2. Mama?

1075 Words
"Celana pendek itu cocok sama bentuk badan Lo." Puji Angel sahabat baik Siena sejak masih jaman sekolah hingga sekarang. Saat ini Siena tengah asik berbelanja menghabiskan uang suami, dan kebetulan Angel bekerja di butik tempat Siena berbelanja. "Gue tahu, gue mau celana yang ini. Kasih 6 pcs, dengan warna yang berbeda." Pinta Siena dengan mudah. Angel menatapnya dengan mulut terbuka, tidak heran lagi jika sahabatnya yang satu ini bisa berbelanja sesuka hati dan sepuas yang dia inginkan. "Enak ya jadi Lo, punya laki kaya." Ucap Angel merasa iri, andai saja ia menikah dengan pria kaya, pastinya mereka akan sering bepergian bersama dan berbelanja menghabiskan uang suami sama-sama. "Gak seenak yang Lo bayangin." Balas Siena sembari sibuk memilih pakaian lain. "Gak enaknya di mana? Suami Lo tuh ganteng, kaya raya, CEO, baik hati dan tidak sombong, setia, pokoknya best banget deh jadi cowok." "Lo lupa?" Siena mendekat ke arah Angel lalu berbisik pelan. "Dia duda anak satu. Umurnya juga udah tua." "Gak masalah kalau buat gue, yang penting kan cuan-nya ngalir bos!" Seru Angel cukup lantang. "Lagi pula ya, walaupun udah beranak satu, laki Lo tuh gantengnya masih top banget. Kayak artis Hollywood." Sambungnya dengan antusias. "Tanyain dong sama laki Lo, dia punya gak temen kaya raya dan ganteng kayak dia? Duda juga gak papa, jangankan anak satu, anak sepuluh kalau speknya masih kayak suami Lo, gue mau." Kekehnya kegirangan sendiri sembari berkhayal. "Apaan sih Lo." Bentak Siena dengan sebal, semakin hari semakin aneh sikap sahabatnya ini. "Gak jelas." "Gue gak jelas gini karena gue udah capek kerja terus." Adu Angel dengan lelah. "Capek? Lo aja kerja di sini baru dua bulan. Capek dari mana Lo?" "Tapi kan sebelumnya gue udah kerja di tempat-tempat lain." "Dan gak pernah lama kerjanya, heran deh kadang gue sama Lo. Kok bisa gonta-ganti pekerjaan? Bukannya cari yang pas sama passion Lo, dan bertahan." "Ini masih nyari yang pas sama passion gue. Belum nemu-nemu nih. Gue aja ini lagi cari loker lain." "Lo mau ganti pekerjaan lagi, Angel?" Pekik Siena terheran. "Gak nyaman gue di sini, pekerjaannya monoton. Terlalu membosankan, masa kerjaannya cuma rapihin baju, gantungin baju, nyapu, ngepel, bersih-bersih, melayani pelanggan. Pelanggan kadang ada yang nyebelin, apa lagi ibu-ibu, kemarin nih ya, gua hampir ribut sama ibu-ibu tahu gak. Masih untung gue gak di pecat, kalau sampai di pecat gimana coba?" Cerita Angel dengan panjang lebar. "Katanya bosen kerja di sini? Tapi takut di pecat?" "Gue gak mau di pecat, gue maunya mengundurkan diri. Biar ada harga dirinya gitu loh." "Pinter banget Lo." "Jelas, Angel gitu loh." Saat Siena tengah sibuk memilih dress, tiba-tiba ia melihat sekelebat bayangan Ina berada di luar butik. Dengan cepat Siena langsung keluar dari butik untuk memastikan itu benar-benar Ina. "Mau kemana Lo? Bayar dulu nih, jangan kabur." Teriak Angel pada Siena dengan keras seperti meneriaki maling. Siena menatap punggung Ina yang berjalan menjauh darinya, ternyata itu memang benar Ina. "Ini jam berapa?" Siena memeriksa jam yang ada di tangannya, masih pukul 10 pagi, kenapa Ina bisa berkeliaran di luar sekolah? Siena berjalan perlahan mengikuti Ina di belakangnya, tapi langkahnya harus terhenti usai Angel menarik lengannya supaya kembali masuk ke butik. "Bayar dulu nih." Titah Angel sedikit memaksa. "Sabar kenapa, gue barusan lihat anak gue berkeliaran di sini. Padahal masih jam sekolah." Ujar Siena sembari mengambil kartu kredit yang berada di dompetnya. "Anak? Anak siapa? Sejak kapan Lo punya anak?" Tanya Angel menggebu, amnesia dadakan. "Anak laki gue." Jawab Siena dengan sewot. Angel terkekeh pelan sembari menepuk jidatnya cukup keras, ia baru ingat. "Nih belanjaan Lo, terima kasih sudah berkunjung." "Ok, Minggu depan ambil cuti, kita healing." Cetus Siena sembari tersenyum lebar penuh dengan kebahagiaan. "Kemana kita?" "Kemana aja, sesuka hati Lo. Lo pengen kemana?" "Gue pengen ke taman, gue punya rekomendasi taman baru yang keren. Kita bisa naik sepeda keliling taman yang penuh sama bunga, ada danau buatan yang cantiknya gak kalah sama danau sungguhan. Kita bisa piknik di sana sambil lihat cogan-cogan." "Mau mau mau!" Seru Siena dengan antusias. "Kita ketemu Minggu," "Ok, Minggu ya." "Minggu!" Setelah selesai berbincang ria dengan Angel, akhirnya Siena keluar dari butik usai perutnya berbunyi karena lapar. Maklum saja, pagi ini dirinya hanya sarapan dua gelas s**u hangat dan dua potong roti panggang. Ia butuh makanan berat. "Baru tahu, ternyata ada cafe di sekitar sini." Siena masuk ke dalam cafe tersebut, saat dirinya mengantre untuk memesan, netranya menangkap sosok yang cukup ia kenal, Ina. Siena keluar dari antrean, menatap ke arah Ina yang tengah asik menikmati sepotong sosis dan segelas jus. Siena menatapnya cukup lama sembari melamun, ingin mendekat atau menyapa, takut jika anak tirinya tersebut langsung menghindar dan meninggalkan makanannya. Mengingat, bahwa tadi pagi Ina tidak sarapan sama sekali. Yang jadi pertanyaannya adalah, kenapa Ina ada di sini saat jam sekolah? Apa, dia bolos? Siena kembali hendak mendekat, tidak berniat mengganggu makan Ina, hanya ingin bertanya apa dia membolos atau memang jam sekolah sudah selesai. Tapi niatnya kembali ia urungkan saat melihat betapa kesepiannya seorang Ina makan sendirian. Setiap malam Siena juga kerap melihat Ina makan sendirian di ruang makan, kamar, atau bahkan halaman rumah. Saat ia mendekat, Ina selalu pergi begitu saja. Makanan Ina juga tidak bisa di golongkan makanan yang bergizi, kebanyakan mie instan dan juga jajanan ciki. Padahal, seharusnya Ina makan makanan yang sehat saat tumbuh kembangnya. Seharusnya juga, dia tidak makan sendirian, haruskah ia temani sekarang? Saat Ina mendongak, tidak sengaja melihat Siena yang tengah menatapnya. Siena langsung melambaikan salah satu tangannya sembari tersenyum manis. "Hai." Sapa Siena dengan ramah. Ina tidak menghabiskan sosis dan minuman yang ia pesan, langsung beranjak dari tempat makan berjalan mendekat ke arah ibu tirinya. "Jangan katakan pada Papa, kalau kita bertemu di sini." Ucap Ina yang terdengar seperti sebuah ancaman. "Kenapa kamu ada di sini? Jam sekolahnya sudah selesai?" Tanya Siena dengan peduli. "Jangan penasaran mengenai semua hal yang aku lakukan, jangan ikut campur mengenai aku. Apapun yang ku lakukan, bukan urusanmu." Balas Ina dengan ekspresi wajah yang datar. "Kalau kamu tidak jawab, Mama akan bilang ke Papamu." "Mama? Siapa Mama? Kamu? Jangan harap bisa jadi ibuku." Ketus Ina pada Siena sebelum akhirnya beranjak meninggalkan Siena sendirian di sana. "Mama?" Gumam Siena baru sadar mengenai apa yang baru saja dirinya ucapkan. "Mama?" Ulangnya lagi. "Bisa-bisanya gue menyebut diri sendiri sebagai Mama padahal belum punya anak, hamil aja belum. Mulut gue emang kadang pengen di tabok, ngomong gak mikir dulu." Siena kembali mengantre sembari sesekali memukul mulutnya dengan pelan beberapa kali. "Jangan asal nyeplos lagi ya mulut? Nakal!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD