#Jangan Lupa Vote dan Komen ya guys biar author makin semangat. ?
********
Karina menarik tasnya ke samping wajahnya, berharap dapat menyembunyikan dirinya.
"Ada begitu banyak Caffe, restoran di mall ini kenapa bisa mereke ke sini?" Desis Karina.
"Kenapa harus Mall ini dari sekian banyak Mall yang ada?"
Karina was - was takut keberadaannya diketahui sosok yang ia lihat di bawah tadi. Untung tempat duduk mereka agak jauh walau dalam satu Caffe yang sama.
"Kamu kenapa?" tanya Hanif bingung melihat Karina yang bertingkah aneh.
"Hah? Nggak, gak kenapa - kenapa," jawab Karina walau jelas tindakannya terlihat mencurigakan.
"Are You Ok?"
"Yess. Of course. Hahaa."
Karina tersenyum canggung, sebisa mungkin tak ingin keberadaannya diketahui. Ia mengintip ke arah sang bos yang bisa - bisanya mereka malah bertemu di saat Karina sedang cuti begini.
Bara duduk bersama Rasya, SPV Marketing sepertinya mereka sedang bertemu dengan orang toko karena ada dua orang lainnya yang duduk bersama mereka. Karina mencoba mengingat apakah memang ada jadwal bertemu orang toko di Caffe ini? Tapi seingat Karina tidak ada.
"Karina."
"Ya," Karina refleks menjawab cepat, langsung menoleh ke arah Hanif yang masih menatapnya penuh tanda tanya, jelas Karina terlihat mencurigakan.
"Ada apa sih?"
"Gak ada apa - apa. Cuma kayaknya Aku lihat orang yang Aku kenal aja. Iya gitu." Karina tertawa canggung, ia sepertinya harus segera keluar dari caffe ini sebelum keberadaannya diketahui.
Tapi belum Karina mengajak pergi satu suara menginstrupsinya.
"Loh Hanif," sapa suara yang familiar di telinga Karina.
"Rasya, iyakan? Apa kabar?"
Hanif berdiri menyapa Rasya, mereka rupanya saling mengenal. Karina bergeser mencoba menyembunyikan wajahnya sebisa mungkin.
"Sehat. Lo apa kabar?"
"Sehat juga. Lagi ngapain di sini?"
"Biasa, kerja, meeting sama client. Lo sendiri?"
Hanif melirik ke arah Karina begitu pula dengan Rasya yang sebenarnya tadi mau ke toilet tapi malah tak sengaja melihat Hanif, teman SMAnya dulu.
Rasya menatap penuh selidik, entah mengapa ia merasa kenal dengan postur orang yang duduk di berhadapan Hanif walau ia hanya melihat dari belakang.
"Karina?" serunya.
"Karinakan ya?"
Mendengar namanya dipanggil mau tak mau Karina memperlihatkan wajahnya, memasang senyum ala kadarnya.
"Eh. Rasya," sapanya tersenyum sembari menggigit bibir dalamnya. Kenapa jadi begini? Pikirnya.
Rasya menunjuk Karina dan Hanif bergantian kemudian tersenyum mencurigakan.
"Hayo lagi ngapain?" tanyanya sambil mengulum senyum.
"Menurut Lo kalau lagi di Caffe biasanya orang ngapain? Debus?"
Rasya tertawa, melihat kedua orang itu bergantian.
"Ngapain ya?" tanyanya menggoda.
"Kalian saling kenal?" tanya Hanif begitu melihat interaksi Karina dan Rasya yang terlihat akrab.
Rasya memukul pundak Karina pelan.
"Kenal dong. Karina ini satu perusahaan sama Gue."
"Oh gitu. Pantas kelihatan akrab." Hanif mengangguk anggukan kepalanya.
"Cie lagi ngedate ya?"
Hanif hanya tersenyum tak menjawab sementara Karina sendiri sedang tak fokus, ia melirik ke arah Bara yang sedang memgobrol, ia bersyukur sepertinya sang bos tak mengetahui keberadaannya.
"Kok bisa Lo di sini sama bos?"
'Kayak gak ada tempat lain aja,' sambungnya dalam hati.
"Ya bisalah. Sekretarisnya lagi cuti jadi mau nggak mau Gue yang jadi sekretaris dadakannya," jelasnya seolah sengaja menekan kata sekretaris.
Karina menatap Rasya jengkel. Yang ditatap malah tersenyum cengengesan.
"Sekretaris juga manusia."
"Tapi seisi kantor juga tahu kalau sekretarisnya pak Bara itu bukan manusia biasa."
Karina memukul lengan Rasya cukup keras membuat pria itu mengaduh, tapi wajahnya tersenyum melihat respon Karina.
"Lo kok kayaknya panik gitu sih Kar? Kenapa sih?"
"Iye panik Gue. Menurut Lo."
"Lah panik kenapa? Santai."
Hanif yang tadinya hanya menonton akhirnya fokus melihat ke arah Karina, memang sejak tadi Karina berkelakuan agak aneh dan tak sesantai sebelumnya.
"Menurut Lo. Eh Lo jangan kasih tahu bos ya kalau ketemu Gue."
Rasya menoleh ke arah meja yang tadi ia tempati.
"Mohon maaf Karina kapur. Terlambat, bos udah ngelihat ke arah sini tuh," ucap Rasya santai.
Jantung Karina? Jangan ditanya, apalagi saat ia melihat ke arah meja Bara, benar saja, sang bos sedang menatap lurus ke arahnya.
********
Karina menghembuskan napas berat. Mau tak mau ia harus menyapa sang bos, kan tak enak kalau ketemu di satu tempat tapi tidak menyapa mana sempat bertemu pandang pula tadi. Dan juga sekalian ia mau keluar karena film yang akan mereka tonton akan segera tayang.
"Loh Karina," sapa pria yang duduk di depan Bara. Karina kenal dengan orang ini karena cukup sering bertemu sebelumnya.
"Halo Pak," sapa Karina sopan.
"Katanya lagi cuti?"
"Iya ini kebetulan aja ketemu di sini."
Karina memasang senyum formal seperti saat ia sedang bekerja.
"Siapa ini? Udah ada gandengan kayaknya ya?"
"Haha.." Karina tertawa canggung.
"Ini teman Pak."
Mereka berbincang sesaat sebelum akhirnya pamit. Anehnya Bara sama sekali tidak buka suara, ia hanya diam memperhatikan Karina bahkan sampai ia keluar dari Caffe, entah kenapa Karina merasa tatapan Bara terlihat seperti sedang, kesal, tapi kenapa? Apa dosanya? Tak mungkinkan Bara tahu kalau Karina tadi menghindarinya?.
"Kar, Kamu gak apa - apa?" tanya Hanif yang sudah duduk di sebelahnya sembari membawa popcorn, layar lebar sedang menayangkan iklan sebelum film diputar.
"Nggak. Aku gak apa - apa kok. Emangnya kenapa?"
"Kamu agak aneh aja. Kamu gak sakitkan?"
Karina dengan cepat menggeleng.
"Enggak. Sehat kok. Haha, sehat walafiat malahan." Lagi - lagi Karina tertawa sumbang.
Hanif hanya memasang senyum mengerti, ia sendiri tak tahu situasinya, kenapa jadi aneh begini, padahal sebelumnya Karina terlihat santai tapi sekarang seperti sedang banyak pikiran hanya karena tak sengaja bertemu bosnya.
Mereka fokus ke layar lebar namun tak lama kemudian Karina terlonjak, menegakkan tubuhnya saat melihat siluet yang berjalan lewat di sampingnya.
Karina memutar badan menoleh ke belakang, empat orang yang tadi tak sengaja bertemu dengannya sekarang malah duduk pas sekali di barisan belakang tempat duduknya saat ini.
"Wah Karina lagi. Kebetulan macam apa ini," ucap Rasya, seolah tak percaya kok bisa mereka terus papasan begini.
Karina memandang curiga, tapi terlalu mulus untuk dikatakan sebagai suatu kesengajaan. Bara sendiri tak bicara sepatah katapun pada Karina, dan entah kenapa hal itu malah membuat Karina merasa jengkel.
"Hehe. Iya kok bisa ya." Karina mencoba tertawa walau terdengar terpaksa, tak habis pikir dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Ia berbalik kembali ke arah depan.
"Haisss," desisnya. Satu hari nyaman tanpa bayang - bayang sang bos ternyata sangat sulit di dapatkan.
Film sudah hampir selesai dan Karina sama sekali tak tahu apa isi film tersebut, karena sejak tadi fokusnya tak berada di tempatnya. Pikirannya terlalu kalut karena makhluk yang duduk di baris belakangnya ini. Ia tak berani menoleh ke belakang.
Tapi apa yang salah? Memang Karina membuat salah apa? Kenapa ia jadi merasa bersalah begini?
Selesai nonton tadinya Hanif mau mengantar Karina pulang. Bahkan ia memaksa untuk mengantar pulang tapi Karina menolak karena ia tahu Hanif sedang buru - buru karena ada hal mendesak soal pekerjaan. Hanif bahkan meminta maaf berkali - kali pada Karina.
Berpisah dengan Hanif, Karina buru - buru menjauh dari area bioskop takutnya ia bertemu dengan Bara lagi jadi ia memutuskan untuk berkeliling Mall sendirian.
Sembari menyesap minuman yang baru dibelinya, Karina berkeliling, melihat - lihat beberapa toko. Kalau sedang cuci mata begini rasanya gatal tangan Karina untuk memakai kartu ajaib milik Bara yang isinya sanggup membuat tangan Karina penuh dengan kantong belanjaan. Kapan ya Karina bisa jadi sultan begitu, bisa belanja tanpa khawatir uangnya akan habis?
Ia berhenti di outlet make up. Mencoba lipstick berwarna merah yang cukup berani.
"Kalau pakai warna itu Kamu jadi terlihat seperti habis memakan daging dengan kuah darah."
Karina mematung sesaat menoleh ke arah samping. Benar saja sang bos sedang berdiri di sampingnya sembari memperhatikannya.
"Bapak kok di sini? Jangan bilang kebetulan lagi."
"Nggak. Saya lihat Kamu di sini." Bara menoleh ke arah luar area outlet.
"Terus kenapa gak pura - pura gak lihat aja?"
"Segitu gak sukanya Kamu ketemu Saya?"
Karina terdiam sesaat, sadar sepertinya ia salah bicara.
"Yah nggak gitu." Ia memutar badan ke arah depan, dan mengambil tisu untuk menghapus lipsticknya.
"Teman Kamu tadi ke mana?"
"Pulang."
"Ninggalin Kamu sendiri?"
"Dia ada kerjaan. Tadi mau ngantar pulang tapi Saya masih pengen jalan - jalan."
Karina memilih - milih lipstick lagi, entah kenapa ia merasa salah tingkah saat akan mencoba lipstick lainnya, takutnya Bara berkomentar lagi.
"Yang lain mana, kok Bapak sendirian?"
"Rasya lagi ngantar mereka balik ke toko."
"Oh."
Canggung. Itulah yang mereka rasakan, padahal mereka saling tak berbuat salah tapi kenapa suasananya jadi tak nyaman begini?
"Jangan pakai lipstcik yang warnanya terlalu terang. Gak cocok sama Kamu."
Karina menoleh, mendesah pelan. Lihat bosnya bahkan seolah sedang mengatur warna lipstick apa yang harus Karina pakai. Padahal itukan hak dirinya sendiri sebagai si pemakai.
"Terus yang bagus yang mana?" tanyanya.
"Yang biasa Kamu pakai."
"Haah. Gini loh Pak, Saya tuh butuh suasana baru."
"Apa hubungannya lipstick dengan suasana baru?"
"Jelas ada dong. Tahu gak kalau wajah itu bisa jadi berbeda cuma karena warna lipsticknya berbeda," jelas Karina walau sepertinya Bara sama sekali tak mendengarnya. Pria itu sibuk membuka dan melihat warna lipstick satu persatu.
"Coba yang ini."
Bara menyodorkan satu lipstick berwarna nude peach.
Karina yang tak mau berdebat, manut saja dan langsung mencobanya dan benar saja selera Bara tak salah, warna lipstick ini terlihat pas di kulit Karina.
"Gimana Pak, cantik gak?"
Bara mengangguk. Karina malah punya pikiran untuk menggoda bosnya.
"Cantik lipsticknya atau orangnya?" tanyanya sembari menahan senyum, menahan malu juga sih sebenarnya.
"Lipsticknya," jawab Bara.
Karina manyun. Niatnya mau menggoda malah ia yang merasa dijatuhkan dari ketinggian.
"Kalau orangnya cantik setiap hari," ucap Bara lagi sembari memandang Karina tak bergeming.
********