Sekarang, tidak ada lagi Resti yang selalu menyuruh adik kelas untuk menuruti permintaannya, tidak ada Resti yang selalu mengenakan jaket geng THE ROSE, tidak ada Resti yang berpenampilan bak seorang model, dan tidak ada Resti yang memiliki rambut berwarna.
Semua itu telah sirna di makan waktu, Resti benar-benar sudah berubah. Berubah menjadi berkali-kali lipat lebih menyebalkan, itulah menurut Weeby.
Dalam tatapan dan pikirannya yang kosong, Weeby kini duduk seorang sendiri, di salah satu bangku panjang yang berada di taman sekolah, menunggu Marcell sesuai permintaan pada saat jam olahraga tadi pagi.
Tidak menepati janji, itu bukan nama tengah Weeby, walaupun sekarang ia tidak jadi menunjukkan test pack itu, tetapi Weeby masih menyempatkan untuk datang. Sambil menunggu, Weeby memutar otak, mencari alasan yang tepat untuk mengutarakan maksud dirinya meminta Marcell untuk ketemuan di sini.
Kejadian saat Resti menuduh dirinya seperti itu masih terngiang di kepala Weeby. Untuk sesaat, ia mengeluarkan napasnya panjang-panjang. Semua sudah membenci dirinya, entah dengan Uti, mungkin saja sahabatnya itu juga sama.
Disaat Weeby masih dalam lamunannya, tiba-tiba suara berat menginterupsi telinganya. Untuk beberapa detik Weeby terperenjak, ia mengangkat dagunya, menatap seorang cowok jangkung yang berdiri dihadapannya dengan raut wajah datar. Dia Marcell.
"Lo mau ngomong apa? Nggak usah basa basi, gue nggak butuh itu. Dan gue nggak punya banyak waktu juga."
Membuang napasnya dengan berat, Weeby mencoba meredam emosinya, ia sudah tahu pasti Marcell juga sama seperti teman kelasnya yang lain. Marcell membenci dirinya, cowok itu merasa jijik.
"Kenapa diem aja? Lo mau ngomong apaan sih? Lama-lama gue makin kesel sama lo tau nggak By?"
Marcell berkacak pinggang, masih berdiri dihadapan Weeby, kini cowok itu berkata sarkastis. Dari kata-kata yang keluar dari mulutnya sudah sangat kentara bahwa Marcell sungguh kesal dengan Weeby.
"Oke, karena lo nggak mulai juga. Gue yang mau ngomong duluan."
Spontan Weeby menatap sepasang manik mata Marcell, entah sebab apa ia berdiam diri seperti ini. Padahal beberapa menit yang lalu Weeby sudah menemukan kalimat yang tepat untuk mengutarakannya.
Ada jeda cukup lama di antara mereka berdua, namun pada detik ketiga setelah keheningan terjadi, suara berat dari Marcell sontak membuat hati Weeby memanas.
"Oke gue mau tanya, lo beneran hamil?"
Dahi Marcell terlihat bergelombang, matanya memicing, berusaha mencari jawaban dari raut wajah Weeby. Namun, Marcell masih belum menemukan itu. Cara satu-satunya hanya tinggal menunggu jawaban dari Weeby.
"Gue nggak hamil, lo sama aja kayak yang lain, nuduh gue sembarang. Semua orang nuduh gue yang enggak-enggak."
"Sembarangan? Resti udah nemuin bukti. Dan lo bilang itu sembarangan?!" Marcell kemudian berdecih, mengedarkan pandangan ke arah lain sembari terkekeh penuh ejekan.
"Itu bukan punya gue."
"Terus punya siapa, Resti maksud lo?" Marcell terdiam sesaat, dua detik selanjutnya ia kembali angkat bicara, "oh gue tahu, sebab karena itu lo nyuruh gue sama Resti putus, lo nuduh Resti yang enggak-enggak padahal lo sendiri yang hamil. Dasar nggak tahu malu lo By!"
Weeby mati kutu di tempat, mau menyangkal omongan Marcell saja rasanya lidahnya sangat tidak bersahabat, terasa kelu.
"Kalo gue sama Resti putus, lo mau bujuk gue buat macarin lo gitu? Terus lo minta gue tanggung jawab atas kehamilan lo itu, ha?!" Marcell semakin menggeram, tangannya terkepal hingga buku-buku jarinyaya memutih. "Nggak nyangka, lo selicik itu Weeby." Pada akhirnya Marcell mendesah lelah, ia tidak habis pikir dengan perilaku Weeby.
"Emang kenyataannya gue nggak hamil kok, justru cewek lo itu yang hamil. Gue kasih tahu ke lo itu karena gue kasihan sama lo, gue peduli sama lo walaupun lo selalu nyebelin."
Marcell diam, menunggu penuturan dari Weeby selanjutnya.
"Dan gue? gue nggak ada pikiran untuk pacaran sama lo, gue nyuruh lo putus sama dia itu karena lo bakal terkena jebakan cewek itu. Gue kasihan kalau semisal lo disuruh tanggung jawab. Lo nggak mau itu terjadi, kan?"
"Nggak mungkin Resti hamil, kalo dia hamil udah pasti gue tahu."
Weeby segera membantah, menatap Marcell dengan lamat-lamat, gestur wajahnya tampak sangat serius.
"Karena Resti udah nutupin itu jauh-jauh hari. Dia hamil karena mantannya."
"Mantan?"
Dengan mantap, Weeby mengangguk serius. "Terserah lo kalo nggak percaya sama gue, yang penting gue udah kasih tau ke lo fakta yang sesungguhnya, kalo nanti udah terjadi, lo nggak boleh nyesel. Itu pilihan yang lo ambil sendiri."
"Gue masih ragu, lo yang hamil, kenapa Resti yang disalahin? Dasar aneh lo By. Pakek nuduh Resti hamil karena mantannya lagi."
Weeby langsung menyahut dengan akses suara berat dan ketus, "gue nggak nuduh, emang itu kenyataannya. Resti jebak gue, test pack itu punya dia. Dan gue niatnya mau kasih itu ke elo."
"Kalo nuduh nggak pake bukti gimana? Itu yang lo maksud kenyataan?" Marcell terus menggebu, dengan sepasang bola mata yang sudah berkelebat api kemarahan.
"Gue mau pulang." Setelah pamit, Weeby segera melangkah meninggalkan Marcell yang masih menampilkan mimik wajah bingung. Bingung karena Weeby tak kunjung membalas ucapannya.
Weeby lelah, ia ingin menyudahi pertikaian ini secepat mungkin. Ia tahu bahwa Marcell tidak akan percaya dengan semua ucapannya.
Marcell terdiam cukup lama, otaknya memproses kejadian tadi. Ia jadi bingung sendiri, dia harus percaya sama siapa kali ini? Weeby atau Resti?
Jika benar Weeby hamil, pasti cewek itu sedang menangis karena mendapati berbagai macam cacian, hinaan, dan makian dari teman kelasnya. Namun, sedari tadi yang Marcell tangkap, Weeby tampak biasa-biasa saja.
Jika perkataan Weeby menyangkut keadaan Resti yang tengah hamil, Marcell masih belum percaya sepenuhnya. Weeby menuduh tiada bukti sama sekali yang Marcell dapatkan. Tidak salah jika Marcell masih tidak percaya pada Weeby, sementara Resti lah yang menemukan test pack itu di dalam tas Weeby.
Membuang napasnya secara gusar, Marcell lalu menyugar rambutnya ke belakang, ia sungguh frustrasi dengan ini semua. Tentang siapa yang tengah hamil. Resti atau Weeby?
Setelah berdiri cukup lama, Marcell memutuskan untuk beranjak dari tempat ini, ia memilih untuk pulang dan merebahkan diri di kasur empuknya. Marcell butuh menenangkan jiwa dan pikirannya yang masih kalut.
Kemudian, ingatan Marcell tiba-tiba muncul, langkahnya secara mendadak langsung terhenti, garis-garis lurus vertikal juga secara terang-terangan turut terlihat di keningnya. Marcell ingat, saat di kafe kemarin, Resti sempat memegangi mulut dan ijin pergi ke kamar mandi.
Resti mual? Bukannya itu salah satu gejala perempuan yang tengah hamil, kan? d**a Marcell tiba-tiba memanas, sebenarnya dirinya harus percaya sama siapa?
Marcell memejamkan matanya sejenak, ia butuh mendinginkan otaknya. Cukup sampai di sini saja ia memikirkan hal yang membuatnya kalut. Dan sekarang ia hanya boleh fokus pada jalanan di depan. Tidak keseriusan dalam berkendara juga bisa menyebabkan kecelakaan yang sangat serius.
Keesokan harinya di sekolah. Rupanya, berita tentang rumor kehamilan Weeby sudah menyebar ke penjuru sekolah. Sampai satpam sekolah, tukang kebun, hingga ibu-ibu kantin juga mendapatkan informasi itu.
Semenjak langkah kaki Weeby berjalan menuju kelasnya, ia sudah mendapatkan hujatan seraya tatapan menghunus dan penuh remeh dari siswa lain.
Weeby hanya bisa menghela napasnya dengan panjang dan gusar, ia bingung menanggapi situasi ini. Kenapa semuanya percaya sama omongan Resti? Padahal cewek itu yang tengah hamil!
Salah besar jika ada yang berkata Weeby baik-baik saja, nyatanya cewek itu tengah menahan malu. Dituduh sembarang membuat dadanya memanas. Mau sampai kapan keadaan ini bisa pulih seperti semula?
Mungkin saja sampai Weeby dikeluarkan dari sekolah. Setelah pintu kelasnya sudah terlihat didepan mata, dengan segera Weeby menyeret kakinya untuk masuk, dan ia pun berjalan pelan menuju bangkunya. Selang satu detik, Weeby segera mendaratkan bokongnya.
Weeby tidak peduli dengan teman kelasnya yang menghindari dirinya. Setelah Weeby masuk ke dalam kelas, semua siswa dan siswi tampak berhamburan keluar kelas. Weeby yang melihat kejadian itu hanya bisa mengeluarkan napas dari paru-parunya dengan lelah, ia harus banyak bersabar untuk menanggapi situasi kali ini.
Weeby kemudian menoleh, rupanya Uti masih berada di sampingnya. Weeby langsung memproses otaknya, tentu saja Uti tidak bisa keluar dari bangku karena terhalang oleh Weeby.
Dengan inisiatif yang tinggi, Weeby beranjak dari kursi, berdiri, dan langsung mempersilakan Uti untuk keluar seperti teman-temannya yang lain.
Merasa kursi disampingnya kosong, perhatian Uti teralihkan pada Weeby. Dahinya tampak bergelombang.
"By, kenapa lo berdiri?"
Weeby langsung berucap, "lo mau pergi kayak yang lain buat menghindar dari gue, kan?"
Setelah menatap Uti beberapa detik lamanya, Weeby kemudian menunduk, menatap sepasang sepatunya yang sedikit lusuh.
"Tatap mata gue By!" Uti berseru, mau tak mau Weeby segera menurut, menolehkan sepasang bola matanya untuk menerawang iris mata Uti yang berwarna hitam gelap.
Uti tersenyum lembut, sementara Weeby masih terheran menanggapi sikap sahabatnya itu.
"Gue bukan mereka, terserah mau mereka itu apa, yang penting gue nggak sepemikiran dengan orang lain."
Weeby masih belum mencerna ucapan Uti dengan maksimal, masih berusaha mencari jawaban, tetapi tidak kunjung ketemu.
Uti menangkap ekspresi kebingungan yang terpancar dari gestur wajah Weeby, ia pun lalu segera mengulum senyuman kecil, air muka Weeby tampak terlihat lucu jika berpikir keras seperti itu.
"Intinya gue nggak percaya sama tuduhan Resti ke lo, gue yakin lo nggak hamil By. Gue ada dipihak lo."
Weeby hampir saja menitikkan air mata, ia sungguh terharu. Dari sekian ratusan orang yang membenci dirinya, untung saja masih ada yang tersisa. Uti tersenyum simpul, tanpa diduga sebelumnya, ia mendapati pelukan hangat dari Weeby.
"Makasih Ti karena lo udah percaya sama gue." Suara Weeby terdengar melemah, dengan dagu yang bertengger dibahu Uti, tiba-tiba saja satu bulir cairan bening baru saja lolos dari pelupuk matanya.
"Bukannya sahabat harus saling percaya, kan?"
Setelah pelukan yang terjadi beberapa saat itu, Uti menatap Weeby, lalu jemarinya mengusap air mata Weeby yang masih tergenang dipipi cewek itu.
Tiba-tiba gebrakan dari meja guru mengalihkan perhatian Weeby dan Uti, secara serempak, mereka segera menoleh, menatap siapa gerangan sosok yang melakukan perbuatan itu.
"Hai lo cewek murahan, lo dipanggil Bu Arum di ruang BK. Buruan lo ke sana."
Setelah mendapatkan informasi dari teman kelasnya itu, Uti dan Weeby saling tatap, lalu Weeby mengangguk kecil.
"Gue pergi dulu, ya Ti." Weeby bersiap beranjak dari kursi, namun pergelangan tangannya langsung dicegah oleh Uti, hingga pegerakan Weeby seketika urung.
"Kenapa Ti?"
"Nggak pa-pa, lo semangat ya. Gue tahu pasti Bu Arum mau bahas masalah itu. Lo harus mendukung diri lo, yakini Bu Arum bahwa memang lo nggak salah. Udah, gue cuma mau ngomong itu aja."
Selebihnya, Uti tersenyum meyakinkan, melepas cekakan tangannya dan membiarkan Weeby untuk pergi. Sesaat, Weeby tersenyum lembut, Uti memang sahabat yang sslalu perhatian kepadanya.
"Makasih sekali lagi ya Ti? Lo emang sahabat gue yang paling pengertian. Gue sayang sama lo. Gue seneng karena lo dukung dan percaya sama gue.
Uti tersenyum hangat sambil mengangguk. Lalu, Weeby akhirnya mulai beranjak dan melangkah keluar dari dalam kelasnya, berjalan dengan langkah panjang-panjang menuju ruangan BK. Setelah sampai, Serbu pun kini duduk berharap dengan Bu Arum.
"Weeby, bisa kamu jelaskan semua informasi yang tersebar itu kepada Ibu?"
Baru sepuluh detik Weeby mendaratkan bokongnya di sofa, Bu Arum sudah menyerang Weeby dengan pertanyaan. Weeby tahu, guru BK itu tidak killer seperti guru-guru BK kebanyakan, bahkan Bu Arum terlihat sangat baik.
Menghela napas sesaat, ekor mata Weeby beralih pada Bu Arum yang masih menunggu jawaban.
"Berita yang tersebar itu nggak bener Bu. Test pack itu bukan punya saya Bu, saya nggak hamil."
Weeby berkata dengan intonasi suara lemah, sorot matanya terus menatap test pack yang Bu Arum letakkan di atas meja.
Sekarang, Bu Arum yang menghela napasnya secara gusar. "Kalo begitu, siapa yang bikin kamu hamil Weeby? Biar ibu suruh dia tanggung jawab. Ibu akan beritahu ke orang tua kalian masing-masing."
Weeby seketika mengerjap, mengalihkan pandangannya ke arah Bu Arum, menatapnya dengan lamat-lamat. Tanggung jawab? Maksud Bu Arum Weeby disuruh nikah gitu? Tidak, Weeby sama sekali tidak setuju, itu bukan kesalahan dirinya, kenapa harus sampai kayak gini?
"Udah saya bilang Bu, kalau saya itu nggak hamil, ibu nggak percaya sama saya? Itu bukan punya saya Bu, itu punya Resti, dia yang sebenarnya hamil."
"Resti?" Alis Bu Arum hampir tertaut, keningnya sudah menunjukkan kerutan yang bertumpuk.
Weeby menetralisir degup jantungnya sesaat, menghirup udara dalam-dalam. Sejenak, ia berdiam diri. Namun, tak lama setelah itu Weeby menceritakan kronologi kejadian yang sebenarnya.
Setelah bercerita panjang lebar, Weeby kembali menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa, menatap Bu Arum lamat-lamat. Menunggu reaksi beliau seperti apa, semoga saja guru BK itu percaya. Memang Bu Arum harus percaya karena apa yang Weeby ceritakan menyangkut kenyataan yang sesungguhnya terjadi.
"Weeby, ibu masih ragu. Bisa jadi cerita kamu cuma akal-akalan doang, kan? Sekarang, mumpung ibu lagi baik hati ke kamu, ibu kasih kesempatan untuk hubungin orang tua kamu untuk datang menemui ibu. Kalau kamu takut, ibu akan bicara dengan mereka secara baik-baik. Percaya sama ibu, mereka nggak akan marah sama kamu."
Weeby kembali menegakkan tubuhnya, matanya mengerjap berulang kali, perkataan Bu Arum yang baru saja melayang di udara membuat tubuh Weeby bergetar. Kenapa harus menyangkut dengan orang tua? Weeby tidak mau berurusan dengan ayahnya.
"Bu, kenapa harus bawa-bawa orang tua segala sih? Itu cerita saya memang benar, nggak dibuat-buat kok. Di sini emang Resti yang hamil, bukan saya."
Bu Arum tampak tersenyum simpul. "Ibu nggak mau marah-marah ke kamu, sekarang ibu kasih waktu kamu sepuluh menit buat kabarin orang tua kamu ke sini. Oh satu lagi, cowok yang menyebabkan kejadian ini semua juga harus kamu kasih tahu dan suruh dia buat hubungi orang tuanya juga."