Dengan tangan terborgol, Lana di seret menuju ke mobil tahanan. Sepanjang perjalanan cemoohan menghujat dirinya.
“Pembunuh!”
“Psikopat!”
“Perempuan iblis!
“Biarkan dia membusuk di penjara!”
Lana menunduk sedalam mungkin, menyembunyikan tangis kepedihan yang menderanya. Hatinya hancur berkeping-keping, tak tertolongkan lagi! Selain merasa bersalah karena tak sengaja membunuh suaminya, batinnya menjerit karena ketidak-adilan yang diterimanya.
Memang dia bersalah, karena kelalaiannya dia telah menyebabkan nyawa seseorang melayang. Tapi mengapa tak ada yang memahami perasaannya sedikit pun? Dia juga korban disini! Korban perselingkuhan suaminya. Siapa yang tak syok menemukan suaminya bercinta dengan seseorang yang dianggap sahabat di hari ulangtahun pernikahan mereka? Coba mereka tempatkan diri mereka di posisi Lana, apa yang akan mereka lakukan?
Cuh!
Lana tersentak ketika seseorang yang dilewatinya meludahinya dengan keji. Spontan wajahnya terangkat, dan pandangan matanya bertemu dengan tatapan sinis seorang perempuan. Melina! Beraninya dia disini dan ikut menghujatnya seakan dia tak bersalah sama sekali. Hati Lana mendidih karena kemarahan dan frustasi yang telah ditahannya sedari tadi.
“Perempuan jahat! Kamu memang layak membusuk di penjara! Beraninya kau membunuh Mas Bimo yang tak bersalah!” maki Melina.
“Tak bersalah?” cicit Lana dengan gigi bergemulutuk. “Jadi, perselingkuhan kalian yang menjijikkan itu bukan suatu kesalahan?”
Melina tersenyum sinis. “Maling teriak maling! Justru hubunganmu dengan Mas Bimo itu yang kotor! Asal kau tahu, dia sama sekali tak mencintaimu!
Perkataan itu bagai cairan cuka yang membasahi luka yang belum mengering. Sakit sekali hati Lana. Dia meraung bagai hewan terluka, dengan gelap mata Lana menyerbu Melina. Dijambaknya rambut perempuan yang disemir pirang itu hingga beberapa helai tercabut dari akarnya. Melina sengaja tak mau melawan, ia justru menangis pilu untuk menarik simpati orang-orang di sekitar mereka. Usahanya berhasil!
Mereka yang menyaksikan pergulatan yang terkesan tak adil ini berinisiatif membela yang terlihat lemah. Apalagi mereka tahu si sadis yang tampak emosi adalah narapidana kasus kematian. Kali ini Lana tak hanya mendapat hujatan. Dia dibantai secara massal. Ditendang, dijotos, dijambak, diludahi, dan dilempari benda apapun yang bisa mereka raih untuk melukai sang narapidana tak tahu diri ini.
Bruk!
Tak dapat menahan bully-an massal, juga akibat kelelahan psikis dan fisik yang ditahannya selama ini, Lana tersungkur ke jalan. Dia menangis sambil menutupi wajahnya dari sambitan benda-benda yang dilempar pengunjung sidang padanya. Botol air mineral, dus snack, kaleng minuman, dan beberapa benda lain melayang jatuh ke sekujur tubuhnya. Lana hanya pasrah menerima perlakuan tak adil ini sembari menangis dengan menyayat hati.
“Hentikan!!”
Teriakan menggelegar nan berwibawa itu sontak menghentikan amukan massa. Mereka berhenti, menatap pada seorang pria tampan yang tampak berkuasa dengan beberapa aparat keamanan di sekelilingnya. Pria itu mendekati Lana, anehnya seiring langkahnya kerumunan massa menyibak dengan sendirinya ... seakan memberinya jalan. Pria itu menatap miris pada Lana yang tersungkur di tanah dengan remahan-remahan benda yang menghujani wanita malang itu.
“Lana ...,” desis pria itu sedih.
Dia berjongkok dan memeluk Lana hangat. Tak peduli akan tatapan terkejut dan sinis dari orang-orang di sekitar mereka.
“Bukannya dia hakim yang menjatuhkan dakwaan tadi?”
“Setelah menghukumnya berat, dia memeluknya! Apa-apaan ini?”
Pria itu, Reynard Hambali, hakim yang baru saja menjatuhkan vonis pada wanita yang dipeluknya, mengangkat dagu Lana. Dia menghela napas melihat tatapan nanar Lana padanya. Dibersihkannya wajah kotor Lana yang terkena tumpahan minuman softdrink bercampur remahan keripik yang dilempar pada wanita itu tadi dengan saputangannya.
“Maafkan, Lana ...,” gumam Reynard lirih.
“Maaf ... untuk apa? Atas hukuman tak adil untukku, Pak Hakim terhormat?” sinis Lana.
Reynard sadar, dia memang tak layak dimaafkan!
***
Lana masih di klinik gedung pengadilan. Setelah kejadian amukan massa padanya tadi, Reynard membawanya masuk kembali ke gedung pengadilan supaya luka-lukanya dapat diobati. Perawat mengobati memar-memar yang dideritanya secara asal-asalan, sebenarnya mereka enggan melakukannya. Namun karena titah Hakim Reynard mereka terpaksa mengobati Lana, meski dengan gerakan kasar yang membuat Lana meringis, menahan ngilu.
Memang dia adalah narapidana, tapi apakah seorang pesakitan sepertinya tak layak mendapat perlakuan manusiawi? Lana hanya bisa mengeluh dalam hati. Sepertinya dia akan terus mengalami perlakuan buruk ini dalam sisa hidupnya!
Mendadak dia teringat akan pria itu. Pria yang pernah membuat kepercayaannya tumbuh, pria yang sebelum ini berhasil membangkitkan semangatnya untuk menentang ketidak-adilan yang diterimanya. Namun, di detik terakhir pria itu juga yang menjebloskannya ke penjara! Hakim Reynard Hambali. Mengapa tadi dia menolongnya dari amukan massa? Lebih baik dia membiarkan Lana cidera berat! Lana tak ingin ditipu lagi. Setelah berperan menjadi malaikat penolong, di saat terakhir dia berubah menjadi malaikat elmaut yang melempar Lana ke neraka. Cukup sekali Lana mengalaminya.
Meski marah pada pria itu, Lana terus terbayang akan tatapan sendu Reynard padanya. Dia tak ingin luluh lantak dan lemah hati padanya. Namun, tetap saja hati Lana diliputi rasa penasaran. Benar kah Reynard masih peduli padanya? Tatapan mata pria itu tadi begitu tulus, apakah dia masih ....? Lana menepis pemikiran itu. Tak mungkin pria terhormat seperti Hakim Reynard memiliki perasaan khusus padanya! Mungkin dia hanya kasihan pada Lana.
Apakah pria itu bisa menolongnya? Mungkin, Lana bisa naik banding. Memikirkan kemungkinan itu, Lana berniat membicarakannya dengan Reynard. Tadi pria itu izin ke toilet, tak sabar lagi Lana menyusulnya kesana. Dekat dengan toilet, Lana spontan berhenti karena mendengar percakapan sayup-sayup di depan toilet. Matanya membulat mengetahui siapa yang melakukan percakapan misterius itu.
“Mengapa kau melakukannya, Pak Hakim?” protes Melina kesal. “Seharusnya kau membiarkannya diamuk massa sampai babak belur, kalau perlu biarkan dia mati!” desis wanita itu keji.
“Melina, dia sudah dihukum. Aku sudah menuruti keinginanmu, walau itu tak adil buatnya. Apa kau masih tak puas?” sahut Reynard dingin.
“Mengapa kau seakan tak rela dia dihukum seperti itu? Lagipula, menurutku hukuman Lana kurang berat! Seharusnya kau membiarkan dia membusuk di penjara seumur hidupnya!”
“Hukuman atas perbuatan yang tak pernah dilakukannya?’ sindir Reynard tajam.
Deg! Mendengar kalimat Reynard jantung Lana berdegup kencang. Dia mulai curiga ada sesuatu yang tak beres dalam kasus yang dituduhkan padanya.
Sementara itu wajah Melina berubah pias. “Kakak tahu?” cicitnya syok.
“Kau pikir aku hakim bodoh? Aku sudah curiga dari awal ... Bimo tewas bukan karena perbuatan Lana! Dia adalah kambing hitam yang kau sodorkan karena dendammu padanya!”
BRUK! Melina berlutut di depan Reynard dengan mata berkaca-kaca.
“Kakak, tolong jangan buka hal ini pada siapapun! Aku mohon, biarkan Lana yang menanggungnya. Kau tak mungkin lebih membela perempuan itu daripada adik kandungmu sendiri, kan?” pinta Melina, memohon dengan sangat.
Jantung Lana seakan berhenti mendengarnya. Reynard adalah kakak kandung Melina? Mengapa dia baru mengetahuinya sekarang? Betapa pandainya mereka bersandiwara dan menipu semua orang! Selama ini, mereka terlihat tak dekat ... bahkan terkesan saling tak menyukai! Ternyata di balik sandiwara itu mereka bersengkongkol untuk menjatuhkan Lana!
“Kau pikir ... untuk apa aku mendakwanya seberat itu? Demi kamu! Aku terpaksa mengorbankan dirinya untuk menggantikanmu di penjara, Melina!”
Ya Allah, Lana nyaris tak kuat mendengar kenyataan yang didengarnya. Dia telah difitnah dengan keji dan dihukum dengan berat atas perbuatan yang tak dilakukan olehnya. Tangan Lana mengepal kuat. Dia menahan diri untuk menyerbu pada dua orang yang telah menghancurkan hidupnya!
Lana tak bisa memaafkan mereka!
Dia bertekad akan membalas dendam, bagaimana pun caranya!
Bersambung