Rabu pagi tampak sangat cerah padahal tadi malam, sekitar pukul dua pagi, kota metrapolitan ini diguyur hujan yang cukup deras. Marcell rasa, rintikan air ini akan bertambah besar. Namun nyatanya prediksinya sama sekali tidak tepat.
Berhubung hari ini jam pertama adalah olahraga, semua siswa dan siswi yang menempati kelas Xl IPA 3 buru-buru pergi ke lapangan utama.
Melakukan pemanasan selalu mereka lalukan, itu sangat penting untuk dilaksanakan. Selagi melakukan gerakan mengayunkan tangan, Marcell sendiri masih berusaha mencari sosok Resti, menyapu pandangan ke sekitar, dan meneliti wajah cewek-cewek yang berada di kelasnya.
Beberapa saat kemudian Marcell membuang napasnya dengan pelan, ekor matanya tidak menemukan ke beradaan Resti. Di mana cewek itu? Padahal tadi pagi Marcell sempar melihat tas punggung milik pacarnya itu meja.
Lima menit berselang, pemanasan sudah dilakukan. Beberapa siswa memilih melanjutkan olahraga, sementara sebagian yang lain menepi ke samping lapangan, berteduh lebih tepatnya. Biasanya hal ini dilakukan oleh para kaum hawa yang takut oleh sengatan panas sinar matahari yang membakar kulit. Takut hitam.
Marcell semakin cemas, Resti masih belum kunjung datang ke sini, namun sorot mata Marcell kemudian bertubrukan dengan mata nyalang milik Weeby. Merasa terganggu dengan pancaran mata Marcell, Weeby segera memalingkan wajahnya, ia tidak mau Marcell terus menatapnya seperti itu. Kejadian kemarin membuat perasaan Weeby kacau.
Namun, Weeby malah harus menghadapi makhluk menyebalkan itu pagi ini. Marcell dengan tubuh tegap dan kokoh sudah berdiri dihadapannya dengan sepasang senyum miringnya. Entah aksi menyebalkan seperti apa yang akan Weeby dapatkan kali ini.
"Mau apa?" Weeby bertanya dengan ketus selepas ia mendongakkan kepalanya ke atas, menatap Marcell penuh selidik.
"Gue mau tanya sama lo."
"Gue lagi nggak buka sesi Q & A. Awas, gue mau pergi."
Seperti sebelum-sebelumnya, Weeby tidak akan terbebas begitu saja dari Marcell. Setelah satu langkah menjauh, dengan siaga Marcell langsung menyeret Weeby agar kembali ke posisi semula.
Weeby segera menepis dengan kasar tangan marcell yang masih melekat dengan kuat di lengan seragamnya. Weeby malas meladeni Marcell untuk saat ini.
"Gue mau tanya, sebentar doang! Lo dengerin ini baik-baik."
Weeby berkacak pinggang. Memasang telinga untuk mendengar pertanyaan bodoh yang akan terlempar dari mulut milik marcel.
"Lo tau Resti ada di mana nggak? Gue nggak lihat dia dari tadi pagi."
Mendesah berat, Weeby tersenyum getir. Dugaannya ternyata sama sekali tidak meleset, Marcell pasti menanyakan keberaan cewek itu.
"Nggak."
Weeby segera berlalu, meninggalkan Marcell di tempat setelah berucap dengan tegas tadi. Tidak peduli dengan panggilan cowok itu yang masih terdengar. Namun, Weeby kemudian tersekat, tidak lagi menyeret kakinya, untuk beberapa saat ia pergi dari lamuannya. Dan pada detik setelah itu, Weeby segera membalikkan badan dan berjalan menghampiri Marcell.
Melihat kedatangan Weeby, spontan membuat dahi Marcell berkerut.
"Istirahat temui gue di taman belakang. Itu kalo lo nggak mau nyesel."
Tanpa menunggu jawaban dari cowok dihadapannya, Weeby langsung berlalu menuju teman-temannya yang duduk lesehen di pinggir lapangan, di bawah pohon mangga lebih tepatnya.
Menurut info yang Haidar sampaikan, ketua kelas XI IPA 3, Pak Tono tidak bisa mengajar dikarenakan ada urusan mengenai persiapan lomba yang akan diadakan tiga hari lagi.
Alhasil, mereka boleh melakukan olahraha apa saja. Bukannya menurut, semua siswi di kelas ini memilih untuk ngerumpi. Kebiasaan seorang cewek yang tidak bisa dipisahkan.
Sedangkan semua kaum adam dengan heboh dan semangatnya mengusai lapangan. Beberapa dari mereka memilih futsal sebagai pengisi waktu luang, namun ada juga yang mengisi waktu kosong ini untuk bermain basket.
Dengan bodohnya, Weeby malah terus menatap Marcell yang sedang menggiring bola, tatapannya begitu dalam, sampai kedipatan matanya tidak terlihat.
Bagaimana cowok itu berlari, mengoper bola ke timnya, menendang bola, sampai tersenyum dengan semangat saat berhasil mencetak gol, itu semua tidak terlepas dati gestur raut wajah weeby.
Untuk sesaat, Weeby tersipu dengan Marcell, cowok itu terlihat sangat cool dan memanjakan mata. Bagaimana keringat dingin yang keluar dari pelipis dan lehernya membuat Marcell sangat memesona. Apalagi ketika cowok itu menyebikkan rambut basahnya ke belakang, sontak saja Weeby menelan salivanya. Weeby dapat mengakui, Marcell memang gantengnya kebangetan.
Tepukan yang mendarat dibahunya membuat Weeby sadar dari lamunannya, ia berdecak dan segera memalingkan wajahnya ke samping, menatap cewek yang memgganggu itu.
"Lihat apaan lo By? Kok serius amat sih?" Sepasang alis Uti terlihat naik ke atas, curiga dengan gelagat Weeby.
Terlebih lagi ketika mendapati pertanyaan itu, Weeby langsung gelagapan.
"Gue lihat anak cowok-cowok main futsal," jawab Weeby pada akhirnya. Tidak sepenuhnya jawaban Weeby salah, ia sedari tadi memang tengah menonton pertandingan itu yang tak lain dan tak bukan dimainkan oleh teman cowok sekelasnya.
"Tuh Marcell By, ganteng ya dia."
"Iya ganteng."
Weeby tersenyum lebar, matanya lurus menangkap sosok Marcell dengan sepasang bibir yang terangkat ke atas saat cowok itu berhasil mencetak gol lagi. Memang kadang Marcell bersikap menyebalkan dan manis diwaktu bersamaan. Namun, Weeby merasa ada kejanggalan, perhatiannya ia alihkan ke arah Uti. Cewek tambun itu masih terkikik akan jawaban Weeby yang mengudara beberapa detik yang lalu.
"Enggak, maksudnya Fino. Iya Fino Ti." Weeby beralibi. Tentu saja Uti hanya tersenyum riang.
Weeby segera menepuk-nepuk mulutnya berulang kali karena sudah berucap dengan sembarangan. Weeby juga merasa malu akan ucapannya sendiri, seketika juga pipinya sudah memunculkan semburat merah. Hey, Weeby tidak rela memuji ketampanan cowok yang setiap hari bersikap menyebalkan dengannya.
"Berati lo naksir sama Fino?" Tak berhenti sampai di situ, Uti masih saja menggoda Weeby.
"Apaan sih, jangan bahas itu lagi deh, pusing gue."
"Cie pusing. Pasti karena ulah Marcell yang udah cool abis itu, kan?"
"Bukan cool, tapi Marcell nyebelin. Cool dari mananya coba?" Weeby mencebikkan bibir, lalu menyilangkan tangannya di depan d**a.
"Menurut lo dari mana?"
"Dari lubang sedotan," balas Weeby ngawur. Tak mau memikirkan hal itu lagi, lantas ia mengangkat bokongnya, dan dilanjutkan menyeret kaki kecilnya menjauh dari lapangan.
"Mau ke mana By?"
"Kantin. Gue lagi ngambek sama lo. Jadi lp ngak usah ikut gue Ti."
Weeby segera meninggalkan Uti, entah kenapa sahabatnya itu menjadi menyebalkan seperti ini. Tak mau mendengar, Uti langsung menyusul Weeby, ia menganggap hanya ucapan Weeby barusan sekadar candaan semata.
"Ngapain lo ikut, lo nggak denger gue ngomong apa tadi?" tanya Weeby dengan alis yang hampir menyatu.
"Gue bakal ymtraktir lo By."
"Seriur?"
"Nggak."
"Yah, kok nggak sih?"
"Tapi duarius."
Binar wajah Weeby langsung terbit kembali, ia bersorak penuh gembira. Orang mana yang nggak mau makan secara gratis, kan? Uti memang yang paling terbaik!
Beberapa jam setelah Uti dan Weeby makan di kantin.
Dengan napas yang terdengar tidak beraturan, langkah kakinya semakin kencang, terus menerjang puluhan orang. Uti masih berusaha berlari dengan segenap tenaga yang tersisa sedikit.
"Weeby, lo harus ke kelas sekarang!"
Napas yang memburu seperti itu membuat kalimat yang berusaha Uti ucapkan tidak terdengar dengan jelas di telinga Weeby.
Weeby yang baru saja keluar dari bilik toilet, sehabis meminum obat seperti biasa, memdadak terkaget akan teriakan nyaring dari Uti.
"Uti lo kenapa?" Weeby setengah panik, menepuk-nepuk pundak Uti. Cewek itu masih kelelahan, raut wajahnya juga terlihat sangat pias.
"Ayo, lo balik ke kelas, ini gawat banget!"
"Emang ada apa sih?"
"Udah lo ikut aja, buruan!" Uti menyeret lengan Weeby agar segera ikut dengannya. Weeby yang masih setengah bingung hanya bisa menurut, kakinya terus terseret ke depan.
Jantung Weeby terasa berhenti berdetak, kumpulan suara gaduh yang bercampur aduk menjadi satu di udara membuat Weeby semakin bingung. Ada kejadian apa di kelas sampai suara-suara nyaring itu memekakkan telinga?
Kali ini, karena merasa penasaran yang sungguh kuat, langkah Weeby semakin cepat. Pintu kelas kemudian dibuka olehnya, sorot mata dari semua teman kelasnya langsung menoleh kedatangannya.
Sebagian tertawa mengejek, namun tidak sedikit pula yang mencibir dengan perkataan pedas. Ada apa ini? Kenapa Weeby mendapati semua itu? Weeby rasa, dirinya tidak mempunyai secuil kesalahan pun kepada mereka, kalaupun ada, toh tidak mungkin juga sampai mereka memaki seperti itu.
Weeby masih mematung dengan tubuh tegap seraya mengerlingkan matanya menatap teman kelasnya dengan dahi yang memunculkan garis-garis lurus vertikal.
"Dasar munafik."
"Diam-diam udah nyoba ya, By."
"Emang lo diprawanin siapa sih By?"
"Ih kok mau sih, sampai hamil pula tuh."
"Betewe, cowoknya mau tanggung jawab nggak, ya?"
"Eh, rasanya gimana sih By nyoba kayak gituan, enak ya?"
Suara sahut menyahut itu sungguh membuat Weeby semakin pening. Apalagi ditambah dengan efek obat yang diminumnya barusan. Ada apa dengan mereka? Kenapa menuduh Weebu begitu memohoknya?
"Apa yang kalian semua maksud?" Dengan suara lirih, Weeby memalingkan muka, meneliti wajah teman-temannya satu persatu. Yang ia butuhkan sekarang hanya jawaban dari mereka.
"Ck, nggak pantes muka sok polos ditaruh di muka buluk lo itu By. Nggak usah pura-pura nggak tau deh. Semuanya udah terbongkar."
"Iya, lo itu udah nggak suci lagi. Gara-gara lo, nama kelas kita bakalan tercemar. Lo nggak kasihan sama kita semua, ha?"
"Lebih baik lo keluar aja dari kelas ini, kita jadi kena batunya tau. Dasar nggak tau diri!"
Tentu saja mendengar tentang harga dirinya yang diinjak seperti itu membuat perasaan Weeby sakit. Apa maksud dari celaan itu? Mati-matian Weeby menahan air matanya agar tidak tumpah. Hujatan, makian, dan tatapan mata tajam terus menyerang dirinya. Tubuh Weeby sudah bergetar, dadanya terasa sangat sesak.
Dari balik kerumunan siswa dan siswi yang masih mengeluarkan perkataan s***s untuk Weeby, tampak terdengar Resti yang tertawa begitu nyaring. Tawa yang terdengar sangat mengejek. Selepas itu, Resti berjalan mendekat ke arah Weeby, saat tubuhnya sudah dihadapan Weeby, sepasang senyum remeh tercetak di sana.
"Oh ini dia anaknya, ngapain masih di sini? Lebih baik lo minggat sekarang."
Resti berkata sarkastis, jari telunjuknya ia tekankan ke bahu Weeby. Pergerakan Resti yang tiba-tiba itu membuat tubuh Weeby sedikit oleng, namun tidak lama ia segera kembali menegapkan tubuhnya.
"Resti, maksud lo apa? Lo ngusir gue dari kelas?" Dengan intonasi suara yang lemah, Weeby kemudian menyatukan alisnya. Bingung.
"Dih, nggak sadar diri nih anak. Lo itu udah bikin kita semua malu!"
Ucapan restoran barusan membuat jantung Weeby terasa tercubit, Resti lantas tesenyum kian lebar saat teman kelasnya menyetuji ucapannya itu.
"Lo nggak denger? Lo itu nggak pantes ada di sini!"
Lagi, suara Resti menggema. Weeby seperti mati kutu di tempat, mulutnya seolah terkunci dengan rapat.
"Tunggu dulu, kalian semua itu kenapa sih? Gue ada salah?"
Weeby sudah tidak tahan lagi, walaupun pertanyaan hanya dijawab dengan makian yang tak kalah sengit dari sebelumnya, ia berusaha tegar. Selama dirinya tidak punya kesalahan, Weeby akan melawan sekuat tenaga.
"Woy, bener-bener nggak ngaca nih, enaknya diapain nih anak?" Resti berteriak, mengomando dan menghasut teman kelasnya agar terus menghujam Weeby.
"Resti, ini ada apa sih? Sumpah! Gue nggak paham."
"Nggak paham? Yakin lo nggak ngerti?! Apa sebenarnya lo pura-pura bodoh aja?"
Nada suara Resti naik satu oktaf, sorot matanya begitu s***s hingga menusuk manik mata Weeby.
Detik selanjutnya, Resti menengadah wajahnya, menatap teman kelasnya, lalu dilanjutkan dengan teriakan yang membuat Weeby langsung bungkam dengan pacuan jantung yang bergerak semakin cepat.
"Woy gaes, nih anak katanya nggak paham kenapa kita lakuin kayak gini. Emang nggak punya malu atau sok polos sih?" Resti terbahak, diiringi suara lain yang mengikuti. Weeby terjebak, tidak bisa apa-apa. Tentu saja ia kalah jumlah. Uti yang berdiri disampingnya juga tidak bersuara, bingung mau membantu dengan cara seperti apa.
Dalam tatapan yang beradu, Resti kemudian teringat sesuatu, tangannya terulur dan mengambil sebuah benda dari saku roknya. Setelah benda tersebut berada digenggaman tangannya, lantas ekor matanya kembali memancar ke arah Weeby dengan remeh.
"Kalo lo nggak tau apa-apa, lantas ini apa? Lo hamil?"
Mulut Weeby setengah terbuka, tidak percaya akan tingkah cewek dihadapannya ini, terlebih lagi test pack itu diangkat tinggi-tinggi ke udara. Tapi, dari mana Resti mendapatkan itu? Kenapa dia begitu licik menuduh dirinya?
Setelah memutar otak cukup lama, Weeby akhirnya merasa ada kejanggalan. Ya, Resti pasti mengambil dari tas miliknya, saat pelajaran olahraga tadi cewek itu tidak kelihatan sama sekali.
"Gue nemu ini di tas lo, gue nggak nyangka kalo lo melakukan hal menjijikan macam itu."
Weeby mencoba membantah, ia tersenyum kikuk. "Kalian itu udah salah paham. Gue nggak hamil."
"Masih nggak mau ngaku? Ini bukti udah ada ditangan gue, lo nggak bisa ngelak lagi Weeby."
"Sumpah, ini bukan punya gue, kenapa kalian semua nuduh gue?" Weeby berkata lirih.
"BUKTI UDAH DITANGAN GUE, SEMUA INI NYATA, LO NGGAK BISA NGELAK LAGI, UDALAH NGAKU AJA. APA SUSAH NYA SIH?!"
Perkataan Resti yang sungguh kencang itu tanpa sadar menampar harga diri Weeby. Diperlakukan seperti itu, siapa yang terima? Bahkan Weeby sendiri tidak merasa melakukan perbuatan seperti itu. Dan, bukannya sebaliknya Resti sendiri yang sudah mempunyai noda di tubuhnya? Kenapa cewek itu malah menuduh Weeby? Dasar stress.
Weeby masih belum mencerna dengan baik, apa yang Resti mau dari dirinya? Mencoba mempermalukan dengan cara sepert itu?
Kemudian, ada jeda diantara mereka, semuanya diam, tetapi tatapannya masih beradu ke arah Weeby yang menundukkan kepala, sementara Weeby sendiri masih menahan air matanya. Weeby merasa disudutkan hingga lidahnya terasa kelu, Weeby kehilangan kata-katanya.