Apakah pria itu menahan lukanya karena… “Ivan….” Scarlet memanggil, ingin memastikan tebakannya. Pria itu berjalan ke tas hitamnya yang ada di dekat pintu dan mencari sesuatu di dalamnya. “Ya?” Ivan membalas, tanpa menoleh ke arah Scarlet dan tampak lebih memperhatikan pisau yang baru saja di temukannya dari dalam tas. Scarlet sudah hendak membuka mulutnya, bertanya apakah pria itu memiliki perasaan lebih padanya. Awalnya, ia berpikir pria itu paling menganggapnya sekedar perbuatan amal. Pria kaya pun kadang menyumbang kepada yang miskin karena merasa berdosa. Mungkin itulah yang dilakukan Ivan. Hingga pria itu menyusulnya ke Metro dan bahkan menahan lukanya hanya agar bisa membawanya ke tempat yang lebih aman. Tapi sadar bahwa mungkin tebakannya jauh meleset dan hanya akan membuatnya malu sendiri, Scarlet membatalkan pertanyaannya. “Uhm… apakah kau butuh bantuan?” Ia mengalihkan pertanyaannya. Pria itu terdiam sejenak sebelum menggeleng. “Tidak. Aku bisa melakukannya sendiri.” Pandangan Scarlet mengikuti Ivan yang kini berjalan kembali ke depan lemari dan mulai memiringkan tubuhnya di depan kaca. “Kau bahkan tidak bisa melihat lukanya dengan jelas.” Scarlet menunjuk ke punggung pria itu. “Biarkan aku membantumu. Katakan apa yang perlu kulakukan. Aku tidak sepenuhnya tidak berguna. Aku bisa mengikuti petunjuk.” Pria itu kembali memikirkan tawaran Scarlet. Cukup lama, hingga Scarlet mengira ia akan kembali menolak. Tapi kemudian pria itu melepaskan celana panjangnya. Berdiri hanya mengenakan boxer hitam yang menutupi lekukan maskulin dari bawah pinggang hingga ke atas pahanya, pria itu menoleh ke arah Scarlet yang terlihat mengawasi gerakan pria itu tanpa berkedip. “Di saku kemejaku, ada sebuah pematik api. Bisakah kau ambilkan?” Wanita itu mengangguk. Bertekat untuk tidak membiarkan tubuh fit Ivan mengganggu konsentrasinya. Yang perlu dilakukannya sekarang adalah membantu Ivan mengeluarkan peluru itu. Dan ia berniat untuk melakukannya dengan serius. Scalet meraih kemeja penuh darah milik Ivan dari lantai dan memasukkan tangannya ke dalam saku. Ia langsung menemukan benda yang dicari. Sekilas diamatinya benda perak bertuliskan NIX ditangannya itu sebelum diserahkannya kepada Ivan. Pria itu membakar ujung pisau dengan pematik api beberapa lama sebelum kemudian menyerahkannya kepada Scarlet. Wanita itu tidak pernah melakukan sesuatu seperti ini sebelumnya. Mengeluarkan peluru dari tubuh seseorang. Tapi ia tahu ia bisa menghadapi darah. Berkali-kali ia merawat wanita-wanita yang mengalami kekerasan di rumah Moxley. Entah dari pukulan atau yang lain. Pernah suatu kali salah seorang wanita datang padanya dengan jari hampir putus dan ia merawat wanita itu bahkan menjahit lukanya. Menunggu instruksi Ivan, Scarlet memegang gagang pisau dengan tangan kanannya. “Seperti yang kukatakan, pelurunya tidak terlalu dalam. Gunakan ujung pisau untuk mencarinya dan mencungkilnya keluar.” “Baiklah.” Scarlet menjawab walaupun tidak yakin. Ivan menurunkan sebelah boxernya lebih ke bawah hingga ke tulang panggulnya untuk mempermudah Scarlet melihat lukanya. Tanpa bisa dicegah otomatis mata Scarlet menyusuri tubuh pria itu, mulai dari pada tanda lahir dipunggungnya ke otot keras di atas tulang pinggul Ivan, sebelum kemudian ia sadar bahwa masih ada yang perlu di lakukannya. Ia menarik kursi dari meja makan dan membawanya mendekat. Kini duduk, ia akhirnya bisa sejajar dengan luka si pinggang pria itu. Scarlet mengangkat pisau naik dan bisa merasakan wajahnya memanas ketika pandangannya tanpa sengaja terarah ke garis bentuk kejantanan pria itu yang terbalut boxer hitamnya yang ketat. Scarlet memejamkan matanya sejenak, tidak ingin membiarkan kelebihan genetik pria itu untuk merusak konsentrasinya. Dengan hati-hati, ia memasukkan ujung pisau ke dalam luka Ivan. Tidak ingin melukai Ivan lebih parah, butuh waktu lama bagi Scarlet untuk bisa menemukan apa yang dicarinya. Hingga Ivan yang tidak sabar akhirnya berkomentar. “Lebih cepat kau lakukan lebih baik, Scarlet.” Suara pria itu terdengar kesal. “Seperti menarik plester dari sebuah luka. Semakin lama kau melakukannya, akan semakin sakit rasanya.” Scarlet menggigit bibirnya. Ia meletakkan tangan kirinya ke paha keras Ivan sebagai pegangan, lalu dengan tangan kanannya, mendesakkan pisaunya lebih jauh ke dalam. Scarlet bisa merasakan otot disekitar paha pria itu mengeras, tapi ia terlalu tidak tega untuk mendongak dan menatap wajah Ivan yang sudah pasti sedang menahan rasa sakit. “Apa yang membuatmu berubah pikiran dan mengejarku ke Metro?” Scarlet bertanya, sebagian untuk mengalihkan perhatian pria itu dari rasa sakitnya, sebagian karena ia ingin tahu. “Entahlah.” Scarlet mendongak dan menemukan wajah Ivan tidak terarah padannya. “Anggap saja alasan yang sama dengan mengapa aku memutuskan untuk menolongmu pagi itu.” “Yaitu?” “Bisakah kau bekerja lebih cepat dan jangan terlalu banyak bertanya?” Ivan menghela nafas, terlihat semakin kesal, lebih karena tidak ingin menjawab pertanyaan Scarlet daripada alasan yang disebutkannya. “Maaf.” Scarlet menggumam dan melanjutkan pekerjaannya. Akhirnya, ujung pisau nya merasakan sesuatu yang keras. Scarlet mencoba mencungkil dan peluru mendenting ke lantai. Diikuti cucuran darah dari luka Ivan. “Ambil perban.” Pria itu menunjuk ke atas ranjang. Sementara Scarlet melakukan perintahnya, Ivan kembali mengguyurkan alkohol ke lukanya yang berdarah, menggeram dan mengeratkan giginya lebih keras dari sebelumnya. “Tidakkah kita perlu menjahit lukanya?” Scarlet bertanya ketika melihat banyaknya darah yang masih mengucur keluar dari luka Ivan. “Aku tidak punya jarum untuk menjahitnya. Untuk sementara tutup saja lukanya dengan kapas.” “Tapi—” “Jangan khawatir. Aku akan hidup.” Ivan mengisyaratkan ke arah Scarlet untuk melakukan perintahnya. “Kau sebaiknya hidup. Jika tidak… siapa yang akan melindungiku.” Scarlet berkata sambil kembali duduk ke atas kursi. “Sepertinya kau benar.” Ivan membalas. Jika saja situasi berbeda, jawaban Ivan pasti membuat hati Scarlet berbunga. Sayangnya ia mengerti untuk tidak terlalu menganggap jawaban Ivan lebih dari sekedar celetukan. “Tumpukkan saja kasa ke dalam lukanya sebanyak mungkin, gunakan tanganmu untuk menekan lukanya lalu tutup dengan plester.” Pria itu melanjutkan instruksinya. Tanpa mengindahkan darah yang mengotori tangannya, Scarlet melakukan perintah Ivan. Ia menjejalkan kasa sebanyaknya dan seperti yang di katakan oleh Ivan, lukanya tidak lah dalam. Tidak sampai 3 senti. Setelah plester menempel, Ivan menaikkan kembali boxernya keatas, menutupi luka di pinggangnya. “Aku akan mandi,” ucapnya seraya berjalan ke arah kamar mandi. “Jangan buka pintu untuk siapa pun dan jangan mengintip keluar jendela. Terima kasih atas bantuanmu.” “Ya. Tentu saja.” Scarlet membalas merasa canggung dengan percakapan keduanya. Setelah apa yang dilaluinya, tetap saja pembicaraannya dengan Ivan terasa bagaikan dua orang asing yang baru saja saling kenal. Mungkin keadaan akan berubah setelah ini? Entahlah. Sementara air mulai terdengar di kamar mandi, Scarlet membereskan ceceran darah dan perban, lalu mencuci tangannya. Tidak ada lagi yang bisa dilakukannya ia pun membaringkan tubuhnya ke atas ranjang. Sambil menatap ke langit-langit kamar, benak Scarlet kembali memikirkan tentang kejadian di rumah Moxley. Rasa bersalah kembali menghantuinya. Ia tidak berhasil menyelamatkan ayahnya. Ia bahkan tidak tahu apa yang terjadi pada jenazah ayahnya. Moxley hanya mengatakan ia sudah membunuhnya. Mungkin ada baiknya ia tidak melihat. Setidaknya dengan begini ia bisa berpura-pura bahwa pria itu masih hidup. Ia bisa membohongi dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa pria itu hanya meninggalkannya pergi dan suatu saat akan mendadak muncul, meminta maaf karena telah meninggalkannya. Dan kembali mereka akan menjadi keluarga utuh seperti sebelum ibunya sakit. Ya, itu lah yang akan dilakukannya. Ia pandai berpura-pura. Dengan begini, rasa bersalah nya mungkin akan berkurang dan ia tidak lagi hidup dengan membawa beban. Scarlet memejamkan matanya. Setetes air hangat merembes melewati pipinya sementara matanya terasa kian berat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD