Suasana pengadilan hari ini begitu tegang. Maklum, hari ini adalah sidang terakhir dimana akan dibacakan keputusan pengadilan untuk kasus pembunuhan suami dengan terdakwa istrinya, yang dicurigai motifnya adalah cemburu karena sang suami menyeleweng. Tentunya kasus ini bukan kasus istimewa jika tak melihat siapa oknum dan siapa korbannya. Korbannya adalah seorang jaksa muda yang tengah naik daun dan sangat populer di kalangan hukum. Dan sang istri adalah penulis n****+ thriller kenamaan.
Ketua Majelis Hakim, Hakim Reynard Hambali membacakan surat keputusan pengadilan dengan suaranya yang tegas.
“Hari ini Senin, tanggal 4 Januari 2021, dari gedung pengadilan tinggi di jalan Arif Rahman Hakim, saya ketua Majelis Hakim Reynard Hambali, S.H. membacakan keputusan pengadilan kasus pembunuhan Bimo Pangabean, S. H. dengan terdakwa Nyonya Lana Susanti. Mempertimbangkan tuntutan, pembelaan dan sikap baik terdakwa selama ditahan dan dalam proses pengadilan, maka pengadilan memutuskan hukuman kurungan selama limabelas tahun dan denda sebesar 150 juta, dibayar tunai!”
Tok! Tok! Tok!
Hakim mengetukkan palunya tiga kali setelah membacakan keputusan pengadilan.
Lana mendengarnya dan nyaris tak mempercayai pendengarannya. Setelah semua pembelaan itu, juga bukti-bukti kuat yang mendukungnya ... mengapa dia masih dikenai hukuman sebesar ini? Matanya berkaca-kaca, menatap seseorang yang duduk dihadapannya dengan pakaian kebesarannya.
Mengapa dia setega itu? Padahal selama ini dia sering bertindak sebagai penyelamat Lana. Mengapa justru di akhir, pria ini justru menikamnya dengan memberikan hukuman seberat ini? Lana tak bisa lagi mempercayai siapapun setelah peristiwa itu, dan pria ini berhasil membuatnya kembali berusaha mempercayai orang lain. Ck, akhirnya sama saja! Dia kembali dikhianati.
Kepercayaannya terhadap orang lain hancur berawal dari peristiwa itu. Lana memejamkan matanya ketika tak sengaja dia membayangkan kejadian memilukan dalam kehidupan rumah tangganya.
Flash back on ....
Lana memasuki kantor Bimo dengan sembunyi-sembunyi. Dia ingin memberi surprise pada suaminya. Hari ini adalah peringatan tiga tahun pernikahan mereka, dia ingin memberi kenangan berkesan di hari khusus ini. Lana yang kalem dan terencana, akan memberikan pesta kejutan pada suaminya.
Dia sengaja berpura-pura pergi ke luar kota, dengan alasan menengok kedua orangtuanya, tapi bukannya menaiki pesawatnya ... dari bandara, Lana memesan taksi menuju ke kantor Bimo. Dia sempat mampir ke toko roti, mengambil pesanan tar untuk peringatan wedding anniversary mereka, lalu segera melaju ke kantor suaminya. Lana naik melalui lift khusus petinggi perusahaan. Untung sekretaris suaminya tak ada di tempat, jadi dengan leluasa dia bisa membuka pintu sembari membawa tar dengan lilin angka tiga menyala.
“Surprise! Happy wedding anniversary, Sayang!” seru Lana dengan ceria.
Dia terpaku di tempat dengan wajah syok. Di depannya, dengan pakaian acak-acakan tampak suaminya b******u mesra dengan seorang wanita. Suaminya berselingkuh dengan teman kerjanya sendiri .... Melina Santoso. Seseorang yang dekat dengan keluarganya, bahkan dianggap sahabat oleh Lana. Kini, sahabatnya ditemukan tengah bergelut diatas meja dengan suaminya!
“Sayang, jangan salah paham. Ini tak sesuai dengan yang kau lihat,” kelit Bimo sembari membereskan pakaiannya yang berantakan.
Mata Lana berkaca-kaca, kesedihan menderanya begitu hebat. Apa lagi yang bisa dibantah? Semua sudah jelas!
“Katakan padaku, Bimo. Apa yang telah kulihat ini ... aku menemukan kalian tengah bercinta diatas meja kerja, dengan pakaian acak-acakan. Apa aku salah melihat sementara tubuh kalian masih menyatu?” sindir Lana dengan hati berantakan. Bagaimana hatinya tak hancur, sekilas dia menangkap pandangan puas di mata Melina sebelum perempuan itu menatap memelas.
Bimo tersadar dan segera melepaskan dirinya dari perempuan yang ditindihnya. Dia tak mampu berkata apa pun menutupi kebodohan yang dilakukannya.
“Sayang, kami khilaf. Yang terjadi sebenarnya adalah ....”
PLOK!
Bimo berhenti berbicara saat sebuah tar melayang mengenai wajahnya. Krim tar yang berlemak dan berminyak memenuhi wajah tampannya yang biasa amat disukai Lana. Bimo menghapus krim itu dengan saputangannya. Berusaha menahan emosinya, Bimo mendekati istrinya.
“Sayang, aku tahu kau marah. Kau kecewa. Tapi tolong dengarkan penjelasanku ....”
“Hentikan bualanmu, Bimo! Kau b******k!” potong Lana gusar. Dia menutup kedua telinganya dengan airmata bercucuran.
Bimo memandang putus asa pada Melina, berharap selingkuhannya membantu dirinya untuk menjelaskan pada Lana.
“Melina ....”
Pelakor itu mengangkat bahunya, dengan gaya dibuat-buat dia berkata pada Lana, “Lana, yang kau lihat tak nyata. Ehm, maksudku kami hanya khilaf ... sesekali khilaf. Kami melakukannya tanpa bermaksud merusak hubungan pernikahanmu dengan Bimo.”
Penjelasan itu semakin memanaskan hati Lana. Dia tak memaafkan pengkhianatan, apalagi dengan alasan hanya main-main seperti ini. Betapa murahannya mereka!
“Kalian menjijikkan!” sembur Lana gusar. Tak tertahankan lagi. Lana tak ingin disini lagi sebelum dia muntah.
“Aku harus pergi. Aku akan menceraikanmu, Bimo! Kita tak bisa bersama lagi,” putus Lana cepat. Dia berbalik hendak pergi.
“Tidak! Tak boleh, Lana!” tolak Bimo. Dia tak bisa membiarkan Lana keluar dalam keadaan kacau dan berkoar-koar diluar. Karirnya yang sedang menanjak bisa hancur berantakan bila istrinya mengajukan perceraian. Dia yakin begitu imagenya sebagai suami yang setia runtuh, akan diringi dengan turunnya kepercayaan masyarakat padanya.
Lelaki itu memeluk Lana dari belakang, berusaha membujuk istrinya.
“Sayang, aku mencintaimu. Aku tak mau kita bercerai. Tolong, maafkan aku. Aku akan memutuskan hubungan dengannya ... diantara kami tak ada apa-apa lagi!” janji Bimo.
Melina sontak memprotesnya. “Apa?! Bimo, kamu tak boleh membuangku begi-“
“Diam, Melina! Ini urusan kami ... suami istri!”
“Kamu yang diam, Bimo! Sudah muak aku mendengar kebohonganmu dari bibirmu! Aku tak lagi mempercayaimu, Brengseeek!” hardik Lana.
Lana meronta dalam pelukan suaminya, namun Bimo bersikeras tak mau melepasnya. Mereka bergulat sengit. Lana yang bertekad melepaskan diri, mengambil vas dari tangannya ... lantas memukulkannya pada kepala Bimo.
PRANG!
Vas itu pecah seketika. Mata Lana membeliak begitu menyadari dari atas kepala Bimo mengalir darah segar akibat hantaman vas bunga yang dipukulkan Lana padanya. Suaminya terkulai jatuh dan tersungkur di atas tanah. Melina menjerit histeris, sementara Lana terdiam dengan syok.
“Kau! Kau telah membunuh Bimo! Pembunuh! Pembunuh!!” teriak Melina sangat marah.
Lana menggelengkan kepalanya. “Tidak! Tidak!”
Dia segera berlari, dengan niat mencari pertolongan. Namun di kemudian hari ... tindakannya ini dianggap sebagai usaha melarikan diri dari kejahatannya!
Bersambung