Cinta?

2019 Words
********* Karina telungkup di atas tempat tidurnya, ia berteriak di bantal, tak bisa berhenti senyum - senyum sendiri. Aish dia tak menyangka Bara yang kaku itu bisa berlaku sweet dan membuatnya berdebar tak karuan. Karina menghentakkan kakinya, mencoba meredam perasaannya yang terasa membuncah. "Kenapa Lo?" tanya Sesil yang baru saja keluar dari kamar mandi. Untuk kesekian kalinya Sesil numpang menginap di kontrakan Karina. Karina mengintip dari balik bantalnya. "Nggak kenapa - kenapa," jawabnya mencoba terlihat biasa. Sesil menyipitkan matanya, buka sehari dua hari mereka berteman tapi sudah bertahun - tahun. Mana mungkin ia tak menyadari perubahan dari temannya itu. "Nggak usah bohong deh Lo." Karina berdehem mencoba menormalkan kembali dirinya. "Apaan sih?" ucapnya acuh. Sesil makin menatapnya curiga kemudian mendekat dan duduk di pinggir tempat tidur. "Lo diapain pak Bara? Ngaku?" Mata Karina membola, kok bisa Sesil menebak sebenar itu. "Apaan sih maksud Lo?" Karina masih mengelak. Sesil yang makin curiga malah mengeluarkan tehnik intimidasi andalannya, ia yakin sekali terjadi sesuatu yang wah pada sahabatnya itu. "Udah deh Kar nggak usah ngelak. Jelas kok tadi Gue ngelihat Lo keluar dari mobil bos kayak orang habis dihipnotis mana sambil megang bibir lagi. Ngaku nggak Lo! Atau jangan - jangan....." Mata Sesil melebar saat satu kesimpulan muncul di benaknya. Karina yang melihat Sesil terperangah dan seolah tahu apa yang sebenarnya terjadi buru - buru beralasan. "Ja... Jangan - jangan apa maksud Lo? Jangan mikir yang aneh - aneh deh." "Oh my god. Lo kissing sama pak Bara?" Karina terperangah, kok bisa Sesil sepeka itu. "Pantes Lo lama keluar dari mobil nggak kayak biasanya. Oh my. Benerkan tebakan Gue?" Sesil nampak histeris dan Karina tak tahu harus merespon seperti apa. "Nggak. Siapa juga yang Kissing, kagak." Karina mencebik, kenapa dia malah merasa kesal karena nyatanya mereka tak benar - benar melakukan hal itu. Sesil menarik tangan kiri Karina yang sejak tadi berada di atas bantal. Kemudian melirik ke arah wajah Karina. "Cincin apa ni? Tumben Lo pakai cincin, biasanyakan....... Karina...." Karina meringis melihat betapa hebohnya Sesil. Ia tak tahu harus merespon seperti apa. "Lo harus cerita sama Gue...." teriaknya lagi makin histeris. Karina bingung, ia tak tahu harus bagaimana, mau cerita takut bocor, diakan belum siap untuk go public, mana status mereka masih sekretaris dan bos, kan konotasinya jadi jelek kalau orang tahu mereka punya hubungan walau mereka tak melakukan hal aneh yang di luar batas. "Tapi Lo janji ya, ini antara Lo sama Gue aja." Sesil mengangguk mantap. "Janji dulu." "Iye Gue janji. Saya Sesilia berjanji akan menjaga rahasia Karina Adelia dengan mempertaruhkan kecantikan dan pesona Saya," ucapnya sembari mengangkat tangan kanannya ke samping kepala dan tangan kiri di d**a. Karina berdecak tingkat kepedean temannya ini memang sungguh terlalu. "Lo janjinya model begitu Gue jadi ragu mau cerita." Karina beranjak hendak turun dari tempat tidur. "Eh mau ke mane Lo? Cerita dulu. Lo pikir kecantikan dan pesona Gue ini nggak layak di pertaruhkan apa? Itu harta Gue tahu." Sesil mencekal lengan Karina. "Gue mau mandi dulu, nanti baru Gue cerita." "Sekarang aja kenapa sih? Sengaja amat Lo ya." Sesil masih tak terima, menarik Karina hingga gadis itu duduk kembali. Karina menarik napas dalam. "Pak Bara mgelamar Gue," ucapnya. Seolah tersihir, Sesil menganga tak percaya. "Sumpah Lo?" histerisnya. Karina mengangguk mengiyakan. "Pak Bara? Oh my God. Lo harus ceritain semuanya." Sesil makin histeris, ia bahkan tak percaya atas apa yang Karina ceritakan setelahnya. "Jadi gitu." "Terus rencana mau nikahnya kapan?" Karina menggeleng, ia sendiri belum tahu karena Bara belum memberi kepastian. "Belum tahu sih. Tapi dia bilang maunya dalam tahun ini." "Waw tahun ini? Bentar lagi dong. Terus Lo jadi resign?" Karina mengangguk mantap, ia sudah membicarakan hal ini dengan Bara dan tentu Bara tak masalah dirinya berhenti bekerja. "Dia malah nyuruh Gue berhenti aja, dan juga Lo tahulah kan ada peraturan perusahaan." "Iya juga sih. Lagian Lo mau jadi istri sultan ngapain kerja ya nggak, haha." Tawa Sesil mengingat sebentar lagi Karina akan mendadak tajir melintir. "Awas ya Lo kalau sampai bocor." Sesil mengacungkan jempolnya. "Terus tadi di mobil ngapain?" "Eh dibahas lagi." "Ya habis, baru nyampe udah senyam - senyum girang bener." "Au Ah, Gue mau mandi." Karina ngeloyor pergi diiringi teriakan Sesil yang masih kepo. *********** Keesokan harinya Karina sudah siap dengan stelan kerjanya, Sesil sudah berangkat lebih dulu sementara Karina masih menunggu Bara yang akan menjemputnya. Enaknya jadi bos begitu, datang kerja tak mesti tepat waktu. Hpnya berdering, merogohnya dari dalam tas, di layarnya menampakkan nama Bara Bere. Ingatkan Karina untuk mengganti nama kontak tersebut nanti. "Pagi Karina, mau berangkat kerja?" tanya manusia yang tak ingin Karina temui. Karina refleks menoleh. Karina yang merasa masih punya sopan santun tersenyum dan menyapa balik. "Pagi Tante. Iya nih lagi nunggu pak Bara jemput." "Jadi Ditya sekarang dipanggilnya Bara ya? Pantas Tante nggak familiar sama namanya. Padahal dulu bos Kamu itu pacaran sama Rani loh," bangganya dan Karina komat kamit berharap Bara cepat datang menjemputnya. "Oh gitu ya Tante." "Iya. Tapi dulu dia itu miskin banget. Mana mau Tante biarin anak semata wayang Tante hidup susah. Mangkanya Rani Tante jodohin sama Damar." Karina bergedik, bisa - bisanya ada manusia tak tahu malu maksimal model begini. "Namanya juga hidup Tante pasti ada perubahan, kayak bosnya Karina sekarang." "Iya sih. Coba dulu Rani masih sama dia ya." Karina hanya mendengus, tak ingin menjawab. Tak terbayang olehnya kalau Bara benar - benar menjadi menantu Tante Widya ini. Bisa - bisa langsung jatuh miskin karena punya mertua matrenya bukan main. Tante Widya celingukan kemudian mendekat ke arah Karina, walau mereka masih berbatasan dengan pagar sebatas pinggang. "Tante mau tanya, gajinya bos Kamu sebulan berapa?" Ngapain lagi ni tante - tante nanyai gaji? Pikir Karina dalam hati. "Kurang tahu sih Tante." "Masa nggak tahu sih, Kamukan sekretarisnya?" Karina mengeratkan gigi, memangnya wajar ya sekretaris tahu gaji bos? Bukannya malah terbalik? "Karina kan cuma sekretarisnya Tante bukan staff payroll," jelas Karina. "Oh gitu. Kalau gaji Kamu aja dua puluh jutaan berarti gaji Ditya sekitar dua kali lipatnya ya? Empat puluh jutaan? Nggak beda jauhlah ya sama Damar sama tunjangan - tunjangannya," ucap Tante Widya dan Karina mengerti, sepertinya orang ini mencoba menenangkan diri agar tak menyesal karena menentang hubungan Bara dan Rani dulu. "Nggak gitu sih Tante. Setahu Karina gaji direktur di perusahaan Karina kisaran ratusan juta, tapi belum termasuk tunjangan, uang transport, bonus bulanan, lembur dan bonus tahunan. Jadi setahun bisa miliyaran gitu sih dengar - dengar," jelas Karina sengaja memanas - manasi perempuan paruh baya di hadapannya ini. Tante Widya nampak terperangah, dia mungkin sama sekali tak mengira orang yang dulunya makan saja susah itu sekarang punya banyak uang. "Masa sih? Setahu Tante dari internet gaji direktur itu empat puluh jutaan." Di internet? seniat itu tante Widya mencari informasi. "Perusahaan tempat Karina kerjakan gede Tante. Cabangnya ada di seluruh Indonesia, di Asia juga, sekarang lagi merambah ke benua sebelah. Jadi wajarlah kalau gajinya ratusan juta. Karina yang cuma sekretaris biasa gajinya aja segede ini, apalagi direkturnya." Karina merasa puas begitu melihat wajah memerah Tante Widya. Entah kenapa ada kepuasan tersendiri melihat wajah orang yang selalu nampak sombong dan ria ini terperangah. "Tapi Damar juga penghasilannya gede kok. Belum lagi dia punya warisan, terus....." Tante Widya mencoba mencari alasan lagi, Karina yakin wanita paruh baya ini sedang meyakinkan diri sendiri kalau keputusannya tidaklah salah dulu memaksa Rani mengakhiri hubungannya dengan Bara. "Kan mas Damar kepala dinas jadi pasti gede gajinya. Punya warisan pula ya," ucap Karina dan tante Widya nampak tersenyum namun ia tak tahu saja kalau Karina akan mulai memanasinya lagi. "Pak Bara sih nggak punya warisan, cuma dia punya banyak obligasi saham gitu. Juga si bos salah satu pemegang saham perusahaan tempat Karina kerja, punya bisnis lain sama teman - teman sekolahnya terus juga punya tanah perkebunan sawit di sumatera gak tahu berapa hektar, terus masih banyak lagilah investasinya yang nggak Karina tahu," jelas Karina melebih lebihkan walau sebenarnya ia hanya asal bicara saja tapi ia puas melihat ekspresi wajah tante Widya yang nampak menggelap. Perempuan mata duitan itu nampaknya sangat menyesal. Tak lama suara klakson terdengar dan Karina buru - buru pamit sebelum ia dicegat kembali. Karina tersenyum senang, bisa mengalahkan kesombongan tetangganya, hal itu membuatnya merasa bahagia, akhirnya Karina bisa membuat wanita tua itu bungkam walau bukan karena dirinya sendiri paling tidak ia baru saja membanggakan calon suaminya. "Pagi Mas," sapa Karina agak malu dengan panggilan baru mereka. "Pagi, calon istri," jawab Bara. Karina menggigit bibir bawahnya sembari memasang sabuk pengaman. Kenapa dia merasa seperti remaja yang baru saja merasakan cinta - cintaan? Bara menatap ke arah Karina dan tante Widya yang masih berdiri mematung memandang ke arah mobil mereka. Tak bertanya Bara langsung menjalankan mobil. "Jadi Senang nggak punya calon suami yang punya banyak obligasi dan tanah perkebunan kelapa sawit di sumatera?" tanya Bara dan Karina langsung refleks menoleh ke arah Bara. Kok bisa pria ini tahu apa yang ia ucapkan tadi? Karina menganga. "Kok....?" Bara tertawa melihat respon Karina. "Mas dengar." "Dengar? Dengar dari mana?" tanya Karina. Tak mungkinkan Bara memasang alat penyadap padanya. Mana mungkin bosnya posesif cenderung psikopat begitu. "Kamu nggak ingat angkat telpon Mas?" Karina cepat - cepat mengecek hpnya dan benar saja ada riwayat panggilan terjawab dan beberapa panggilan tersambung. Tadi Bara memang menelponnya tapi ia lupa karena tante Widya mendadak nongol. Karina meringis, pasti Bara mendengar apa saja yang ia ucapkan tadi. Mana ia banyak mengarang bebas supaya Bara nampak lebih hebat. "Maaf Pak. Saya tadi bicara sembarangan." Karina menunduk malu. "Sudah dibilangkan kalau lagi berdua jangan panggil Pak." "Maaf Mas." Bara hanya tersenyum melihat Karina yang malah terlihat seperti Nana kucingnya saat ketahuan mencakar sofa. "Tapi Kamu tahu darimana kalau Mas banyak obligasi dan punya perkebunan?" Karina menggeser tubuhnya menatap ke arah Bara? Beneran Bara punya semua itu? Karina kan cuma ngarang. "Serius Mas punya itu semua?" Bara mengangguk. "Tadi Saya cuma asal ngomong loh Pak, eh Mas." Bara mengulurkan tangannya kemudian menepuk kepala Karina pelan. "Investasi buat masa tua, jadi Kamu nggak perlu khawatir soal uang kedepannya." Karina tersenyum. Dia jadi merasa senang karena sepertinya Bara benar - benar mempersiapkan masa depan mereka. "Saya kayaknya beneran bakal jadi isteri sultan deh?" "Iya. Kamu bilang aja mau apa, nanti Mas belikan ." "Serius? Tapi Saya lebih suka uang terus beli barangnya sendiri gimana dong?" ucap Karina sengaja, mana tahukan diberi kartu sakti. "Kan udah dikasih kartunya?" "Kapan?" tanya Karina karena seingatnya kartu gold milik Bara saat di Bali sudah ia kembalikan. "Kartu yang biasanya." Alis Karina mengerut. "Kartu yang buat urusan kantor?" Bara berdehem mengiyakan. "Tapi bukannya itu buat kepentingan kerja ya?" "Kapan Mas pernah bilang begitu?" Iya juga kapan Bara pernah bilang begitu? Bara dulu hanya mengatakan 'pakai kartu ini' pada Karina, awalnya ia tak paham jadi ia mengambil keputusan kalau kartu itu untuk bayar - bayar kebutuhan kerja. "Pantas pas Saya pakai buat beli baju Mas nggak marah. Tahu gitu Saya foya - foya." Bara tersenyum melihat ekspresi Karina yang sangat menggemaskan di matanya. "Tapi ini Kita mau ke mana? Kok kayaknya bukan jalan ke kantor deh?" "Mau sarapan." "Mas belum sarapan?" Bara mengangguk. Hosea sedang di luar kota jadi tak ada yang memasakkan sarapan untuknya. "Kamu udah sarapan?" "Udah," jawab Karina karena kalau ada Sesil menginap biasanya gadis itu akan memasakkan makanan untuknya. "Jadi Kamu nggak mau nemanin Saya sarapan?" Karina jelas menggeleng dengan cepat. Seorang Karina menolak makan gratis? Tentu tidak. "Tapi nanti kalau Saya gendut gimana?" tanyanya iseng. "Ya tinggal beli baju yang sizenya lebih besar." "Maksudnya nggak apa - apa ini?" "Memangnya apa yang salah dengan gendut?" Karina menganga. Apa mungkin Bara secinta itu padanya sampai tak mempermasalahkan berat badannya. "Tapi kalau nanti Saya gendut terus jadi jelek gimana?" "Untuk apa ada salon dan dokter kencantikan?" Karina tak bisa membantah itu. "Tapi kalau Saya jadi gendut dan jelek emang Mas masih mau sama Saya?" "Dangkal banget pikiran Kamu." Bara menggelengkan kepalanya tak habis pikir. "Jadi Mas cinta sama Saya?" tanya Karina yang mulai deg degan menunggu jawaban Bara. ************* #Maap ye lama kagak Up. Author lagi stress gegara kerjaan. Abis resign author bakal up terus hahaa... *Seniat itu mau kabur. #VOTE KOMEN YANG PANJANG YEEE.... MAKASIH BUAT YANG NANYAIN MULU KOK BELOM UP JUGA. LOP YOU KLEAN ??
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD