03. PERNIKAHAN YANG BAHAGIA?

1300 Words
BEBERAPA BULAN SEBELUM LANA DIADILI ... Lana membuka matanya yang masih terasa berat. “Jam berapa, Mas?” tanyanya sembari mengetatkan pelukannya di pingang sang suami. “Pukul delapan,” sahut Bimo setelah melirik jam kuk-kuk di dinding. Sontak mata Lana melebar, kaget. Perasaan dia baru tidur sebentar, masa sudah jam delapan? Semalam dia melembur, menyelesaikan novelnya yang dikejar dateline dari penerbit. “Sebegitu cepatnya? Mas tak salah lihat?” protes Lana spontan. Kuk-kuk. Kuk-kuk. Kuk-kuk. Burung kecil yang keluar dari sangkarnya di dalam jam berkicau riang seakan membenarkan ucapan Bimo. Pria itu tertawa renyah, lantas menggoda istrinya. “Si kuk-kuk saja tahu membela yang benar.” Bibir Lana merengut manja. “Jadi, menurut Mas ... saya bersalah, begitu? Dasar jaksa yang suka menyalahkan orang!” Suaminya, Bimo adalah jaksa muda yang tengah naik daun. Lana bangga sekali atas prestasi suaminya. Siapa tak mengenal Bimo Pangabean? Dia tampan, pintar, sukses, dan tak pernah terlibat skandal apapun. Pendeknya dia adalah suami idaman setiap wanita. Lana beruntung memilikinya. Saat ini hidupnya terasa sempurna, pernikahannya amat bahagia bersama suaminya yang tampan dan menyenangkan. Nyaris sempurna, kecuali satu hal. Suaminya tak bisa menunaikan kewajibannya di atas ranjang. Semenjak kecelakaan mobil yang menimpanya tiga bulan lalu, Bimo mengalami impotensi. Lana menerimanya dengan tabah, juga karena dia merasa bersalah, sebab dia lah penyebab kecelakaan itu. “Mas, aku telah membuat janji dengan Dokter Tobing untuk jadwal terapimu. Aku bisa mengantarmu jam lima sore nanti.” Lana memberitahu suaminya saat dia tengah berdandan di meja riasnya. Hanya berdandan ala kadarnya dengan riasan alami, Lana tampil sangat cantik. Kulitnya putih halus, hidungnya mancung, dengan bibir mungil seperti buah cerry. Wajah Lana amat sempurna, apalagi ditunjang dengan lekuk tubuhnya yang menggiurkan ... pantas dia membuat mata lelaki tak puas hanya menoleh sekali padanya. Bimo menyadari hal itu, dan dia sangat bangga memiliki istri secantik boneka. Hampir semua teman-temannya iri pada keberuntungannya. Bimo mendekati istrinya, berlutut di belakang istrinya. Mengagumi kecantikan sang istri yang terpantul di cermin rias. Dia mengambil alih sisir di tangan Lana, lantas menyurai rambut panjang berkilau Lana dengan hati-hati. “Aku tahu kau masih sibuk dengan novelmu, Sayang. Aku bisa pergi sendiri. Tenanglah, aku tak akan hilang. Aku akan selalu kembali di sisimu,” janji Bimo dengan bibir tersenyum lembut. Diakhiri dengan kecupan mesra di leher jenjang Lana. Lana menyaksikan kemesraan itu melalui cermin, dia bisa melihat betapa besar cinta Bimo padanya. Dia sering terharu akan sikap lembut dan penuh pengertian sang suami. Seperti kali ini, Bimo bersedia pergi terapi sendiri tanpa ditemani dirinya. Bimo tahu, Lana sering tersiksa mengantarnya terapi untuk mengobati impotensi dirinya karena istrinya itu diliputi perasaan bersalah yang amat besar. “Baiklah, aku akan menantimu dengan setia di rumah. Terimakasih atas pengertianmu, Sayang,” sahut Lana sendu. Dia berbalik, menatap suaminya lekat dan mengusap pipi yang selalu mulus karena Bimo rajin mencukur bulu-bulu di wajahnya. “Semoga ada kemajuan saat terapi nanti. Mau mencobanya nanti malam?” Lana menawarkan dengan mata berbinar. Sudah lama sekali mereka tak melakukannya, sebagai wanita normal tentu dia merindukan sentuhan lelaki. Lagipula, Lana ingin sekali rahimnya dibuahi. Rumah tangga mereka tentu akan semakin semarak dengan kehadiran sang buah hati. Wajah Bimo berubah muram mendengar permintaan Lana. Dia khawatir jika mengecewakan istrinya. Bimo masih belum percaya diri melakukannya. “Mas, kita lakukan saja, oke? Berhasil atau tidak jangan dijadikan beban. Aku hanya ingin kita terus berusaha, tanpa patah semangat!” Lana menyadari perasaan minder yang diderita Bimo untuk masalah ini, dia berusaha membesarkan hati suaminya. Bimo berusaha tersenyum, meski terasa dipaksakan. “Baiklah, tapi jangan terlalu mengharap. Aku tak ingin kau kecewa, Sayang.” *** Novelnya selesai lebih cepat dari yang diperkirakan, jadi Lana memiliki banyak waktu luang di sore hari ini. Dia terlalu berenergi, sayang jika menyia-nyiakan waktunya hanya untuk tiduran. Lana ingin membahagiakan Bimo dengan ikut menemaninya ke tempat terapi. Dia akan menunjukkan pada Bimo bahwa dia tak lagi tersiksa melakukannya, supaya hati lelaki itu menjadi tenang. Lana tahu Bimo berencana langsung ke klinik langganannya langsung dari kantor, jadi dia lebih baik menyusul kesana dengan menaiki taksi online. Lana sudah berada di dalam taksi saat dia menelepon Bimo. “Halo, Mas, ada dimana?” tanya Lana tanpa basa-basi. “Dimana lagi? Tentu saja di klinik, Sayang. Menjalani terapi.” “Oh, baiklah. Aku menuju kesana, aku akan menemanimu terapi.” Terdengar suara napas tercekat, mungkin Bimo terkejut karena tak menyangka Lana akan menyusulnya. “Tak perlu, Sayang. Terapinya sudah akan berakhir. Kita bertemu di rumah saja, oke?” Bimo berkata dengan cepat. Lana mengira Bimo mencegahnya datang karena khawatir padanya. “Mas, aku sudah dekat. Sebentar lagi sampai klinik. Tunggu disana sebentar. Kita pulang sama-sama. Bagaimana kalau kita candle light dinner dulu di restoran Perancis sebelum pulang?” “Good idea! Tapi lebih baik kita bertemu di restoran saja. Ini terapiku sudah selesai loh.” “Nanggung, Mas. Ini aku mau sampai ke klinik. Tunggu disana saja, oke?” Bimo menghela napas panjang, usahanya menghalangi Lana datang ke klinik sepertinya sia-sia. “Baiklah, tunggu aku di cafe depan klinik saja. Kamu tak usah masuk klinik, bagaimana Sayang?” “Deal!” sahut Lana menyetujui. Dia tak ingin berdebat kusir dengan suaminya lagi. Lana yakin suaminya tak mengizinkannya masuk ke klinik untuk menjaga perasaannya. Tapi Lana akan masuk, dia ingin menunjukkan bahwa dia bisa mengatasi perasaan bersalahnya. Lana masuk ke dalam klinik Dokter Tobing, namun dia tak menemukan Bimo di dalam. Bukankah Bimo bilang terapinya akan selesai? Atau sudah selesai? Lana menanyakannya pada suster perawat yang berjaga di klinik. “Sore, Sus. Saya ingin menanyakan sesuatu. Apakah terapi Bapak Bimo Pangabean sudah selesai? Saya istrinya yang datang menjemput.” Suster itu melayani pertanyaannya dengan sopan. “Sebentar, Bu. Saya akan mengeceknya.” Suster itu memeriksa data di komputernya, keningnya mengernyit heran. “Maaf, tadi Ibu menyebut nama lengkap Bapak siapa?” “Bimo Pangabean.” “Bukan Beni Sidharta, Bu?” tanya suster perawat memastikan. “Bukan. Saya istrinya, Sus. Masa nama suami sendiri tak hapal?” jawab Lana setengah menyindir. Suster itu memeriksa data di komputernya sekali lagi. Dia memandang Lana sembari menggelengkan kepalanya. Lana ingin bertanya, namun panggilan seseorang di belakangnya mengurungkan niatnya. “Sayang, bukannya aku menyuruhmu menunggu di cafe depan klinik? Mengapa kamu kemari?” tegur Bimo dengan wajah kurang suka. Lana tampak lega sekaligus merasa bersalah melihat suaminya. “Maaf, Sayang. Aku hanya ingin menunjukkan kalau aku tak berkeberatan mengantarmu ....” Lana berhenti bicara begitu menyadari keberadaan sosok lain di belakang suaminya. Dia Melina. Rekan kerja Bimo sekaligus sahabat dekat mereka berdua. “Kalian datang bersama?” celetuk Lana, heran. Bimo agak gugup, dia tak menyangka Melina mengikutinya kemari. Bukannya dia telah meminta wanita itu pulang sendiri dengan naik taksi? Sementara Melina dengan tenang tersenyum pada Lana dan membenarkan dugaan wanita cantik itu. “Iya, kami datang bersama.” Lana baru menyadari satu hal. Bimo dan Melina ... mereka sama-sama tampak kusut dan berkeringat. “Sayang, yang benar ... kami baru saja tiba. Aku tak sempat mengikuti terapi karena terhambat masalah pekerjaan yang harus kami bereskan. Jadi dari meeting bersama klien, aku terpaksa membawa Melina kemari, mengajaknya menemuimu. Maaf, tadi aku tak mengatakan padamu supaya kau tak bingung,” jelas Bimo dengan raut wajah menyesal. Lana tersenyum geli mendengarnya. Pantas, Suster Perawat kebingungan,. Ternyata memang Bimo tak jadi mengikuti terapi. Sepertinya mereka harus menjadwal ulang sesi terapi yang batal hari ini. “Astaga, Sayang. Aku bisa memahaminya. Tak usah merasa bersalah seakan kalian terpergok berselingkuh,” canda Lana sambil tertawa tergelak. Dia tak menyadari ekspresi rikuh di wajah Bimo dan Melina. “Karena kita telah bertemu, bagaimana kalau kita makan malam bersama? Senang sekali bertemu denganmu, Melina. Aku merindukanmu,” kata Lana dengan senyum manis tersungging di wajah cantiknya. “Tentu,” sahut Melina sambil melirik menggoda pada Bimo. “Aku juga merindukan kalian,” sambung wanita itu penuh arti. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD