28. PENGGANGGU KECIL

2131 Words
Marcell segera menepis selimut yang menutupi sebagian badannya, gedoran pintu di luar membuat kepalanya panas dan mendidih. Marcell terpaksa harus keluar karena pembantu di rumahnya sedang pulang kampung. Siapa gerangan orang itu, Marcell ingin menelan hidup-hidup jika bertemu dengannya nanti di depan pintu. Bagaimana tidak kesal? Di sana sudah tersedia bel rumah. Kenapa orang itu tidak mau menekan bel saja? Menyebalkan bukan? Dengan perasaan yang bergejolak, Marcell menurunkan anak tangga dua-dua sekigus untuk segera pergi ke arah pintu karena gedoran itu semakin menjadi. Benar-benar tidak sabaran orang di luar sana. "Tuh kan, gue udah nebak siapa pelakunya, siapa lagi kalo bukan lo berdua!" Marcell memutar kesal sepasang bola matanya, tangannya terulur untuk membuka pintu agar semakin lebar. Novan hanya memasang ekspresi nyengir kuda, sementara Erza menggaruk tengkuknya sembari terkekeh kecil. Dari raut wajah Marcell seraya lipatan tangannya di depan dadanya, mereka berdua tahu Marcell dalam mode keadaan tidak baik-baik saja alias sudah berubah menjadi singa jantan. "Woy kita tuh tamu tauk, suruh masuk dulu kek, pijitin pundak atau apalah, nah ini masa dilantarin di luar," kata Erza sembari berdecak sebal setelah hening tercipta beberapa detik. Kepalanya menggeleng sebanyak tiga kali. Marcell masih berdiri di tempat, diam seraya memandangi Erza dan Novan secara bergantian, tatapannya sungguh tajam, hanya orang tidak normal yang tidak takut dengan hunuskan mata itu. Beberapa detik setelahnya, Erza dan Novan saling pandang sejenak bersamaan dengan pintu yang ditutup oleh Marcell seketika dari dalam. Sebelum pintu berwarna coklat setinggi dua setengah meter itu tertutup dengan sempurna, Erza dengan cekatan memegang ujung pintu, tidak mengizinkan Marcell untuk kembali melakukan hal itu. "Ehh, kenapa di tutup, kita tamu lo woy!" Novan membantu Erza untuk tidak membiarkan Marcell menutup akses keduanya untuk masuk ke dalam rumah, begitu berhasil, Marcell terlihat menghela napas panjang dan berat. "Lo berdua boleh masuk setelah gue tutup pintu dan kalian tekan bel itu, jangan dibiasakan lakuin gedor-gedor pintu, mentang-mentang ini rumah gue, lo berdua nggak sopan gini. Apa lo berdua udah biasa kalo mampir di rumah orang lain sambil mukul pintu kayak tadi?" Erza mengunci mulutnya rapat-rapat, mendengar penuturan dari Marcell. Sedangkan Novan tampak memutar-mutar bola matanya menatap ke arah sekitar, berpura-pura tidak mendengar tudingan dari Marcell. "Gue tutup pintu ini, terus kalian ulangi dengan mencet bel," Marcell berkata sembari menunjukkan bel di sampingnya. "Tapi nanti lo bakal bukain pintu, kan?" "Iya, buruan ulangi!" Tidak ada alasan bagi Novan dan Erza untuk tidak menuruti ucapan Marcell. Keduanya kemudian melakukan apa yang Marvell mau, barulah mereka diperbolehkan untuk masuk. Setelah kejadian pingsannya Weeby karena Marcell tidak bertanggung jawab yang terjadi beberapa hari kemarin, kini mereka bertiga sudah kembali akrab seperti semula. Erza maupun Novan tidak ada niatan untuk lepas hubungan pertemanan dari Marcell, saat itu mereka hanya marah dengan tingkah Marcell yang seenaknya sendiri meninggalkan Weeby di koridor. Sekarang di sinilah mereka berdua, di kamar Marcell yang luas. Asik memainkan PlayStation milik Marcell. "Sedikit lagi gue menang nih." Novan tersenyum lebar, pandangannya sama sekali tidak lepas dari layar di hadapannya. Terlihat sangat terobsesi memainkan permainan itu. Sementara Marcell sudah bosan dengan benda itu karena sudah sering memainkannya. "Lo berdua sebenarnya mau ngapain ke sini?" Jelas Marcell tidak rela jika mereka berdua sering-sering datang ke sini, tingkah Erza dan Novan tidak bisa dikendalikan. Barang yang semula tertata rapi di tempatnya, pasti tidak lama kemudian akan tercecer di lantai. Marcell mendengkus sebal untuk beberapa saat ketika tidak mendapati jawaban dari dua sohibnya itu. PlayStation itu sungguh mengalihkan otak mereka berdua. Marcell semakin gemas, giginya yang tertata rapi membentuk barisan di dalam mulutnya seketika bergemelutuk hingga keras. Sedetik kemudian Marcell bangkit dari duduknya dan berjalan mengendap-endap agar derap langkahnya tidak terdengar ditelinga dua sobihnya itu. Sekali lagi, Marcell memandangi Erza dan Novan yang sangat fokus, bahkan pertanyaan yang sempat terlontar tadi diabaikan oleh keduanya. Sungguh, Marcell tidak terima dengan itu semua. Senyuman sinis Marcell langsung saja terbit bersamaan dengan tangannya yang terulur dan mencabut stop kontak di hadapannya. Dalam satu detik itu seketika layar lebar berukuran 24in dihadapan Erza dan Novan langsung meredup. Terdengar dengusan dan helaan napas frustrasi yang keluar dari mulut mereka berdua. Pandangan Erza dan Novan langsung tertuju pada Marcell yang sedang mengangkat kabel tinggi-tinggi ke udara. Bagaimana tidak merasa kesal dan emosi? Satu babak lagi Novan akan menyelesaikan permainannya dan berakhir dengan kemenangan, dan seketika harus pupus menjadi abu ketika ulah usil Marcell barusan. "Ngeselin lo ya, mentang-mentang yang punya rumah, main cabut kabel seenaknya. Gue dikit lagi menang njir, ah lo ini bikin gue kesel aja Cell." Novan kembali mendesah berat, melipat tangannya dengan angkuh, tatapan yang ia layangkan untuk Marcell terlihat sangat tajam dan menusuk. "Salah siapa coba? Gue tanya lo berdua nggak jawab, ya terpaksa gue ngelakuin hal ini. Jadi, di sini siapa yang salah?" Marcell mengangkat alis kanannya ke atas. Jelas saja Marcell tidak mau disalahkan di sini. Lagipula ia memang tidak salah! "Emang lo tadi nanya apa? Lo denger dia tanya nggak Van?" Erza menyenggol lengan Novan dengan sikutnya, seketika yang ditanya tadi menggelengkan kepalanya bertanda dia sendiri juga tidak tahu menahu dengan itu. Marcell sudah berapi-api, kesal dibuat oleh dua sohibnya itu, lalu dia berjalan kembali ke kasur dan merangkak naik ke atasnya. Emosinya meluap begitu saja. Setelah duduk dengan sempurna di atas tempat tidurnya, Marcell kembali mengeluarkan suara. "Gue tanya, lo berdua ada tujuan apa ke sini?" "Eh Cell, nyokap lo udah balik dari luar kota, kan?" Marcell tersenyum sinis, mereka berdua malah mengalihkan topik utama pembicaraan, maksudnya apaan coba?! "Udah, dari kemarin," jawab Marcell lugas, nada suaranya terkesan malas. "Kok lo nggak bilang dari tadi sih?" Novan mengerucutkan bibirnya hingga maju beberapa senti ke depan. "Terus nyokap lo sekarang ada di mana?" "Di kamar, ada apa lo tanya tanya keberadaan nyokap gue?" Marcell berteriak kencang. "Udah tidur apa belom?" Erza melempar pertanyaan lagi dan disambut jawaban ketus dari Marcell. "Ya mana gue tahu, udah tidur kali." Marcell memandangi gelagat dua sohibnya yang saling berbisik dihadapannya, lalu ia kembali berkata, "Lo berdua ada kepentingan apa ke sini? Jawab gue!" Erza mendengkus pelan, "kita di usir dari rumah." Cukup sampai di sini, Marcell tidak berniat bertanya lagi, otaknya sudah mengepul panas, ia kemudian mengusap wajahnya dengan kasar. Meladeni mereka sungguh lebih sulit daripada menjaga anak kecil. "Cell, gue sama Erza mau pergi ke kamar nyokap lo boleh nggak?" "Mau apa?" Marcell langsung menegakkan tubuhnya, menatap nyalang ke arah Novan. "Gue mau tidur sama nyokap lo, gue tahu nyokap lo pasti kesepian di sana, lumayan, kan, dapat pelukan hangat nyokap lo." Dengan cepat, Marcell melempar bantal ke arah wajah Novan. "Tuh, makan aja bantal." Lemparan bantal menjadi ajang balas dendam dari perkataan Novan barusan. Marcell bersungut sebal, melempar benda empuk itu membabi buta. "Coba ulangi lagi, lo ngomong apa barusan!" Pelototan mata tajam yang Marcell hunuskan sama sekali tidak membuat mereka tergelak. "Gue mau tidur sama nyokap lo, kayaknya enak banget bayanganinnya, boleh dong Cell?" Marcell semakin dibuat marah oleh tingkah Erza barusan, bagaimana tidak? Dengan tampang mengesalkan dan memohon seperti itu membuat Marcell sebal bukan main. Hei, tolong jangan salahkan Marcell yang bersikap seperti itu, mereka saja yang bersikap seenaknya sendiri. "Sebaiknya lo berdua keluar dari kamar gue, sana pulang, gue nggak yakin kalo kalian diusir dari rumah." Gelengan kepala singkat menjadi jawaban yang mereka keluarkan. Tanpa ada niatan untuk beranjak dari kasur, Novan malah kembali menyahut. Apalagi ucapannya membuang emosi Marcell kembali terbakar. "Udah gue bilangin juga, ngeyel banget lo jadi bocah." Bersungut sebal, Novan lalu menampik kepala Marcell hingga cowok yang terkena pukulan itu langsung mengaduh kesakitan. "Gue sama Erza itu mau tidur di sini, yuk Za, kita pergi ke kamar sebelah." Novan sudah mengangkat bokongnya, lalu berbalik badan, dan mengisyaratkan agar Erza segera ikut padanya. Tidak butuh waktu lama menunggu cowok itu, Erza dengan senang hati menurut kemauan Novan pergi ke kamar sebelah, yang sekarang ditempati oleh nyokap Marcell. "Satu langkah lo berdua maju, gue pastikan kalian nggak bisa bernapas lagi." Marcell mengancam penuh intimidasi, ia sudah mengambil ancang-ancang, siap melancarkan aksinya. Tangannya sudah terkepal, dan ia menunjukannya ke udara, mengangkatnya tinggi-tinggi. "Ya elah, bawaannya marah-marah mulu kayak emak-emak kompleks, gue cuma mau main sama nyokap lo doang kok, entah kenapa gue pengin peluk nyokap lo Cell, bayangin itu benar-benar bikin gue b*******h nih," celetuk Novan dengan asal, diiringi dengan kekehan ringan. "Iya, gue nggak tahan lagi nih, tangan gue udah kesemutan, minta dihajar langsung. Nggak sabar sumpah ini." Rasa pusing yang menjalar dikepalanya seketika bercampur dengan emosi yang mendidih. Sungguh kesabaran Marcell sudah habis. Memang mereka sudah keterlaluan sekali. Wajah merah Marcell seketika memancing tawa Erza dan Novan untuk keluar tanpa dikomando lagi, secara bersamaan mereka langsung menyemburkan tawa. Perkataan dua sohibnya hanya candaan biasa, itu semua semata-mata agar Marcell terpancing. Senang rasanya mengganggu cowok itu, bagi Erza dan Novan, hal itu sangat menghibur, apalagi melihat kemarahan Marcell yang membludak, sungguh manusia tidak normal jika tidak ketawa kalau melihat gestur wajah Marcell yang kelewat kocak. Seketika tawa yang menyatu dengan udara langsung senyap saat bersamamu pintu kamar Marcell terbuka dengan lebar. Secara bersamaan, mereka bertiga menoleh ke arah decitan pintu dan menemukan perempuan paruh baya yang berdiri sembari memasang senyum yang begitu menggiurkan. "Ada apa ini? Kok pada ketawa? Sampai terdengar di kamar tante loh," ucap Siska, mama Marcell yang mengenakan pakaian tidurnya. Marcell langsung menyahut, "ada kecoak yang terbang ke wajah Erza tadi ma," balas Marcell asal, semata agar mamanya lekas pergi dari kamarnya. Setelah tersenyum dengan ramah, arah pandangan Marcell teralih pada kedua sohibnya itu, lewat hunusan mata tajamnya, Marcell mengisyaratkan agar mereka berdua mengiyakan saja ucapannya. "Iya tante, betul apa kata Marcell, makanya tadi kami ketawa." Marcell tersenyum lega, untung saja Novan peka dan langsung menyetujui ucapannya "Oh kirain apaan." Mama Siska terlihat ikut menyunggingkan senyum. Beberapa saat Erza langsung tergelak, matanya melotot tajam, dadanya tampak bergerak naik turun, kemudian cowok itu langsung menyikut Novan yang masih saja tertawa hambar. Menyadari pergerakan Erza yang semakin kuat menusukan sikutnya ke arah rusuk, Novan menoleh ke arah Erza, lalu mengangkat dagunya, meminta jawaban apa maksud dari sahabatnya itu. Erza lantas tersenyum miring, lalu ekor matanya melirik ke arah belahan d**a mama Marcell yang sedikit kelihatan. Dengan malas, Novan ikut melirik, bola matanya sempat berputar sesaat. Namun, begitu tatapannya sudah sampai di titik itu, ia langsung mengerjap. Tubuhnya seketika tegap. Novan tidak bisa berkomentar, bibirnya bergetar, mulutnya terbuka dengan lebar. Pelototan matanya yang begitu lebar terlihat hampir copot dari tempatnya. Untuk sesaat, jakun Novan terlihat naik turun, sama seperti Erza beberapa detik yang lalu. "Anjir, gue kayaknya udah terkontaminasi nih, otak gue udah mulai ngeres." Erza berbisik tepat didaun telinga Novan dan disambut dengan anggukan kepala dari cowok itu. Sorot matanya tidak mau beralih dari sana. "Yuk buruan garap, nggak tahan gue anjir," balas Novan, masih berbisik, takut jika mama Marcell mendengar ucapannya. Gestur tubuh Erza dan Novan yang terlihat sangat aneh dan mencurigakan membuat perhatian Marcell teralihkan, untuk beberapa saat kening Marcell tampak menunjukkan beberapa kerutan. Namun, pada detik berikutnya ia langsung tercengang, tatapannya begitu tajam saat menyadari mereka berdua sedang memandangi lekuk tubuh mamanya, apalagi sorot mata mereka terarah pada satu titik tertentu. Mau meluapkan kemarahannya tetapi Marcell bingung mau memulai dari mana, sementara mamanya masih berada di sini. Marcell sungguh panas melihat itu, sorot matanya berapi-api. Jakun mereka yang naik turun seperti b*******h itu sekali lagi membuat Marcell bergelut dengan pikirannya sendiri. Kesal sekaligus jijik dengan tingkah dua sohibnya. "Ma, lebih baik mama keluar aja deh dari sini, kita mau cerita lagi soalnya." Suara dari Marcell menginterupsi pergerakan mama Siska, Erza, dan Novan. Mereka bertiga kompak menoleh ke arah Marcell. Sempat terdiam sejenak, kemudian mama Siska langsung menyahut. "Mama ganggu kalian, ya?" Mama Siska tertawa sekilas. "Nggak kok Tan, Tante di sini aja. Ikut gabung juga boleh." Erza yang masih belum puas memperhatikan wajah cantik Mama Marcell itu otomatis langsung menyela, tidak setuju dengan usulan Marcell. Tidak sendiri, ucapan Erza seratus persen didukung oleh Novan, kemudian cowok itu menghirup udara dalam-dalam sebelum berbicara. "Iya Tante, di sini aja ikut gabung kita, kalo ada Tante kayaknya juga seru, jadi tambah rame." Celetukan Novan barusan disambut dengkusan dan putaran bola mata dari Marcell. "Gimana sayang? Mama boleh gabung nggak?" Merasa ide itu cukup bagus, Siska langsung menatap Marcell penuh tanda tanya, menunggu dari jawaban sang putranya tercinta. Hal itu membuat kedua sohib Marcell berseru kegirangan. Beberapa kali mereka meninju tangannya di udara. Marcell langsung memutar otak untuk mencari jawaban. Ia tidak rela jika sang mama menjadi pusat perhatian dari kedua sahabatnya itu. Nggak sudi. "Udah mau jam sepuluh nih ma, besok Marcell kan, harus sekolah, mama nggak suruh mereka pergi dari rumah?" Erza dan Novan secara kompak langsung mengerucutkan bibirnya, kesal dengan Marcell yang mengingatkan tentang itu. "Oh iya, besok kalian harus sekolah, kan? Berarti kalian berdua harus pulang sekarang, gampang besok dilanjutin lagi ceritanya." Sial, Novan dan Erza rasanya ingin mengubur Marcell hidup-hidup. Sedangkan Marcell yang merasa bahwa rencananya berhasil, langsung saja tersenyum begitu lebar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD