Siena tersentak kaget usai alarm jam bekernya berbunyi sangat nyaring, ke dua matanya enggan untuk terbuka, masih berat untuk membuatnya terjaga. Maklum saja, ia menyetel alarm pukul 5 pagi supaya bisa memasak untuk sarapan keluarga. Semalam, Siena sudah memikirkan ini matang-matang, tidak selamanya dirinya akan bersikap seperti ini, keluarganya harus berbahagia layaknya keluarga harmonis yang lain. Seorang ibu rumah tangga harus bisa memasak untuk keluarga dan selalu ada untuk suami dan anak. Tidak seperti dirinya yang bangun tidur seenaknya, sarapan buatan suami, tidak pernah menyiapkan pakaian suami, dan tidak peduli dengan anak. Walaupun hanya anak tiri, tapi setidaknya dirinya harus baik terhadapnya.
"Mau kemana?" Tanya Angga yang ternyata sudah terjaga di sampingnya. Saat Siena menoleh ke arah sang suami, ia sudah melihat Angga duduk manis di ranjang sembari membaca berita online dengan ipad-nya.
"Mau bangun," jawab Siena dengan malas lalu menguap lebar dan menggaruk kepalanya hingga rambutnya semakin berantakan.
"Rambut kamu, kayak singa betina." Ejek Angga sembari terkekeh pelan.
"Singa betina gak punya rambut." Balas Siena tumben pintar, padahal baru saja bangun tidur.
"Benar juga." Sahut Angga baru sadar.
Siena tertawa pelan menertawakan kebodohan sang suami.
"Katanya CEO, masa gitu aja gak tahu."
"Saya gak suka binatang." Cetus Angga kembali fokus pada ipad-nya.
"Alibi, bilang aja bodoh." Ejek Siena sembari turun dari ranjang.
"Kamu bilang apa?" Seru Angga tidak terima di Katai bodoh.
"Gak papa." Sahut sang istri dengan santai.
"Kamu mau ke kamar mandi?" Tanya Angga kembali.
"Bukan, mau masak." Jawab Siena sembari menatap Angga dengan seksama.
Hening cukup lama, Angga tengah sibuk dengan pikirannya sendiri. Apa ia tidak salah dengar? Siapa barusan yang ingin memasak?
"Coba ngomong lagi? Bicara apa tadi?" Pinta Angga pada Siena untuk mengulang kembali ucapannya.
"Mau masak." Jawab Siena lagi.
"Kamu? Mau masak? Kesurupan setan dari mana?" Sindir Angga terheran.
Siena menoleh ke arahnya lengkap dengan tatapan tajamnya lalu menaikan salah satu sudut bibirnya.
"Aku itu mau berubah sedikit demi sedikit. Biar gak jadi beban buat kamu." Jawab Siena sembari menghela nafas pelan.
Angga menaruh ipad-nya di atas kasur lalu membalas tatapan Siena dengan serius.
"Siapa yang bilang kamu beban bagi saya?" Tanya Angga tidak suka mengenai kalimat yang baru saja Siena katakan. "Kamu itu istri saya, kewajiban saya buat memperlakukan kamu dengan baik. Bukan beban."
"Bukan siapa-siapa yang ngomong, merasa aja. Sadar diri." Balas Siena dengan sendu.
Angga turun dari ranjang dan beranjak mendekat ke arah Siena. Selepas itu pelukan hangat ia berikan pada istri tercantiknya.
"Jangan merasa jadi beban, kamu itu istri saya. Perlu saya perjelas lagi, ISTRI SAYA." Terang Angga memperjelas dua kata terakhir yang ia ucapkan.
Usai melepas pelukannya, ke dua tangan Angga menangkap wajah manis Siena sembari tersenyum kecil.
"Jangan pernah merasa jadi beban hanya karena tidak memasak setiap hari, bagiku tidak masalah. Sekarang, lanjutkan tidurmu, dan Bangun sesuka hatimu." Ungkap Angga yang bagaikan penyejuk hati bagi Siena. Kehidupan sempurna macam apa ini, kenapa bisa seenak ini? Pahala besar apa yang dulu pernah ia lakukan hingga tuhan mengirim Angga yang tampan dan baik hati ini untuk dirinya.
"Tidak." Siena harus menyingkir semua rasa malas ini, ia ingin menjadi istri yang baik.
"Aku akan memasak untuk kita, aku, kamu dan Ina."
"Maafkan Ina soal semalam, aku harap kamu tidak marah."
"Tidak. Aku baik-baik saja, justru hal itu yang membuatku semangat untuk mendekati Ina. Dan maaf," cicit Siena menghela nafas berat.
"Maaf untuk apa?"
"Bukankah aku terlambat untuk mendekati Ina? Pernikahan kita sudah satu tahun lebih sedikit, seharusnya aku mendekati Ina sejak dulu. Dengan begitu, sekarang mungkin kita sudah jadi teman."
"Tidak ada kata terlambat. Saya juga akan mendekati Ina kembali, mencoba memberikan kasih sayang untuknya supaya dia tidak membolos lagi."
"Kamu tahu, dia bolos?" Tanya Angga pada sang istri.
"Aku lihat Ina kemarin saat berbelanja, dia makan sendirian di cafe. Hanya satu sosis dan segelas jus, saat melihatku dia membuang semua makanannya. Aku jadi merasa bersalah, seharusnya aku tidak menampakan diri, supaya Ina bisa makan dengan kenyang. Ina tidak pernah sarapan, makan malam saja dia sendirian di teras rumah, kamar atau ruang makan. Makanannya juga tidak sehat, mie instan, kadang juga hanya camilan ringan saja. Sebab itu, aku ingin memasak untuk kita. Memasak makanan yang sehat supaya Ina tumbuh sehat seperti anak-anak yang lain." Terang Siena dengan panjang lebar.
Angga tersenyum sangat tulus, makin jatuh hati pada sang istri. Akhirnya ia menemukan sosok perempuan yang bisa menyayangi Ina dengan baik dan menerima segala perlakuan gadis kecilnya itu.
"Terima kasih." Ucap Angga dengan tulus.
"Aku bahkan belum memasak." Sahut Siena lalu lantas pergi keluar kamar menuju dapur untuk menyiapkan semuanya.
"Menu hari ini, salad sayuran dan telur mata sapi. Minumannya seperti biasa, s**u hangat." Gumam Siena sudah memutuskan ingin memasak apa, setelah itu baru bergegas untuk memasak semuanya.
"AKH! API!" Baru saja 10 menit berada di dapur, Siena sudah berteriak sangat kencang hingga membuat Angga yang tadinya tengah sibuk memakai pakaian sehabis mandi keluar kamar dari kamar menuju ke dapur. Tidak kalah panik, Ina juga keluar kamar dengan rambut yang masih basah karena belum sempat mengeringkannya. Mereka bertiga berkumpul di dapur untuk melihat kejadian apa yang membuat Siena berteriak begitu sangat keras.
"Ada apa?" Tanya Angga dengan panik.
"Api." Balas Siena dengan santai sembari menunjuk ke arah api kompor yang membara cukup besar.
Angga mulai panik sembari berpikir, bagaimana caranya memadamkan api sebesar itu, ia takut gasnya tiba-tiba meledak. Sedangkan Ina justru duduk di atas meja makan sembari menatap takjub ke arah api yang membara.
Ina menatap sang ibu tiri dengan bengong, bagaimana bisa ada orang sekonyol ibu tirinya ini? Tingkah Siena benar-benar membuatnya tertawa pelan.
Angga mencabut regulator gas, namun api masih menyala, akhirnya ia mematikan pemantiknya lalu melempar kain basah pada api tersebut hingga padam, baru akhirnya dia lega.
"Bagaimana bisa apinya membara sangat besar? Kamu mau membakar rumah ini?" Amuk Angga dengan geram.
"Maaf." Cicit Siena dengan polos. "Gak niat bakar rumah kok, tadinya cuma masak telur ceplok."
"Kok sampai gitu?"
"Jadi, aku masaknya pengen kayak ala-ala chef gitu. Di balik telornya pas masih di atas teflon, eh taunya tuh teflon jatuh ke lantai terus telornya jatuh di atas kompor. Karena pakai minyak goreng, ya langsung menyala apinya." Terang Siena dengan jujur lalu tersenyum meringis menertawakan kebodohannya sendiri.
"Menyala ibu tiriku." Ucap Ina berada di ambang pintu. Angga dan Siena langsung menatap ke arahnya, melihat bagaimana senyuman gadis kecil tersebut tercetak membuat mereka ikut tertawa pelan.
"Sudah lama, Papa gak lihat kamu senyum dan tertawa." Ungkap Angga pada Ina. Ina yang mendengar itu langsung diam, lalu pergi dari sana untuk mengeringkan rambutnya kembali.
Sedangkan Angga mengecup pipi Siena sekilas sembari tersenyum manis.
"Apa-apaan nih?" Syok Siena sembari memegang pipinya yang baru saja mendapatkan kecupan kasih sayang.
"Di cium dikit aja, sampe segitunya." Balas Angga dengan santai. "Terima kasih, sudah membuat Ina tertawa."
"Biar saya yang masak."
"Jangan, aku aja." Seru Siena dengan cepat.
Angga mencubit hidung mungil sang istri sembari tersenyum kecil.
"Kamu mandi saja, biar saya saja yang masak."
"Enggak! Biar aku yang masak." Paksa Siena dengan keukeuh. "Kamu, siap-siap pergi ke kantor. Aku akan menyiapkan makanan." Siena mengusir sang suami dari dapur lalu kemudian sibuk kembali memasak.
"Aku bisa pasang regulator." Dengan bangganya ia mulai pasang regulator, dengan bermodalkan ngasal, ia memasak hanya dengan percaya diri. Dan akhirnya kompor siap di nyalakan.
DOR.....
"AKH!"