Gara - Gara Bapak Ini

1087 Words
"Pak. Bapak kenapa?" Dengan cepat Karina memangku kepala Bara. Butiran keringat dingin memenuhi wajah pria itu. "Pak. Bapak bisa dengar Saya? Pak!" Karina panik. Bara hanya merintih pelan, ia pun sepertinya hanya setengah sadar. "Pak?" "Aduh gimana nih? Pak?" Karina menepuk - nepuk pipi Bara, mata pria itu terbuka sedikit. "Pak, bisa dengar Saya? Bapak kenapa?" "Perut Saya sakit banget," ucapnya terbata. Karina panik, baru kali ini ia melihat Bara kesakitan begini. "Perut?" Karina mau menyentuh bagian perut Bara namun urung ia lakukan, tak berani, takutnya salah pegang malah makin parah. "Bentar, bentar. Tahan dulu ya Pak." Ia merogoh tasnya mencari Hp. "Siapa ya satpam yang jaga?" Mencoba menenangkan diri ia menelpon pak Budi, kepala satpam untuk bertanya siapa yang berjaga malam ini. "Halo Pak Bud. Yang jaga malam ini siapa?" tanyanya to the point. "Halo Mbak Kar. Bapak yang jaga. Kenapa Mbak?" Karina menghembuskan napas lega. "Sekarang ke atas, ke sini. Pak Bara gak tahu kenapa ini kayak pingsan. Tolongin." Setelah memutus telpon Karina mengecek suhu tubuh Bara yang suhunya di atas normal. Kening pria itu menyerjit, nampaknya menahan rasa sakit. "Sebentar ya Pak, tahan." Tak lama pak Budi datang bersama satu rekannya sesama satpam. Mereka ikut panik namun langsung berinisiatif memapah Bara. Mereka akan membawanya ke rumah sakit. Karina menepuk kepalanya, saking paniknya ia merasa bodoh, kenapa ia tak menelpon ambulance. Sesampainya di parkiran dengan cepat ia membuka pintu mobil. "Saya minta tolong ya kejadian ini jangan di sebar dulu. Oke." Kedua satpam itu mengangguk, bukannya apa ia tak mau tiba - tiba ada gosip aneh soal bosnya ini. Dengan cepat Karina berusaha menyetir agak ngebut agar cepat sampai ke rumah sakit. "Pelan - pelan," ucap Bara lemah. Bukannya apa, badannya yang sakit malah makin terasa sakit karena gaya menyetir Karina yang terkesan barbar. "Apa Pak?" Karina menoleh, tadi tak begitu mendengar apa yang Bara ucapkan. "Pelan - pelan." "Pelan? Lebih cepat sampai lebih baik Pak, ini demi kebaikan Bapak loh. Tahan ya." Napas Bara makin berat, ia malah khawatir mereka akan tabrakan. Apalagi Karina membawa mobil zigzag, menyalip sana - sini menantang maut. Sesampainya di rumah sakit ia makin panik karena sepertinya Bara sudah tak sadarkan diri. Dokter keluar dan Karina yang tadinya menunggu di kursi tunggu langsung berdiri. "Mbak wali pasien?" tanya dokter tersebut. Karina menggeleng. "Bisa tolong hubungi keluarganya. Karena pasien harus segera di operasi." Karina bengong sesaat, kaget dengan ucapan dokter. Apa separah itu sampai harus di operasi. "Operasi?" "Iya. Kita harus segera operasi untuk mengangkat usus buntunya." Karina bingung, apa mungkin usus buntu sesakit itu? Bosnya itu bahkan terlihat tak berdaya. "Usus buntu ya. Bentar Dok. Saya hubungi adiknya dulu." Menghembuskan napas pelan, Ia mencoba mengatur napas mengurangi rasa panik. Panggilan pertama tak ada jawaban dari Hosea. Baru dipanggilan kedua lelaki yang seumuran adik bungsunya itu mengangkat panggilan. Belum Hosea mengucapkan sesuatu Karina sudah lebih dulu bicara. "Hosea di mana? Kapan pulang?" "Hah? Apa Mbak?" tanyanya bingung mendengar ucapan Karina yang cepatnya bukan main itu. "Pak Bara kena usus buntu dan harus operasi. Butuh tanda tangan wali. Gimana dong?" "Usus buntu? Ya operasilah Mbak. Nanti bahaya." Hosea ikut panik. "Aku masih di luar kota belum bisa balik. Mbak bisa gak tolong urus dulu sebelum Aku balik?" Karina ragu, inikan menyangkut nyawa. "Aku percayain sama Mbak ya. Tolong jadi wali Mas Bara dulu ya." Panggilan berakhir dan beginilah sekarang Karina sudah menandatangani perwalian untuk operasi Bara. Ia juga mendengar beberapa jenis penyakit yang menyerang bosnya itu. Selain usus buntu Bara juga mengidap GERD yang kronis tidak lupa kondisinya yang lemah kemungkinan juga ada hubungannya dengan kelelahan. Pantas saja bosnya itu nampak sesakit itu. "Mangkanya Pak, makan tu yang teratur. Banyak istirahat juga jangan nyari duit mulu. Banyak duit tapi penyakitan percuma juga," cecarnya. Bara sudah sadar, sebentar lagi ia akan dioperasi. "Kamu kalau Saya lagi sakit cerewetnya makin menjadi." Karina mencebik. "Yaiyalah. Kalau Bapak sakit begini kan yang susah diri Bapak sendiri. Jadi Bapak tidak bisa melakukan hobi bekerja Bapak itu," sindirnya Bara tersenyum tipis melihat ekspresi kesal Karina. "Maaf membuat Kamu susah juga. Kamu pulang aja. Kan besok mau cuti." Karina menghembuskan napas lelah. Yang benar saja, mana mungkin ia setega itu meninggalkan Bara sendirian. "Ada orang lain yang bisa Saya hubungi selain Hosea?" Bara hanya menatapnya tanpa menjawab. Karina jelas tahu Bara tak memiliki anggota keluarga lain selain Hosea. Hoseapun bukan saudara kandung bosnya itu, dulu Bara mengadopsi Hosea menjadi adiknya. Karina tak tahu banyak soal kehidupan pribadi bosnya ini. "Ya udah deh. Yakin nih bisa Saya tinggal?" Bara mengangguk lemah. Tapi yang namanya perempuan itu ya begini, bilangnya mau pergi tapi ternyata ditungguin juga. Karina duduk di kursi tunggu depan ruang operasi. Dia lelah, sekarang sudah hampir tengah malam. Ia mengantuk dan entah sejak kapan ia tertidur sampai suara pintu terbuka terdengar. Ia dengan cepat berdiri begitu melihat brangkar yang membawa tubuh bosnya itu keluar. Setelah berbincang sebentar dengan dokter Karina berjalan menuju kamar rawat Bara. Pria itu nampak terlelap tenang. Kemudian berjalan ke sofa hendak beristirahat. ***** Saat pagi ia terbangun, matanya justru langsung bertatapan dengan Bara yang sedang menatapnya. "Bapak udah bangun. Gimana ada yang sakit?" tanyanya agak canggung. Kemudian berjalan menghampiri bosnya itu. "Nyeri, lemas." Karina mengecek suhu tubuhnya, sudah normal. "Ya wajar lemas, mungkin masih ada efek obat biusnya." Tak lama ruangan diketuk, seorang perawat masuk. Mengecek kondisi Bara. "Masih lemas ya Pak?" Bara mengangguk. "Nanti kalau sudah kuat berdiri, bawa jalan - jalan ya. Jangan makan atau minum dulu sebelum buang angin." Selesai mengecek perawat itu keluar. Karina hanya menahan senyum. "Tuh Pak jangan makan atau minum dulu sebelum kentut," katanya entah kenapa ingin tertawa. "Emang apa masalahnya sama kentut sampai Kamu mau ketawa begitu?" Karina mengulum bibir, iya juga emang apa masalahnya kan semua orang di muka bumi ini pernah kentut. "Terus Kamu gak pulang kampung?" Karina menghela napas. Ya kali, dia tak setega itu meninggalkan orang sakit sendirian. "Emang Bapak pikir Saya setega itu ninggalin Bapak yang lagi sakit begini sendirian?" Bara hanya diam. "Saya juga udah bilang sama orang tua Saya kok semalam kalau Saya gak jadi pulang. Toh doa di manapun kan bisa," katanya mengingat ia pulang untuk pengajian haul ibunya. "Terimakasih. Terimakasih sudah mau menunggui Saya." Karina merasa aneh, entah kenapa tatapan Bara membuatnya merasa salah tingkah. "Ah, kalau gitu Saya keluar dulu ya mau cari sarapan. Ingat Bapak jangan makan atau minum dulu. Jangan aneh - aneh selama Saya gak ada. Oke." Dengan cepat ia berjalan menuju pintu, sesampainya di luar ia memegangi dadanya. Perasaan aneh mulai terasa. "Karina. Lo kenapa sih?" tanyanya pada diri sendiri. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD