3. Marah & Canda

1089 Words
"INA!" teriak Angga dengan sangat keras sesampainya ia di rumah. Pria itu baru saja pulang bekerja dan masuk ke dalam rumah, tapi suaranya sudah menggelegar memanggil nama putri semata wayangnya. Siena yang tidak sengaja ketiduran di ruang tamu karena asik menonton drama favoritnya di laptop tersentak kaget dan langsung terbangun dari alam mimpinya. "INA!" Panggil Angga kembali dengan sangat keras, tidak hanya nada bicaranya yang keras, ada sesuatu yang sepertinya mengganjal dalam diri pria itu. Nafasnya terengah-engah layaknya seseorang yang baru saja berolahraga, hingga mengacak rambutnya dengan frustasi. "Sepertinya dia sedang marah." Gumam Siena dengan pelan. Angga melempar dengan asal tas kerjanya ke arah sofa dan tidak sengaja mengenai kepala Siena hingga gadis itu berteriak meringis sakit. "Au!" Pekiknya dengan cukup keras. Angga cukup terkejut dengan suara tersebut, tidak di sangka ternyata tas beratnya tersebut mengenai sang istri. Maklum saja, ia tidak tahu jika Siena berada di sana, ia tidak sengaja. "Isinya apaan tuh tas? Berat amat kayak dosa kamu." Keluh Siena sembari mengelus keningnya yang memerah. Angga tertawa pelan, entah kenapa melihat tingkah sederhana Siena yang ia anggap lucu ini mampu meredamkan emosi yang sempat menguasai dirinya. "Maaf, saya tidak tahu kalau kamu ada di sana." Ucap Angga sembari terkekeh pelan. "Pulang-pulang ngapain sih teriak-teriak? Kamu pikir ini hutan?" Tegur Siena masih lengkap dengan rasa kesalnya. Angga berjalan mendekat, duduk tepat di samping Siena lalu menghadap ke arahnya. "Mana yang sakit? Biar saya tiup." Angga menggenggam erat tangan Siena yang tengah mengusap kening lalu ia turunkan sampai ke pahanya, setelah itu pria tersebut kembali lebih dekat dan meniup lembut kening Siena. Siena mematung di tempat, merasa terbuai dan hanyut dalam tiupan tersebut. Keningnya yang di tiup, tapi justru hatinya yang bergetar hebat. Kenapa bisa begitu? "Memangnya ada sarafnya kening sampai ke jantung?" Tanya Siena merusak momen romantisnya sendiri. Angga berhenti meniup, bingung dengan pertanyaan tersebut. "Gimana?" Beo Angga tidak paham. "Gak papa." Jawab Siena mulai sadar dengan pertanyaan konyolnya. "Papa," panggil Ina dari belakang, dengan cepat Siena langsung beringsut mundur dan melepaskan tangannya dari genggaman Angga. Angga berbalik menatap ke arah Ina lalu mulai bangkit dari duduknya. Anak dan ayah tersebut berdiri berhadapan dan saling menatap satu sama lain, tatapan Angga kembali membara, amarahnya mulai datang kembali namun sekuat tenaga ia tahan supaya tidak lepas kontrol. "Kemana kamu beberapa hari ini?" Tanya Angga dengan raut wajah yang garang. Ina tidak menjawab, hanya diam sembari menundukkan kepalanya. "Kenapa kamu gak masuk sekolah? Kamu kemana?!" Bentak Angga menggebu. Badan Ina bergetar hebat, takut dan juga marah. Tatapan gadis itu langsung tertuju pada Siena yang masih diam duduk manis di atas sofa dengan keadaan keningnya yang masih memerah. Ina mengepalkan ke dua tangannya kuat-kuat untuk melampiaskan semua rasa kesal, amarah dan bencinya terhadap Siena. Menuding ibu tirinya tersebut sebagai pelaku pelapor terhadap ayahnya. "Ina, tatap mata Papa." Titah Angga dengan tegas. Ina tak bergeming, ia justru semakin menatap Siena dengan tajam sampai ibu tirinya tersebut merinding. "Ina," greget Angga mencoba untuk tetap sabar. Ina berjalan mendekat ke arah Siena lalu menatapnya dengan tajam. Siena yang tiba-tiba di dekati dan di tatap seperti itu hanya bisa diam, tidak tahu harus berbuat apa. "Sudah ku bilang bukan, jangan beritahu Papa mengenai tadi siang. Kenapa tetap di beritahu?" Bisik Ina dengan pelan, dan hanya Siena saja yang bisa mendengar. Siena mengerjap pelan lalu mulai bergerak santai. "Ouh itu, aku tidak bilang apapun pada Papamu. Sungguh." Jawab Siena dengan jujur, kapan dirinya melapor? Angga baru saja pulang, mereka tidak pernah saling menghubungi satu sama lain baik chat maupun telpon kecuali hal yang sangat penting dan mendesak. "Lalu, bagaimana papa sampai tahu?" Tanya Ina kembali dengan nada suara yang cukup pelan. "Aku tidak tahu." "BOHONG!" Teriak Ina dengan sangat keras tepat di depan wajah Siena. Siena terkejut bukan main sampai mengelus d**a, gadis itu juga cukup takut karena tatapan mata Ina benar-benar sangat menakutkan seolah mengatakan bahwa dia membencinya. Tak hanya itu, Ina juga meluapkan emosinya dengan menggigit lengan Siena sekuat tenaga sampai ibu tirinya tersebut menjerit kesakitan. "AKH!" teriak Siena menggelegar, mungkin satu RT bisa mendengar suara teriakannya barusan. Angga dengan cepat menarik tubuh Ina supaya menjauh dari Siena, sebuah tarikan yang cukup kuat hingga membuat Ina jatuh ke belakang. "Ina, apa yang kamu lakukan? Papa kecewa sama kamu." Amuk Angga pada Ina yang mulai menangis terisak, antara takut pada sang ayah, dan rasa sakitnya karena terjatuh di lantai. "MINTA MAAF SAMA MAMA KAMU!" titah Angga dengan keras. "Mama? Siapa Mama? Emangnya aku punya Mama?" Balas Ina di sela-sela Isak tangisnya yang cukup memilukan. "Dia Mama kamu." Jawab Angga sembari menunjuk ke arah Siena yang tengah sibuk meniup lengannya yang lecet karena gigitan sang anak tiri. "DIA BUKAN MAMA!" "INA!" "CUKUP!" teriak Siena ikut-ikutan, ia paling tidak suka keributan. "Ina, kamu gak papa?" Siena berusaha mendekat ke arah Ina untuk memastikan bahwa gadis kecil tersebut baik-baik saja. "Gak usah sentuh! Gak usah sok peduli, AKU BENCI KAMU!" teriak Ina sebelum akhirnya ia bangkit sendiri dari jatuhnya dan berlari masuk ke dalam kamar. "INA!" teriak Angga memanggil, berharap putrinya tersebut berbalik dan kembali menghadapnya. "Udah cukup." Tegur Siena dengan cepat. "Tangan kamu gak papa?" Angga dengan cepat memeriksa keadaan lengan Siena, lalu kembali meniupnya secara perlahan. "Kita ke rumah sakit." Sambungnya dengan cemas. "Gak perlu." Tolak Siena dengan cepat. "Boleh aku bicara sesuatu?" "Apa?" "Jangan kasar pada Ina, dia itu masih anak-anak. Seharusnya kamu memperlakukan dia dengan baik." "Saya baik, kalau dia tidak memperlakukan kamu seperti ini. Sikapnya semakin hari semakin buruk, tadi siang gurunya menelponku, mengatakan bahwa selama tiga hari ini Ina tidak masuk sekolah. Dan sekarang, dia sudah berani menyakitimu." "Jangan hanya menyalahkan Ina, coba intropeksi dirimu dengan seksama. Mungkin sifat Ina berubah karena tidak mendapatkan kasih sayang dari ke dua orang tuanya. Kamu selalu sibuk bekerja, lalu..... Di mana ibunya Ina? Bukankah seharusnya dia datang setidaknya satu Minggu sekali? Atau kalau tidak, satu bulan sekali untuk bertemu dengan Ina? Ina kurang kasih sayang." Tutur Siena dengan peduli, bukannya mau sok baik atau mencari muka semata, tapi Siena tahu betapa menyakitkannya hidup tanpa kasih sayang ke dua orang tua. Dulu saat dirinya masih kecil, ayahnya selalu merantau keluar kota untuk bekerja, sedangkan sang ibu sibuk mencari uang tambahan untuk kebutuhan. Siena kecil selalu menghabiskan waktu sendirian di rumah, hening, sepi dan membosankan. "Mungkin, tidak hanya kamu yang salah. Aku akan coba dekati Ina, aku mungkin tidak bisa menjadi pengganti Mamanya, tapi setidaknya aku bisa menjadi temannya supaya dia tidak kesepian." Siena mengelus wajah suaminya dengan lembut lalu tersenyum manis. "Lelah? Redakan emosimu dengan istirahat. Aku buatkan teh hangat. Tunggu saja di kamar." "Terima kasih."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD