********
"Ngapain lagi sih tu Tante - Tante di situ?"
Karina menarik napas berat, malas sekali rasanya ia mau keluar dan bertemu Tante Widya yang sekarang berdiri di samping pagar sembari memperhatikan mobil bosnya.
"Dosa apa Gue punya tetangga model begini," rutuknya.
"Pagi Tante," sapa Karina sopan.
"Eh Pagi Karina. Mau berangkat kerja ya?"
"Iya Tante."
Karina berjalan ke sisi mobil hendak masuk.
"Kar," seru Tante Widya. Karina yang tadinya sudah mau masuk kembali menengok ke arah suara.
"Kenapa Tante?"
"Ini mobil harganya berapa?"
Tangan Karina mengepal sembari tersenyum mengeratkan gigi, penting sekalikah menanyakan harga mobil orang di pagi hari saat orangnya mau pergi kerja? Sungguh berfaedah sekali.
"Kurang tahu sih Tante harganya berapa."
"Kata Damar harganya berkali lipat harga pajero ya?" tanya Tante Widya menyebut nama menantunya.
Ya Tuhan ingin sekali rasanya Karina memaki, masih tak habis pikir ada jenis manusia modelan begini.
"Mungkin Tante. Karina pamit ya mau berangkat kerja takut telat," katanya kemudian buru - buru masuk ke dalam mobil walau masih mendengar suara tetangganya itu mengajak bicara.
"Wajar sih kan yang punya direktur."
Sepanjang jalan rasanya ia mau mendumel saja, masih pagi saja moodnya sudah anjlok, apa kabar nanti saat berhadapan dengan bosnya?
Sesampainya ke apartemen Bara ia mampir dulu karena Hosea mengajaknya sarapan bersama, apalah daya Karina yang tak bisa menolak makan gratis.
"Hallo Pochi. Hallo Nana, selamat pagi," sapa Karina pada kedua kucing milik Bara yang sedang berbaring santai di atas sofa tapi naasnya kucing yang diberi nama seperti panggilannya itu malah memasang mode sangar saat melihat Karina.
"Aura Kamu seram kayaknya sampai Nana gak mau dekat."
Karina menyipitkan mata menatap kesal ke arah Bara, tadi tetangganya sekarang bosnya yang seperti mau mengajak war.
"Masih pagi Pak tolong jangan ngerusuh."
Bara hanya menggelengkan kepala, mengambil Nana dan Pochi, menggendongnya, berjalan menuju meja makan di mana Hosea sudah menyiapkan sarapan.
"Pagi Mbak Nana," sapa Hosea.
"Tolong panggil Saya Karina saat di rumah ini."
Hosea menahan senyum, entah darimana pula masnya mendapat ide memberi nama kucing dengan nama sekretarisnya.
"Nana," panggil Karina lagi, tak terima dimusuhi kucing itu. Tapi malang Nana si kucing tetap sama, memasang mode galak.
"Jangan ganggu Nana Saya. Lihat dia jadi ketakutan."
Karina nyaris menganga melihat betapa telatennya Bara mengelusi kucing tersebut, Pochi saja sudah di bawah sedang memakan sarapannya.
"Gak kucingnya, gak majikannya sama aja. Sama - sama nyebelin."
"Saya dengar loh."
"Yah bagus kalau dengar."
Inikan belum jam kantor jadi Bara belum menjadi bosnya, pikir Karina. Sementara Hosea hanya menggeleng heran melihat dua orang yang katanya sudah dewasa tapi sering sekali berdebat di hadapannya ini.
"Udah, udah yok sarapan. Nanti telat lagi ke kantor."
"Bisa ya Hosea lebih dewasa dari Kakaknya," ucap Karina tanpa rasa takut.
Bara hanya menatapnya tajam, tapi Karina tidak merasakan aura intimidasi dari sang bos jadi ia biasa saja.
Mereka mulai sarapan, nasi goreng buatan Hosea memang enak, sesuai dengan selera Karina karena itu juga ia dengan senang hati naik ke unit sang bos alih - alih menunggu di mobil.
"Tapi aneh deh, sama Aku, sama Mbak Anggun sekarang Mbak Karina juga si Nana gak mau dipegang, tapi sama Mas Bara nempel aja malah kayak minta dielus mulu."
Karina menoleh ke Hosea seolah bertanya 'masa sih?'
"Kayaknya Masmu itu lebih digemari kucing betina daripada manusia berjenis kelamin perempuan..."
Karina mendekatkan diri ke arah Hosea yang duduk di sebelahnya kemudian berbisik.
"Pantes jomblo mulu."
"Iya Mbak. Aku aja sampai heran."
"Masa jomblo aja menahun udah kayak penyakit kronis."
Mereka saling berbisik dan Bara hanya menggeleng heran, bisa - bisanya mereka bergosip di depan orangnya mana kedengaran pula.
"Tahun ini Saya menikah," celetuk Bara setengah tak terima dengan predikat jomblo menahun itu.
"Nikahin siapa Pak? Nana?" tanya Karina menggoda. Hosea bahkan ikut tertawa.
"Iya, Nana," jawab Bara matanya serius menatap ke arah Karina dan entah kenapa gadis itu malah merasa degdegan, salah tingkah, padahal yang ia tahu Nana yang Bara maksud itu kucing bukan dirinya.
********
"Memangnya kapan Mbak Anggun ke apartemen Bapak?"
Sekarang mereka sudah di jalan menuju kantor, sudah telat sih memang tapi masa bodolah toh telat juga bareng sang bos jadi santuylah.
"Semalam."
"Ngapain?"
"Main aja katanya."
"Oh," ucap Karina.
Entah kenapa ada perasaan menjanggal saat tahu Anggun main ke apartemen Bara setelah dirinya pulang kemarin.
Memangnya apa peduli Karina? Memangnya Karina siapa? Ia cepat menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikirannya yang mulai terasa ambigu.
"Jadwal Saya gimana?"
"Sama Bu Anne ya Pak. Kan hari ini Saya masih cuti."
Bara yang tadinya fokus mengecek email di tabletnya menoleh ke Karina yang sedang fokus menyetir.
Ia memperhatikan pakaian yang Karina kenakan, casual tapi memang tak terlihat seperti style Karina saat sedang bekerja.
"Masih mau cuti? Gak mau dibatalin aja, Saya bisa bantu bicara dengan bagian HRD."
Seisi kantor bahkan sampai ke cabangpun juga tahu kalau Karina yang merawat Bara selama ia dirawat di rumah sakit, parahnya ada gosip yang merebak kalau Karina cuti karena mau merawat Bara. Ada - ada saja, Karina ingin sekali mencari tahu siapa biang gosipnya.
"Gak deh Pak. Ini Saya ngantar Bapak aja ya. Saya ada urusan abis ini." Sebenarnya ia memang akan masuk kerja tapi mendadak ia mendapat janji temu dengan seorang teman.
"Urusan apa?"
"Pribadi dong. Saya juga butuh refreshing..."
"Ennek ngelihat muka Bapak mulu," desisnya sepelan mungkin, ia sangat tahu kalau telinga Bara ini sangat sensitif, Karina berbisik aja kadang bisa terdengar, entah Karina yang berbisiknya terlalu kencang atau bosnya yang punya pendengaran super.
Karina melirik ke sebelah. benar saja Bara sedang memperhatikannya tapi nampaknya tak mendengar apa yang tadi ia ucapkan.
"Sendiri?" tanya Bara.
"Kalau mau bawa aja mobil Saya."
Karina menggeleng cepat.
"Nggak deh Pak makasih." Bukannya apa kalau disuruh bawa bukannya sama saja menyuruh Karina untuk menjemputnya pulang nanti sore? Memangnya Karina sopir pribadi eh tapi ada benarnya sih kan salah satu jobdesknya sebagai sekretaris Bara adalah menyetir tapi kan Karina sedang cuti?
"Kenapa gak mau?"
Karina tersenyum malu - malu.
"Gak kenapa - kenapa sih Pak. Saya mau ketemuan sama teman. Jadi nanti bisa minta antar dia aja pulang."
Karina masih mengulum senyum, fokus menyetir, ia tak sadar kalau bosnya masih memperhatikan tingkahnya.
"Laki - laki atau perempuan?"
Karina nyaris mengerem mendadak, untuk mereka sudah di parkiran kantor. Kenapa juga bosnya ini banyak tanya.
"Memangnya kenapa Pak."
"Saya cuma mau pastikan Kamu nggak kenapa - kenapa kalau pergi sendiri."
"Pak." Karina menghembuskan napas pelan, mobil sudah terparkir dengan benar.
"Saya itu udah gede dan juga apa peduli Bapak Saya pergi sama siapa? Ketemu sama siapa?"
Bara sejenak terdiam. "Saya peduli. Kamu sekretaris Saya."
"Haah. Dengar ya Pak. Aman, aman banget. Yang Saya mau temuin ini teman kakak Saya, sudah dijamin aman terkendali. Lagian santai aja Pak, Saya kenapa - kenapa juga Bapak tinggal cari sekretaris Baru."
"Karina." Suara Bara terdengar berat, matanya menatap tak suka dengan apa yang Karina ucapkan.
"Gini deh Pak. Ini urusan pribadi Saya dan Saya lagi cuti jadi Bapak gak berhak ngatur - ngatur hidup Saya."
********
Karina berdiri di parkiran Mall. Sebentar lagi waktu ia janjian dengan Hanif, teman Kakaknya. Beberapa hari ini ia memang cukup aktif berkirim pesan dengannya dan Kebetulan ia sekarang sedang berada di kota ini jadi ia mengajak Karina untuk bertemu.
Secara fisik, dari foto tentunya, Hanif termasuk tipikalnya. Sifat juga baik, sopan santun dan soal agama jangan ditanya. Semoga saja ia tak secerewet bosnya, Aamiin. Doa Karina dalam hati.
Baru kali ini Karina merasa bersyukur karena macet ia tidak kepagian datang ke tempat janjian. Rencananya mereka hanya mau jalan - jalan keliling mall, nonton dan makan tentunya.
Telpon Karina berdering.
"Hallo," sapanya.
"Hallo. Saya sudah di depan Mall A. Kamu di mana?"
Karina celingukan mencari kalau - kalau ada orang yang sedang menelpon.
"Kamu yang pakai baju kemeja biru ya?" tanya Karina, melihat seorang pria yang sedang menelpon tak jauh darinya.
Gantian pria yang ia tebak sebagai Hanif celingukan mencari Karina. Tak lama tatapan mereka bertemu, pria itu langsung tersenyum dan berjalan mendekat.
"Udah lama?"
"Enggak Kok. Aku baru sampai juga." Karina menarik napas dalam. Baik, pria di hadapannya ini secara fisik nyata jelas tipe Karina sekali.
"Yok masuk," ajaknya.
Mereka mengobrol, berkenalan dan membahas beberapa hal. Hanif bekerja sebagai arsitek dan sekarang datang ke kota ini juga untuk keperluan bekerja, tapi walau begitu ia masih menyempatkan diri mengajak Karina bertemu.
Mereka duduk di caffe sembari menunggu jadwal film yang akan mereka tonton.
"Kamu cuti hari ini?"
"Hmm.. Iya."
"Bos Kamu udah sembuh?"
"Kayaknya sih udah."
Hanif mengangguk Sembari menyesap kopinya.
"Gimana kerjaan lancar? Jadi pengen tahu gimana rasanya jadi sekretaris direktur yang sering muncul di majalah bisnis."
Karina mencoba tersenyum, ia sebenarnya tidak suka membicarakan masalah pekerjaan, apalagi bosnya itu, soalnya ia takut kalau dibicarakan orangnya akan muncul, Karinakan mau sehari saja tak berurusan dengan bosnya itu, walau terdengar mustahil terjadi sih, pagi tadi saja Bara sudah membuatnya kesal.
"Biasa aja, kerjaan juga lancar. Masih kayak biasa. Paling besok agak sibuk mulai ngatur jadwalnya lagi pasca beberapa hari sakit gak masuk kerja."
"Oh gitu. Tapi orangnya baik gak?"
"Emm.. Lumayan. Gak pelit sih."
Ayolah tak adakah bahan obrolan lain? Pikirnya.
Karina memandang ke luar jendela, matanya menyicip, walau ia saat ini berada di lantai dua jelas ia hapal betul perawakan orang yang ia lihat di bawah sana, bajunya bahkan sama. Mata Karina memutar.
"Tu orang ngapain di sini?" desisnya.
********